Kalangan
Ulama ini ada beberapa golongan.
Salah satu golongan dari mereka,
adalah kalangan yang terlalu mendalami ilmu-ilmu syari’at dan ilmu-ilmu
rasionaI.
Mereka sibuk dengan disiplin tersebut, namun mengabaikan
penjagaan dirinya dari tindakan maksiat dan mengabaikan ketaatan.
Mereka terpedaya oleh ilmunya sendiri.
Anehnya, mereka menyangka
memiliki posisi di hadapan Allah Subhanaahu Wa Ta'ala.
Bahkan mereka berasumsi bahwa
Allah tidak akan menyiksanya, karena ilmunya telah mencapai suatu tahap
tertentu.
Mereka merasa bisa memberi syafaat terhadap orang lain, dan
mereka tidak terkena tuntutan dosa dan kesalahannya.
Mereka sebenarnya
tertipu....!!
Kalau saja mereka mau melihat dengan mata hati, pasti mereka akan menemukan titik pandang bahwa ilmu itu terbagi menjadi dua :
1. Ilmu Muamalat
2. Ilmu Mukasyafah, yaitu pengetahuan terhadap Allah Subhanaahu Wa Ta'ala dan Sifat-sifat-Nya.
Sementara
Ilmu Muamalat berfungsi sebagai komplementer hikmah yang dituju, yaitu
pengetahuan tentang halal dan haram, pengetahuan etika jiwa yang
tercela dan terpuji.
Mereka itu seperti seorang dokter yang mampu
mengobati orang lain, sedangkan ia sendiri ketika sakit sebenarnya
mampu mengobati dirinya sendiri, tetapi hal itu tidak dilakukan.
Lalu
apa gunanya pengobatan tersebut....?
Sungguh jauh dari harapan, di mana
terapi tidak akan bermanfaat kecuali orang yang mau meminum obat
tersebut setelah merasakan demam.
Mereka melupakan firman Allah Subhanaahu Wa Ta'ala.:“Sungguh benar-benar berbahagia orang yang menyucikan jiwa dan
benar-benar merugi orang yang mengotorinya”. (Q.S. asy-Sayms: 9-10).
Allah
tidak berfirman, “Barangsiapa yang mengetahui penyucian jiwa dan
menulis ilmunya, serta mengajarkannya kepada manusia”.
Mereka pun alpa
terhadap sabda Nabi saw.: “Barangsiapa bertambah ilmunya dan tidak
tambah hidayahnya, maka tidak akan bertambah dari Allah kecuali jauh
dari-Nya”.
“Sesungguhnya orang yang paling tersiksa di hari
Kiamat adalah seorang ilmuwan yang tidak diberi oleh Allah kemanfaatan
atas ilmunya”.
Dan hadis-hadis lainnya yang sepadan.
Mereka itu
adalah para Ulama yang tertimpa tipudayanya sendiri, dan semoga Allah
menjaga kita dari tingkah laku mereka.
Mereka sebenarnya terhimpit oleh
kecintaan duniawi, egoisme dan mencari kemudahan dunia saja, sembari
berangan-angan bahwa ilmunya mampu menyelamatkan dirinya di akhirat
tanpa harus beramal.
Kelompok Pertama
Sedangkan
kelompok Ulama lainnya menekuni ilmunya dan amal-amal lahiriah,
meninggalkan maksiat-maksiat lahiriah, namun alpa dengan kondisi ruhani
jiwanya. Mereka tidak mau menghapus sifat-sifat tercelanya di hadapan
Allah Subhanaahu Wa Ta'ala. seperti: sombong, riya’, dengki, ambisi posisi dan status,
berhasrat buruk kepada sesama teman, mencari popularitas di
tengah-tengah negeri dan penduduknya.
Semua itu merupakan tipudaya, yang disebabkan oleh kealpaannya terhadap hadis Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.:
“Riya’ adalah syirik kecil”.
“Dengki itu memakan kebaikan seperti api menghanguskan kayu kering”.
“Cinta
harta dan kemuliaan bisa menimbulkan kemunafikan dalam hati, seperti
air menumbuhkan sayur mayur”.dan hadis-hadis lainnya.
