SELAMAT DATANG DI NOTE UNTUK KAMU

SELAMAT DATANG DI NOTE UNTUK KAMU

Blogger ini muncul berdasarkan dari beberapa permintaan saudara-saudariku semua..

Alhamdulillah akhirnya tercapai juga dan selesai sudah blogger ini dibuat...

Namun kesempurnaan blogger ini belumlah maximal.

Semoga dihari..hari mendatang dapat disempurnakan blogger ini

Dan blogger ini tercipta dan ada... karena... diri saudara-saudariku semua..

Dan...tiada artinya blogger"NOTE UNTUK KAMU" ini.. jika saudara-saudariku tidak berada didalamnya....

Salam Ukhwah..........

Feb 19, 2013

PERTEMUAN MANUSIA DENGAN SANG KHALIQ


Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, melihat Allah di akhirat nanti adalah pasti kebenarannya dan barangsiapa yang mengingkarinya berarti kafir.

Orang-orang mukmin akan melihatNya pada hari kiamat dan ketika mereka berada di dalam jannah sebagaimana dikehendaki oleh Allah.
Keyakinan seperti ini berdasarkan ijma’ Ahlus Sunnah. Dasarnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Mereka melihat RabbNya” [Al-Qiyamah : 22-23]

Allah juga berfirman.

“Artinya : Bagi orang-orang yang berbuat ihsan, ada pahala yang terbaik dan tambahan” [Yunus : 26]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menafsirkan tambahan dengan kenikmatan melihat wajah Allah.
Disebutkan pula dalam hadits bahwa orang-orang beriman akan melihat Rabb mereka pada hari kiamat dan ketika di dalam jannah.

Adapun dalam kehidupan dunia, maka tiada seorangpun yang bisa melihat Allah. Allah berfirman.

“Artinya : Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan” [Al-An’aam : 103]

Allah pernah berfirman kepada Nabi Musa : “Lantaraanii” (kamu tidak akan bisa melihat-Ku) [Al-A’raf : 143]. Disebutkan pula bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

“Artinya : Ketahuilah bahwa tiada seorangpun yang akan bisa melihat Rabb-nya sehingga ia mati”

Melihat Allah merupakan kenikmatan yang tertinggi bagi penghuni jannah.
Sedangkan dunia kita ini adalah bukan tempat kenikmatan, akan tetapi merupakan tempat bersusah payah, bersedih dan tempat pemberian beban (taklif) atau tempat usaha.
Jadi Allah tidak bisa dilihat di dunia sekarang ini, akan tetapi di akhirat nanti orang-orang beriman akan melihatNya.

Sedangkan orang-orang kafir, di akhiratpun nanti tetap tidak bisa melihat Allah, karena mereka dihalangi untuk melihatNya, Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : Tidak demikian, namun sesungguhnya mereka pada hari (kiamat) itu benar-benar terhalang dari melihat Rabb mereka” [Al-Muthaffifin : 15]

TATKALA MATA dan HATI BERDIALOG

Mata adalah penuntun dan hati adalah pendorong dan penuntut. Mata memiliki kenikmatan pandangan dan hati memiliki kenikmatan pencapaian.
Dalam dunia nafsu keduanya merupakan sekutu yang mesra; dan jika terpuruk ke dalam kesulitan dan keduanya bersekutu dalam cobaan; maka masing-masing akan mencela dan mencaci yang lain.

Hati Berkata kepada Mata
Hati berkata kepada mata, “Kaulah yang telah menyeretku kepada kebinasaan dan mengakibatkan penyesalan karena aku mengikutimu beberapa saat saja.

Kau lemparkan kerlingan matamu ke taman itu, kau mencari kesembuhan dari kebun yang tidak sehat, kau salahkan firman Allah, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya’, kau salahkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
النَّظْرَةُ سَهْمٌ مِنْ سِهَامِ إِبْلِيسَ مَسْمُومَةٌ فَمَنْ تَرَكَهَا مِنْ خَوْفِ اللَّهِ أَثَابَهُ جَلَّ وَعَزَّ إِيمَانًا يَجِدُ حَلَاوَتَهُ فِي قَلْبِهِ
“Memandang wanita adalah panah beracun dari berbagai macam panah iblis.
Barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada Allah Azza wa Jalla, maka Allah akan memberi balasan iman kepadanya yang akan didapati kelezatannya di dalam hatinya.”
(HR. Ahmad)

Umar bin Syabbata berkata, “Kami diberitahu Ahmad bin Abdullah bin Yunus, kami diberitahu Anbasah bin Abdurrahman Al-Qurasyi, kami diberitahu Abul-Hasan Al-Madany, kami diberitahu Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘Anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘slaihi wa sallam bersabda, “Pandangan laki-laki terhadap keelokan wanita adalah panah dari berbagai macam panah iblis yang beracun. Barangsiapa menghindar dari panah itu, maka Allah akan menggantinya dengan ibadah yang membuatnya dia senang.”

