SELAMAT DATANG DI NOTE UNTUK KAMU

SELAMAT DATANG DI NOTE UNTUK KAMU

Blogger ini muncul berdasarkan dari beberapa permintaan saudara-saudariku semua..

Alhamdulillah akhirnya tercapai juga dan selesai sudah blogger ini dibuat...

Namun kesempurnaan blogger ini belumlah maximal.

Semoga dihari..hari mendatang dapat disempurnakan blogger ini

Dan blogger ini tercipta dan ada... karena... diri saudara-saudariku semua..

Dan...tiada artinya blogger"NOTE UNTUK KAMU" ini.. jika saudara-saudariku tidak berada didalamnya....

Salam Ukhwah..........

Jun 14, 2013

JIKA MEMBACA SYYAIDINA DALAM SHOLAT BERMASALAHKAH...?? (Bagian # 1)

Beradab kepada Rasululloh shalallahu ‘alayhi wasallam merupakan kewajiban kita.

Tidak ada seorang muslim pun yang memiliki keimanan mempermasalahkan hal itu.

Namun, bagaimana wujud adab kepada Rasululloh shalallahu ‘alayhi wasallam........?

Sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang ilmiah.

Bagaimana dengan perkataan sayyidina dalam shalawat ketika sholat.

Apakah sebaiknya kita mengucapkannya dengan alasan adab kepada Nabi, ataukah tidak mengucapkan karena hal juga merupakan petunjuk Nabi...?

Inilah yang akan menjadi pokok bahasan kita kali ini.

Selamat mengikuti.

TEKS HADITS
لاَ تُسَيِّدُوْنِيْ فِي الصَّلاَةِ
“Janganlah kalian menjadikan aku sayyid dalam sholat.”
Bahwa hadits diatas TIDAK ADA ASALNYA.

Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama ahli hadits. Al-Hafizh as-Sakhowi menegaskan: “Tidak ada asalnya”(1)

Dan disetujui murid beliau Abdurrohman bin Ali asy-Syaibani (2) al-Qori (3) dan lain sebagainya.
Selain hadits ini adalah dusta dan tidak ada asalnya, ditinjau dari segi bahasa Arab, dalam lafadz hadits ini terdapat kejanggalan sebab secara kaidah bahasa seharusnya‭ ( لاَ‮ ‬تُسَوّدُوْنِيْ‭ ) dengan wawu karena fi’ilnya adalah wawi ‭( ‮ ‬سَادَ-‮  ‬يَسُوْدُ‭)


Seorang penyair berkata:

وَمَا سَوَّدَتْنِيْ عَامِرٌ عَنْ وَرَاثَةٍ         أَبَى اللهًُ أَنْ أَسْمُوَ بِأُمٍّ وَلاَ أَبٍ
Tidaklah Amir memuliakanku karena warisan.
Alloh enggan kalau aku mulia dengan ibu atau bapak.(4)
An-Naji dalam Kanzu al-Afah mengatakan: “Adapun nukilan dari Sayyid Waro (Nabi) bahwa beliau bersabda:
‘Janganlah kalian mengatakan aku sayyid dalam sholat’, maka ini adalah kedustaan dan kepalsuan. Orang awam yang sering membawakan hadits ini pun salah dalam mengucapkan. Mereka mengatakan  لاَ‮ ‬تُسَيِّدُوْنِيْ‭ ‬  dengan ya‭’‬,‭ ‬padahal yang benar adalah dengan wawu‭”‬.(5)

RASULULLAH shalallahu ‘alayhi wasallam ADALAH SAYYIDINA
Makna sayyid adalah seorang yang utama, mulia, agung, berkedudukan tinggi, pemimpin umat, dan lain sebagainya dari kebaikan dan keutamaan. (6)

Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam adalah sayyid anak Adam. Beliau shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ‭ ‬وَلاَ‮ ‬فَخَرَ
“Saya adalah sayyid anak Adam dan tidak sombong.(7)
Imam al-Izzu bin Abdussalam berkata: “Sayyid adalah seorang yang memiliki sifat dan akhlak yang indah. Hal ini menunjukkan bahwa beliau manusia yang paling utama di dunia dan akhirat.

Adapun di dunia karena beliau memiliki akhlak-akhlak yang agung sedangkan di akhirat karena balasan atau pahala bergantung pada akhlak.

Kalau Allah subhanahu wa ta’aala melebihkan Nabi Muhammad shalallahu ‘alayhi wasallam dari segenap manusia pada sisi akhlak, maka kelak Allah subhanahu wa ta’aala melebihkan beliau derajatnya di akhirat.

Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam mengatakan hadits ini agar umatnya mengetahui kedudukan beliau di sisi Robbnya.