Mereka pun
melupakan firman Allah Subhanaahu Wa Ta'ala.:“Kecuali orang-orang yang menghadap Allah
dengan hati yang bersih”. (Q.S. asy-Syu’ara’: 89).
Mereka alpa
hatinya dan cukup dengan kesibukan amal lahiriah belaka.
Padahal yang
hatinya tidak patuh, tidak akan sah taatnya.
Ia ibarat orang
berpenyakit kudis, lantas dokter memerintahkan untuk mengoleskan dan
meminum obat, tetapi ia hanya sibuk mengoleskan kulit luar saja, tanpa
meminum obat.
Akhirnya.... penyakit luar hilang tetapi penyakit dalamnya
masih bercokol.
Padahal akar penyakit itu justru dari dalam, karenanya
semakin bertambahlah penyakit dalamnya. Seandainya sumber penyakit dari
dalam hilang, pasti yang di luar semakin ringan. Begitu pula
kotoran-kotoran manakala bertengger dalam hati, akan tampak pengaruhnya
pada fisik.
Kelompok Kedua
Sekelompok
Ulama lain mengenal etika batin dan mengetahui bahwa pelanggaran
tersebut dicaci oleh syari’at. Hanya saja, karena mereka terlalu
berbangga dan kagum pada diri sendiri, mereka menduga dirinya lepas
dari cacian tersebut.
Di sisi Allah, menurut mereka, telah bebas dari
cobaan seperti itu.
Mereka yang dicaci adalah kalangan awam, bukan pada
pihak yang telah sampat pada taraf ilmu pengetahuan.
Sementara mereka
kalangan Ulama merasa bebas dari sanksi tersebut, sehingga mereka
terjerumus dalam khayalan kebesaran dan jenjang tahta, ambisi keluhuran
dan kehormatan, dan mereka tertipu oleh dugaan mereka sendiri, bahwa
cara yang mereka tempuh itu bukan sebagai tindak kesombongan.
Mereka
beralasan apa yang dilakukan, sebagai upaya memuliakan agama,
menampakkan kemuliaan pengetahuan dan membantu agama Allah.
Mereka Iupa
pesta iblis karena tindakan mereka itu, mereka juga alpa bagaimana
sebenarnya kontribusi Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. dan bagaimana kehinaan orang-orang
kafir.
Mereka juga lupa, bagaimana para sahabat bertawadhu’,
merasa rendah hati, miskin dan tempat tinggal apa adanya.
Sehingga Umar
bin Khaththab r.a. pernah dikritik karena pakaiannya yang lusuh
setibanya di Syam.
Lalu Umar berkata, “Kami adalah kaum dimana Allah
meninggikan kami dengan Islam, kami tidak mencari kemuliaan selain
Islam.”
Kemudian tipudaya lain, memakai pakaian kebesaran untuk
meraih kemuliaan agama, dan ia menduga bahwa dirinya memuliakan ilmu
dan menghormati agama dengan tindakannya.
Ketika mereka membahas rasa
dengki teman-temannya atau mereka yang kontra terhadap ucapannya, ia
tidak menduga bahwa tindakannya itu pun merupakan kedengkian pula.
Lantas ia berkelit, “Ini merupakan kemarahan demi kebenaran,
mengkounter orang batil yang dilakukan melalui permusuhan dan
kezalimannya.”
Tentu tindakannya merupakan tipudaya.
Sebab manakala ia
menusuk sesama temannya melalui kritiknya, kadang-kadang ia melontarkan
bukan dengan amarah, tetapi dengan rasa gembira karena mampu
mengkounter temannya.
Kalau di hadapan manusia ia tampak marah,
padahal hatinya gembira.
Terkadang lontarannya sebagai pamer
pengetahuan, sembari berucap, “Tujuan saya, sebenarnya memberi
kontribusi faedah kepada manusia,” padahal ucapannya itu didasari riya’.
Sebab bila tujuannya untuk membuat kebajikan kepada manusia, tentu ia
pasti lebih senang bila tindakannya itu dilakukan oleh orang lain yang
sepadan atau di atasnya, bahkan orang yang ada di
bawahnya.
Kadang-kadang ketika memasuki rumah para penguasa, ia
memuji-muji dan menampakkan kecintaannya.