Lalu adakah orang yang lebih tercela daripada orang yang terkena panah beracun....?
Apakah engkau tidak tahu bahwa tidak ada yang lebih berbahaya bagi manusia selain dari mata dan lidah...?
Tidak ada kerusakan yang lebih banyak selain daripada kerusakan yang diakibatkan mata dan lidah.

Berapa banyak kebinasaan yang disebabkan mata dan lidah....?
Barangsiapa ingin hidup bahagia dan terpuji, maka hendaklah dia menahan ujung pandangan matanya dan lidahnya, agar selamat dari bahaya, karena mata menyimpan kelebihan pandangan dan lidah menyimpan kelebihan bicara.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan bahwa dua mata itu bisa berzina.

Keduanya merupakan permulaan zina kemaluan, penuntun dan pendorongnya.
Beliau pernah ditanya tentang pandangan secara tiba-tiba.
Maka beliau memerintahkan orang yang bertanya itu untuk mengalihkan pandangannya.
Beliau memberi petunjuk kepada yang bermanfaat baginya dan menghindari apa yang mendatangkan mudharat (bahaya) baginya.

Beliau juga bersabda kepada Ali bin Abu Thalib, “Janganlah engkau susuli pandangan dengan pandangan lagi.”

Inilah perkataan para ulama, “Siapa yang mengumbar pandangannya akan menuai akibatnya.
Siapa yang berlama-lama memandang, penyesalannya juga akan terus berkelanjutan, hilang waktunya dan berkerpanjangan deritanya.”

Seorang penyair berkata,
Mata yang beradu mata dalam pandangan
adalah jalan kerusakan ke dalam hati
beberapa saat terjadi peperangan
hingga berlumuran darah dan mati

Penyair lain berkata,
Wahai kedua mata, kau nikmati pandangan
lalu kau susupkan kepahitan ke dalam hati
jangan lagi kau ganggu hati ini
berbuat lalim dengan sekali tebasan

Sanggahan Mata terhadap Hati
Mata berkata, “Kau zhalimi aku sejak awal hingga akhir.
Kau kukuhkan dosaku lahir batin.
Padahal aku hanyalah utusanmu yang selalu taat dan penuntun yang menunjukkan jalan kepadamu.”
“Engkau adalah raja yang ditaati.
Sedangkan kami hanyalah rakyat dan pengikut.
Untuk memenuhi kebutuhanmu, kau naikkan aku ke atas kuda bi nal, disertai ancaman dan peringatan.

Jika kau suruh aku untuk menutup pintuku dan menjulurkan hijabku, dengan senang hati akan kuturuti pemimpin manusia dan hakim yang adil. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah membuat keputusan bagi diriku dengan bersabda,
أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
Sesungguhnya di dalam tubuh itu ada segumpal darah. Jika ia baik, maka baik pula seluruh tubuhnya, dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah segumpal darah itu adalah hati.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lainnya)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Hati adalah raja dan seluruh anggota tubuh adalah pasukannya. Jika rajanya baik, baik pula pasukannya.
Jika rajanya buruk, maka buruk pula pasukannya.” Jika engkau dianugerahi pandangan, tentu engkau tahu bahwa rusaknya para pengikutmu adalah karena kerusakan dirimu, dan kebaikan mereka adalah karena kebaikanmu.
Jika engkau rusak, rusak pula para pengikutmu.
Lalu engkau lemparkan kesalahanmu kepada mata yang tak berdaya.
Sumber bencana yang menimpamu ialah karena engkau tidak memiliki cinta kepada Allah, tidak menyukai dzikir kepada-Nya, tidak menyukai firman, asma’ dan sifat-Nya.
Engkau beralih kepada yang lain dan berpaling dari-Nya.
Engkau berganti mencintai selain-Nya.
Padahal engkau telah mendengar kisah pengingkaran Allah terhadap Bani Israil, karena mereka mengganti makanan yang ada dengan makanan lain yang justru lebih hina.
Maka Allah mencela mereka.
أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ
Maukah kalian mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?” (Qs Al-Baqarah: 61)