Dan karena penyebutan kebaikan itu biasanya menjadikan kesombongan, maka Nabi menepis anggapan yang muncul dari orang jahil tersebut.” (8)

Bila ada yang bertanya: “Lantas bagaimana dengan teks hadits” :
عَنْ مُطَرِّفٍ قَالَ قَالَ أَبِى انْطَلَقْتُ فِى وَفْدِ بَنِى عَامِرٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقُلْنَا أَنْتَ سَيِّدُنَا. فَقَالَ « السَّيِّدُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى ». قُلْنَا وَأَفْضَلُنَا فَضْلاً وَأَعْظَمُنَا طَوْلاً. فَقَالَ « قُولُوا بِقَوْلِكُمْ أَوْ بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ‏‭
Dari Muthorrif berkata: Ayahku mengatakan: Saya pernah pergi ke rombongan Bani Amir kepada Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam, lalu kami mengatakan: Kamu adalah : Sayyiduna, maka Nabi bersabda: As-Sayyid adalah Alloh (9). Ini menunjukkan bahwa As-Sayyid merupakan salah satu nama Alloh ‘azza wa jalla. Kami mengatakan: Kamu adalah orang yang paling mulia dan agung di antara kami, maka beliau bersabda: Katakanlah dengan ucapan kalian atau sebagian ucapan kalian tetapi janganlah Setan menggelincirkan kalian.” (HR. Abu Dawud 4808)
Dzohir hadits ini tidak melarang kita mengatakan Nabi Muhammad shallahu ‘alayhi wasallam adalah Sayyiduna.

Bukankah sekilas ada pertentangan antara dua hadits di atas...?

Masalah ini telah dibahas oleh para ulama.

Pendapat yang kuat menurut kami bahwa boleh mengatakan Sayyid kepada Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam atau selainnya (10) Adapun hadits ini, tidaklah menunjukkan larangan mengatakan Nabi shallahu ‘alayhi wasallam adalah Sayyiduna, bahkan beliau mengizinkan dengan ucapannya “Katakanlah dengan ucapan kalian”.

Yang dilarang oleh Nabi shallahu ‘alayhi wasallam adalah kalau setan menggelincirkan mereka yang berujung kepada sikap ghuluw (berlebih-lebihan) kepada Nabi shallahu ‘alayhi wasallam dan mengangkat beliau dari derajat yang telah ditetapkan oleh Alloh subhanahu wa ta’aala.(11)

LAFADZ DZIKIR ADALAH TAUQIFIYYAH

Dzikir-dzikir yang telah ditentukan waktu dan tempatnya bersifat tauqifiyyah (paten).

Tidak boleh seseorang menambah, mengurangi atau merubah lafadznya walaupun maknanya shohih(12). Untuk lebih memahami kaidah ini, perhatikan hadits berikut; Baro’ bin Azib berkata:
Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam pernah berkata kepadaku: ‘Apabila engkau mendatangi tempat tidurmu maka berwudhulah seperti wudhumu untuk sholat. Kemudian berbaringlah ke sisi kanan serta bacalah do’a: ‘Ya Allah aku berserah diri kepada-Mu, aku serahkan segala urusanku kepada-Mu, aku sandarkan punggungku kepada-Mu, karena mengharap dan takut kepada-Mu.

Tidak ada tempat bersandar dan tempat menyelamatkan kecuali kepada-Mu. Ya Alloh aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan, dan aku beriman kepada nabi-Mu yang telah Engkau utus’.

Maka jika engkau meninggal pada malam harinya sungguh engkau meninggal dalam keadaan fitroh dan jadikanlah do’a tersebut akhir yang engkau ucapkan. Aku mencoba untuk mengingat-ingatnya kembali dan aku katakan: ‘rasul-Mu yang telah Engkau utus’. Nabi berkata: ‘Salah, tapi katakanlah dan nabi-Mu yang telah Engkau utus’.” (HR. Bukhori 247, Muslim 2710). (13)
Ibnu Bathol rahimahulloh berkata: “Lafadz-lafadz itu tidak boleh diganti karena telah keluar dari taman hikmah dan jawami’ul kalim (kalimat singkat tapi padat).

Seandainya ucapan Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam boleh dirubah dengan ucapan lainnya niscaya akan hilang faedah kehebatan bahasa Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam.” (14)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Hikmah yang paling tepat mengapa Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam menyalahkan ucapan ‘rasul’ sebagai ganti dari ‘nabi’ adalah bahwa lafadz-lafadz dzikir adalah tauqifiyyah. Ada kekhususan yang tidak boleh dengan qiyas. Wajib untuk menjaga lafadz yang syar’i.”(15)

Imam al-Albani rahimahulloh mengatakan: “Dalam hadits ini terdapat peringatan yang sangat tegas, bahwa wirid-wirid dan dzikir adalah tauqifiyyah.

Tidak boleh dirubah, baik dengan menambah, mengurangi atau merubah lafadz yang tidak merubah arti.

Karena lafadz ‘rosul’ lebih umum dari ‘nabi’, tetapi Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam tetap menyalahkannya”. (16)

Alangkah bagusnya ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahulloh : “Termasuk kesalahan besar sebagian manusia adalah menjadikan dzikir-dzikir yang bukan dari Nabi sekalipun berasal dari tokoh mereka sendiri, lalu meninggalkan dzikir-dzikir dari Nabi Sayyid anak Adam dan Imam makhluk serta hujjah atas seluruh hamba”.(17)

Ibnu ‘Allan rahimahulloh mengatakan: “Tidak boleh seorang pun berpaling dari lafadz do’a Nabi.

Dalam hal ini setan telah menggelincirkan manusia, sehingga ada suatu kaum yang membuat-buat lafadz do’a yang memalingkan dari petunjuk Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam. Maka waspadalah, janganlah kalian menyibukkan dengan hadits kecuali yang shohih saja.” (18)


>>>  Bersambung Bagian #2

No comments:

Post a Comment