Ketika ditanya soal
tindakannya itu, ia menjawab, “Tujuan saya adalah untuk kemanfaatan
bersama ummat Islam, dan menolak bahaya dari penguasa itu.”
Padahal ia
terkena tipudayanya sendiri.
Tentunya.... bila memang demikian tujuannya,
pasti ia akan senang bila yang melakukan itu orang lain.
Seandainya ada
seseorang yang berkenan dan sukses perannya di hadapan penguasa, ia
justru emosi pada tindakan orang lain itu.
Ketika ia bisa meraih
harta dari penguasa, lantas muncul di benaknya bahwa harta itu haram,
tiba-tiba syetan berbisik, “Ini harta tanpa pemilik, bisa dipakai untuk
kemaslahatan ummat Islam,
Andakan pemuka ummat dan pakar nereka.
Karena
Andalah agama ini bisa tegak.”Di sini ada tiga tipudaya:
Pertama:Bahwa ada harta yang tidak ada pemiliknya.
Kedua:Demi
kemaslahatan ummat Islam.
Ketiga:
Ia adalah pemuka ummat.
Lantas
apakah ada seorang pemuka (Imam) kecuali orang yang menolak duniawi
seperti para Nabi, para sahabat dan Ulama-ulama ummat yang utama.....?
Dan
sepadan mereka, sebagaimana Isa as. berkata, “Seorang alim yang buruk
ibarat batu di pinggir jurang, tidak mencerap air tidak pula
memancarkan air” yang dialirkan ke pertanian.”
Kalangan pakar ilmu
pengetahuan ataupun Ulama, banyak yang terpedaya, dan tindakan
destruktifnya lebih banyak dibanding reformasi kebajikannya.
Kelompok Ketiga
Mereka
mampu mendefinisikan ilmu-ilmu pengetahuan dan menyucikan fisiknya,
menampakkan ketaatan-ketaatannya, menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan
secara lahiriah, sementara mereka mengabaikan akhlak jiwa dari
sifat-sifat qalbu, sehingga tetap memelihara riya’, dengki, takabur,
dendam dan ambisi meraih posisi. Mereka sedang berupaya memerangi diri
mereka untuk bebas dari sifat-sifat tersebut, mereka ingin mencabut
akar yang tumbuh dalam hatinya, tetapi mereka terpedaya.
Sebab.... dalam
pelataran kalbunya ada sejumlah sisa-sisa tersembunyi, berupa rekayasa
syetan dan cacat pengkhianatan nafsu yang semakin dalam dan curam.
Mereka tidak mengerti bahkan kemudian mengabaikannya sama sekali.
Padahal mereka ibarat orang yang ingin membersihkan tanaman dari
rumput, ia mengelilingi tanaman itu dan meneliti setiap jengkal tanaman
dan rumput yang ada.
Tetapi.... ia tidak mencabut akar-akar rumput yang
ada di dalam tanah, dengan menduga bahwa semuanya sudah selesai.
Ketika....
alpa akan akar-akar rumput dalam tanah itu, rumput tumbuh kembali dan
merusak tanaman.
Mereka itu seandainya mau berubah pasti akan berubah.
Kadang-kadang mereka tidak mau bergaul dengan sesama, sebagai ekspresi
kesombongannya, bahkan memandang mereka dengan sebelah mata.
Terkadang
mereka melakukan kritik terhadap ijtihad orang lain agar ia tidak
dipandang sebelah mata saja.
Kelompok Keempat
Para
Ulama yang meninggalkan pentingnya ilmu pengetahuan. Mereka... hanya
membatasi ilmu fatwa saja dalam bidang hukum dan peradilan.
Mereka...
lebih banyak menekuni bidang kerja duniawi yang berjalan untuk kebaikan
kehidupan.
Lantas mereka menekuni bidang ilmu yang disebut dengan
fiqih.
Mereka... sebut disiplin itu dengan fiqih atau ilmu mazhab,
sementara bersamaan dengan penekunannya tersebut mereka mengabaikan
amal-amal yang lahiriah maupun batiniah.