Bagaimana keadaan pengganti cinta kepada Pencipta, Pelindung, dan yang menangani urusannya, yang tidak memiliki keberuntungan, kenikmatan dan kesenangan...?
Bandingkanlah Allah dengan sesuatu yang engkau jadikan pengganti-Nya dan pengganti cinta kepada-Nya. Apakah engkau ridha berada di jamban, sementara orang-orang yang mencintai Allah berada di ‘Arsy...?
Jika engkau menghadapkan diri kepada Allah dan berpaling dari selain-Nya, tentu engkau akan melihat berbagai macam keajaiban, engkau aman dari bencana dan kerusakan.
Tentunya engkau sudah tahu bahwa Dia mengkhususkan keberuntungan dan kenikmatan kepada orang yang mendatangi-Nya dengan hati yang bersih atau bersih dari kemusyrikan yang di dalamnya tidak ada cinta kepada selain-Nya dan hanya mengikuti ridha-Nya.
Mata berkata, “Antara dosaku dan dosamu di tengah manusia seperti antar kebutaanku dan kebutaanmu dalam membuat analog.”

Allah telah berfirman tentang orang yang mengalami krisis,
فَإِنَّهَا لا تَعْمَى الأبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
Sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (Al-Hajj: 46)

Limpa Ikut Bicara
Tatkala mendengar dialog antara hati dan mata serta perdebatan mereka berdua, maka limpa berkata, “Kalian berdua saling bahu-membahu untuk mengahancurkan dan membunuhku.

Ada orang yang telah menggambarkan perdebatan kalian ini,
Mata menganggap hati menimpakan derita
hatilah yang telah memaksakan kehendaknya
namun tubuh menjadi saksi atas kedustaan mata
bencana hati memang berasal dari mata
andaikata tidak mata tak kan ada derita
hati tak kan terkapar menjadi korbannya
limpa merana sebagai korban yang teraniaya
karena hati dan mata tidak tunduk kepada Pencipta

Penyair lain berkata,
Kulemparkan cacian kepada hati
karena kulihat badanku kurus kering
hati mengikuti apa yang diinginkan mata
dengan berkata, ’Engkaulah sang duta’
mata berkata kepada hati,
Justru engkaulah yang menjadi penunjuk jalan’
Limpa berkata, ‘Hentikan perdebatan ini’
Kalian biarkan diriku sebagai korban

Limpa berkata lagi, “Saya akan menjadi pembuat keputusan di antara kalian berdua (mata dan hati).
Kalian berdua bahu-membahu dalam bencana, begitu pula dalam kenikmatan dan kesenangan.
Mata menyerap kesenangan dan hati bernafsu serta selalu berangan-angan.

Oleh karena itu seorang penyair berkata tentang kalian berdua,
Ada rona kegembiraan tatkala cinta menghilang
keselamatan atas kalian wahai mata dan hati
aku tidak lagi berjaga pada malam hari
bebas dari kesepian dan penederitaan
kita semua layak mendapatkan kebahagiaan
jika kembali tiada lagi canda dan tawa

Limpa berkata lagi, “Jika engkau tidak mendapat uluran pertolongan yang bisa merubah hati dan pandangan, maka jangan harap akan ada ketenangan di hati.”

Seorang penyair berkata,
Aku tak tahu mengapa kucerca cinta
ataukah matamu yang tercemar ataukah hati
mengapa kucerca hati yang bisa melihat
hatilah yang berdosa jika kucerca mata
mata dan hatiku membagi-bagi darahku
ya Rabbi tolonglah mata dan hatiku

Limpa berkata lagi, “Jika engkau mengguyur hati dengan air cinta dari gelas-gelasmu, berarti engkau menyalakan api kerinduan kepadanya, lalu engkau membumbung naik bersama uap kemudian jatuh.
Engkau yang pertama kali meminum dan engkau pula yang pertama kali merasakan panasnya.
Hakim yang membuat keputusan di antara kalian berdua adalah yang menetapkan antara ruh dan jasad, jika keduanya saling berselisih.

Dikatakan dalam sebuah atsar yang masyhur, “Pertentangan di antara makhluk senantiasa ada hingga hari kiamat tiba, hingga ruh dan jasad saling bertentangan.

Jasad berkata kepada ruh, ‘Engkaulah yang menggerakkan aku, menyuruh dan membalikkan aku. Jika tidak begitu, tentu aku tidak akan bergerak dan berbuat seperti itu.’
Ruh berkata kepada jasad, ‘Engkaulah yang makan, minum, bergembira dan merasakan kenikmatan maka engkaulah yang layak mendapat siksaan.’