Mereka tidak menjaga fisik,
tidak mengendalikan ucapan dari pergunjingan, mencegah perut dari
barang haram, dan tidak mencegah untuk melangkah ke rumah-rumah
penguasa.
Jika demikian seluruh fisiknya, mereka pun tidak bisa
mengatur hatinya dari sikap takabur, riya’, dengki dan seluruh
sifat-sifat destruktif.
Mereka ini terpedaya oleh dua hal :
Pertama
: Dari segi ilmu pengetahuan. Kami telah membangun terapinya dalam
kitab Al-Ihya’.
Bahwa mereka itu seperti orang sakit yang mengetahui
obatnya dari para cendekiawan, namun tidak mau tahu dan tidak mau
menggunakannya.
Mereka itu sebenarnya disanjung oleh kehancuran, dari
segi bahwa mereka meninggalkan penyucian dan konsentrasi hati.
Mereka
lebih sibuk dengan bab haid, denda, li’an, dzihar, sementara mereka
mengabaikan konstruksi di dalam jiwanya.
Mereka terpedaya oleh
pengagungan orang-orang yang mengelilinginya, karena ia sebagai seorang
hakim atau mufti yang menjadi rujukan.
Bila mereka berpisah maka
mereka saling menusukkan kejelekan masing-masing, namun ketika mereka
bertemu, lontaran-lontaran mereka tidak muncul lagi.
Kedua : Juga
dari segi ilmu pengetahuan. Bahwa mereka berasumsi, ilmu pengetahuan
itu hanya ada pada bidangnya, dengan menduga ilmunya dapat
menyelamatkannya.
Padahal sarana yang bisa menyelamatkan adalah
kecintaannya terhadap Allah Subhanaahu Wa Ta'ala.
Cinta kepada Allah swt. tidak bisa
diraih kecuali dengan ma’rifatullah.
Ma’rifat ini ada tiga: 1. Ma’rifat Dzat
2. Ma’rifat Sifat
3.Ma’rifat Af’aal.
Mereka
ibarat orang yang menjual bekal di tengah jalan orang yang sangat
membutuhkannya, sementara mereka tidak tahu bahwa fiqih (pemahaman) itu
datang dari Allah, mengenal Sifat-Nya yang bersifat menakuti dan
mencegah, agar hati senantiasa merasakan ketakutan, menekuni takwa.
Sebagaimana firman-Nya:“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di
antara mereka beberapa golongan untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya”. (Q.S. at-Taubah: 122).
Di antara mereka ada yang
membatasi bidang pengetahuan agama tersebut pada bidang fiqih belaka
dengan menekuni dimensi polemik antarulama (khilafiyah).
Mereka tidak
mencurahkan perhatian kecuali melalui metode perdebatan, disiplin dan
menampakkan polemik, mempertahankan kebenaran semata bertujuan untuk
bangga diri dan menang-menangan.
Sepanjang siang dan malam mereka
berdiskusi dalam soal pertentangan antarmazhab, mencaci kekurangan lawan
atau terman.
Mereka sebenarnya tidak bertujuan mencari ilmu, tetapi
untuk suatu gengsi di hadapan orang lain.
Seandainya mereka sibuk dengan
penjernihan hatinya, pasti tindakannya lebih baik dibanding
pengetahuan yang tak bermanfaat kecuali sekadar manfaat dunia dan
kesombongan.
Padahal gengsi tersebut akan berubah menjadi neraka yang
menjilat di akhirat nanti.
Padahal dalil-dalil mazhab tidak lebih dari
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Betapa buruknya tipudaya yang
mereka geluti!
Kelompok Kelima
Mereka
sibuk dengan ilmu Kalam dan polemik, dan sibuk mengkounter
lawan-lawannya yang kontra. Mereka... memperbanyak wacana logika yang
berbeda-beda, dan menekuni doktrin metodologi dalam melawan kelompok
lain yang berbeda.
Mereka... ini ada dua kalangan:
Pertama:Kalangan yang
sesat dan menyesatkan, dan kedua, adalah kalangan yang meneliti secara
detail.
Kalangan yang sesat dan menyesatkan, mereka terpedaya oleh
kealpaannya melalui kesesatan yang dipeluk dengan dugaan kuat bahwa
kesesatan itu bisa menyelamatkannya.
Kelompok ini terpecah-pecah dan
saling mengkafirkan satu sama lainnya.
Mereka tersesat karena memvonis
suatu pandangan tanpa mengetahui bukti dalil. dan metodologinya.
Mereka
menganggap dalil syubhat pun bisa dibuat pegangan dan akhirnya
buktinya pun syubhat.
Sementara kalangan yang meneliti secara detail,
berpandangan bahwa polemik merupakan persoalan prioritas dan menempati
posisi utama dalam agama Allah.
Mereka berasumsi bahwa tak seorang pun
bisa sempurna agamanya sepanjang belum mengkaji detail.
Siapa
yang membenarkan Allah tanpa membuat penelitian dan kajian terhadap
suatu premis, dia tidak dikategorikan sebagai Mukmin yang sempurna dan
tidak bisa dianggap dekat dengan Allah Subhanaahu Wa Ta'ala. Mereka,,, sarma sekali tidak
menoleh pada generasi pertama, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. yang disaksikan oleh
mereka sebagai makhluk paling utama sama sekali tidak menuntut suatu
dalil untuk keimanan seseorang. Abu Umamah al-Bahily r.a. pernah
meriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. yang bersada:“Suatu kaum tidak akan pernah
sesat sama sekali kecuali jika perdebatan didatangkan kepada mereka”.
Kelompok Keenam
Mereka
sibuk dengan nasihat, mengangkat derajat orang-orang yang membahas
seputar akhlak jiwa dan sifat-sifat hati, berupa khauf, raja, sabar;
syukur; tawakkal, zuhud, yaqin, ikhlas dan kejujuran. Mereka sebenarnya
terkena tipudaya karena dugaannya jika berbicara tentang
predikat predikat tersebut dan berdakwah dengan mengajak manusia untuk
mendisiplinkan dengan predikat itu, seakan-akan mereka telah memiliki
predikat yang sama. Padahal mereka terlepas dari predikat tersebut
kecuali sedikit orang saja, di mana kalangan awam tidak mengetahuinya.
Mereka.... sebenarnya terbelenggu tipudaya yang dahsyat.
Sebab... mereka kagum
dengan dirinya sendiri.Mereka.... menduga, bahwa mereka tidak menyelami
ilmu cinta kepada Allah kecuali mereka pasti selamat saat itu.
Mereka....
pun merasa aman dan terampuni dosanya karena mereka hafal akan ucapan
kalangan ahli zuhud, sementara amalnya sepi.
Mereka sebenarnya lebih dahsyat tipudayanya dibanding Ulama sebelumnya.
Hal itu disebabkan:
Mereka...
menyangka mencintai Allah dan Rasul-Nya, sementara mereka tidak mampu
menyelami hakikat ikhlas kecuali mereka benar-benar ikhlas.
Mereka... tidak pernah berpijak pada cacat jiwa yang tersembunyi kecuali mereka merasa suci. Begitu pula seluruh sifat-sifatnya.
Mereka... mencintai dunia namun dengan menampakkan zuhud duniawi, padahal sangat ambisius dengan dunia dan kecintaannya yang kuat.
Mereka... menganjurkan ikhlas sementara mereka tak pernah berlaku ikhlas.
Mereka... menampilkan tindakan berdoa kepada Allah padahal mereka lari dari Allah swt.
Mereka... menampakkan ketakutan terhadap Allah padahal mereka merasa dirinya aman dari siksa Allah.
Mereka... berdzikir kepada Allah tetapi sebenarnya mereka lupa dengan-Nya.
Mereka... merasa dekat dengan Allah padahal mereka jauh dari-Nya.
Mereka... mencaci sifat-sifat tercela sedangkan sifat itu dipakai oleh diri mereka.
Mereka...
menampakkan seakan-akan tidak butuh makhluk, namun hatinya ambisius
agar manusia mengerumuninya.Seandainya mereka dihalangi dari
majelis-majelisnya di mana manusia berdoa kepada Allah di sana, dunia
terasa sempit baginya.
Mereka.... menyangka melakukan kebajikan
kepada manusia, namun seandainya ada orang lain lebih dahulu tampil dan
berhasil dihadapannya, ia merasa gelisah dan dengki.
Bila ada sebagian
sahabatnya yang memuji orang lain yang kontra padanya, ia bersikap
emosi kepada sahabatnya itu.
Mereka.... itu adalah kalangan yang benar-benar terkena tipudaya, dan jauh dari peringatan serta kembali pada jalan yang benar.
KelompokKetujuh
Mereka....
beralih orientasi dari kewajiban prioritas dalam nasihat.
Mereka....
adalah penasihat-penasihat zaman ini yang menyimpang, kecuali penasihat
yang dilindungi oleh Allah Subhanaahu Wa Ta'ala
Mereka... menekuni ketaatan, melakukan
ekstase dan mengutip wacana-wacana dari aturan undang-undang syari’at
dan keadilan, semata-mata agar dikagumi.
Kelompok lain malah
menggunakan kata-kata yang indah, dengan tujuan menciptakan sajak-sajak
dan agar disaksikannya perasaan-perasaan bertemu dan berpisah dengan
Tuhan.
Orientasi mereka agar dalam majelisnya ada semacam
ekstase, walaupun dengan tujuan-tujuan yang destruktif.
Mereka....
sebenarnya adalah syetan-syetan manusia yang tersesat dan menyesatkan.
Bila kelompok-kelompok di atas tidak introspeksi diri, toh masih ada
orang lain yang mengoreksi dan meluruskan tindakan mereka.
Namun.... untuk
kelompok terakhir ini mereka justru menghalangi jalan Allah, dan
menyeret manusia pada tujuan-tujuan dan tipudaya kepada Allah dengan
wacana-wacana penyimpangan, semata demi kemaksiatan dan kecintaan
duniawi. Apalagi jika penasihat tersebut dihiasi dengan pakaian
kebesaran dan penampilan, mereka berpidato di hadapan manusia agar
selalu patuh, berharap rahmat kepada Allah Subhanaahu Wa Ta'ala., hingga mereka yang
mendengarnya pun malah putus asa terhadap rahmat Allah Subhanaahu Wa Ta'ala
Kelompok Kedelapan
Mereka
menerima ucapan ahli-ahli zuhud dan kisah-kisahnya dalam mencaci
dunia, lantas mereka mengulanginya menurut apa yang telah dihafalnya
tanpa menguasai makna sebenarnya. Salah seorang dari mereka lantas
berdiri di atas mimbar memberi nasihat kepada orang lain, dan yang lain
memberi nasihat di pasar-pasar sambil mengobrol ke sana-ke mari.
Mereka.... menduga dirinya akan selamat di hadapan Allah, mendapat ampunan
dengan menghafal ucapan ahli zuhud sementara amalnya sendiri kosong.
Tentu mereka ini lebih dahsyat terpedayanya dibanding sebelumnya.
Kelompok Kesembilan
Mereka
menenggelamkan waktu-waktu mereka dalam bidang ilmu hadis, yakni dalam
penyimakan hadis dan seluruh riwayatnya yang banyak.
Mereka....
mencari-cari sanad-sanad yang asing dan tinggi.
Hasrat mereka agar bisa
berkeliling negeri dan meriwayatkan dari para syeikh, untuk
selanjutnya ia bisa mengatakan, “Saya meriwayatkan dari Fulan, dan saya
bertemu Fulan, saya mempunyai sanad-sanad yang tidak dimiliki orang
lain.”
Tipu daya yang melanda mereka ini dari berbagai segi,
antara lain mereka seperti pembawa buku.
Mereka... tidak berkonsentrasi
untuk memahami Sunnah dan merenungkan artinya, namun terbatas pada
penukilan. Mereka menduga tindakannya itu sudah cukup, Sungguh jauh....!
Bahkan.... tujuan mempelajari hadis dari segi makna dan pemahamannya sirna
begitu saja.
Pertama-tama mempelajari hadis itu adalah mendengarkan,
kemudian menghafal, lantas memahami, selanjutnya mengamalkan, baru
menyebarkan.
Mereka... hanya membatasi diri mendengarkan kemudian tidak
bisa membuat keputusan hukum dari ilmunya itu.
Manakala tidak ada
gunanya dengan pembatasan kerja mereka seperti itu, sementara hadis
pada zaman ini bisa dibaca oleh anak-anak, mereka terpedaya dan alpa.
Sementara syeikh yang membacakan hadis pun kadang-kadang lupa, sampai
hadisnya bertumpuk namun tidak mengerti.
Si murid bisa jadi tertidur
ketika syeikh meriwayatkan hadis, dan sang syeikh tidak tahu ketika
murid itu tidur.Semua itu merupakan tipudaya.
Prinsip dalam penyimakan
hadis adalah mendengarkannya dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, lantas menghafalnya
dan menyampaikannya sebagaimana adanya.
Riwayat itu lahir dari hafalan,
dan hafalan lahir dari penyimakan.
Bila penyimakannya lemah dari
Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam, ia bisa mendengarkan atau menyimak dari sahabat atau
tabi’in, sehingga sima’nya dari mereka seperti penyimakannya dari
Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam.
Ia... harus memperhatikan dan menghafal sebagaimana para
sahabat dan tabi’in menghafal, sehingga tak satu huruf pun yang
dilalaikan.
Seandainya ragu ia tak berhak meriwayatkannya atau
mengajarkannya.
Dan.... ia harus menyalahkan bilamana ada kesalahan.
Penghafalan
hadis bisa melalui dua metode. Pertama:
Melalui hati dengan cara
kontinyu dan mengingat-ingat.
Kedua:
Melalui penulisan apa yang
didengar dan pentashihan apa yang tertulis, dan kemudian menghafalnya
agar tidak ada tangan yang mengubahnya.
Dalam hal ini hafalannya
tertumpu pada kitab atau buku hadis, seharusnya buku-buku tersebut
tersimpan rapi dalam perpustakaan dan terjaga agar tidak diubah orang
lain.
Ia.... tidak boleh menulis penyimakan yang dilakukan anak-anak, orang
yang lupa dan orang yang tidur.
Seandainya itu boleh, pasti penyimakan
anak-anak boleh ditulis ketika dalam ayunan.
Dalam penyimakan hadis
memang ada syarat-syarat yang cukup banyak.
Tujuan mempelajari hadis
adalah mengamalkan dan mengetahuinya.
Hadis memiliki pemahaman
yang banyak sebagaimana al-Qur’an. Riwayat dari Abu Sufyan bin Abul
Khair al-Munhy, bahwa dirinya hadir dalam majelis Zahir bin Ahmad
as-Sarkhasy.
Hadis pertama yang diriwayatkannya adalah sabda Nabi
Shallallahu Alaihi Wasallam.:“Di antara kebajikan Islamnya seseorang adalah meninggalkan apa
yang tak berguna”.
Lantas ia berdiri dan berkata, “Ini sudah cukup
bagiku hingga aku menuntaskan, kemudian barulah aku menyimak yang
lain.”
Demikian itu merupakan penyimakan yang sebenarnya.
Kelompok Kesepuluh
Mereka....
menekuni di bidang ilmu nahwu dan bahasa serta syair dan bahasa-bahasa
langka.
Mereka.... terpedaya di sini, karena menduga disiplin ilmunya bisa
menyelamatkannya.
Mereka... merasa sebagai ulama ummat. Karena tegaknya
agama dan Sunnah itu disertai ilmu nahwu dan bahasa.
Lantas mereka
tenggelam dalam bidang tersebut.
Sungguh ini keterpedayaan yang besar.
Kalau mereka berpikir pasti mereka tahu bahwa bahasa Arab itu seperti
juga bahasa Turki.
Orang yang mencurahkan hidupnya untuk bahasa Arab
seperti orang lain yang mendalami bahasa Turki, India dan yang lainnya.
Mereka... hanya dibedakan adanya syari’at saja.
Padahal bidang bahasa
adalah untuk mengenal ilmul gharib dalam Kitab dan Sunnah.
Dan.... dari
segi nahwu ada yang berkaitan dengan Kitab dan Sunnah, sementara
mendalami secara ekstrem sampai pada frekuensi tak terbatas adalah
sikap berlebihan yang tidak perlu dilakukan.
Pakar dalam hal ini
sebenarnya terkena tipudaya.
Wallahu A'alam