Lalu Allah mengirim seorang malaikat kepada keduanya untuk memutuskan perkara mereka, seraya berkata, ‘Perumpamaan kalian berdua adalah seperti orang melihat yang hanya bisa duduk dan orang buta yang hanya bisa berjalan. Keduanya memasuki sebuah kebun.
Orang yang bisa melihat berkata kepada orang yang buta, “Di kebun ini saya melihat ada buahnya, tetapi saya tidak bisa berdiri.”
Orang buta berkata, “Saya bisa berdiri tetapi tidak bisa melihat sesuatu pun.”
Orang yang bisa melihat berkata, “Panggullah aku lalu berjalanlah, agar aku bisa memetiknya.”
Lalu siapakah yang harus menanggung beban? Kedua-duanya yang menanggung beban.
Begitulah gambaran keadaan mata dan hati.
***

Disalin ulang dari buku Taman-taman Orang Jatuh Cinta dan Memendan Rindu, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah cetakan Darul Falah 1427 H

Feb 17, 2013

MISTERI PERSAMAAN MANUSIA DAN JIN

Syaikh Abu Nashr Muhammad Al-Imam ditanya, “Di mana letak persamaan antara jin dan manusia?”
Maka beliau menjawab, “Persamaan antara jin dan manusia itu banyak dan saya akan menyebutkan beberapa di antaranya:
1. Yang menciptakan, menguasai, dan mengurusi mereka semua (jin dan manusia) adalah Allah Subhaanahu wata’aala.

2. Mereka semua diciptakan untuk beribadah kepada Allah Subhaanahu wata’aala saja. Allah Subhaanahu wata’aala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Adz Dzariyat : 56)
Maka tidak ada perbedaan secara umum antara beban yang diberikan pada jin dan manusia dalam hal beribadah kepada Allah Subhaanahu wata’aala.

3. Mereka setara dalam hal apa yang telah menjadi ketetapan takdir dari Allah Subhaanahu wata’aala, kepada mereka dalam masalah kematian dan sebab-sebabnya.
Mereka juga sama dalam hal tidak mengetahui kapan ajalnya dan tidak mengecualikan seorang pun dalam hal kematian kecuali Iblis.
Sungguh Allah Subhaanahu wata’aala, telah memberikan tempo sampai pada batas waktu yang ditentukan.

4. Masing-masing jin dan manusia akan dibangkitkan untuk dihisab. Jin juga akan dikumpulkan pada hari kiamat di padang mahsyar dalam keadaan nampak.
Allah Subhaanahu wata’aala, berfirman:
سَنَفْرُغُ لَكُمْ أَيُّهَ الثَّقَلَانِ

Kami akan memperhatikan sepenuhnya kepadamu hai manusia dan jin.
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ

Maka ni’mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ إِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ تَنْفُذُوا مِنْ أَقْطَارِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ فَانْفُذُوا لَا تَنْفُذُونَ إِلَّا بِسُلْطَانٍ
“Hai sekalian jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.” (QS. Ar-Rahman :31-33)

5. Setiap jin dan manusia yang mukmin akan masuk surga dan yang kafir masuk neraka sebagaimana yang diketahui dari banyak dalil.

6. Jin dan manusia tidak mengetahui perkara ghaib. Allah Subhaanahu wata’aala, berfirman,
فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَى مَوْتِهِ إِلَّا دَابَّةُ الْأَرْضِ تَأْكُلُ مِنْسَأَتَهُ فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ الْجِنُّ أَنْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوا فِي الْعَذَابِ الْمُهِينِ
“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan.” (QS. Saba : 14)

7. Asal penciptaan keduanya adalah dari air. Allah Subhaanahu wata’aala, berfirman,
وَاللَّهُ خَلَقَ كُلَّ دَابَّةٍ مِنْ مَاءٍ فَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى بَطْنِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى رِجْلَيْنِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى أَرْبَعٍ يَخْلُقُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki sedang sebagian berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. An-Nur : 45)
Kami telah memaparkan permasalahan tersebut dalam kitab kami Naqdhu An Nazhariyyaat Al Kauniyyah.

8. Jin memiliki status yang berbeda-beda seperti halnya manusia.
Di antara mereka ada yang menjadi raja; ada yang kaya dan adapula yang miskin; ada yang kuat dan adapula yang lemah; ada yang pintar dan adapula yang bodoh; ada yang mulia dan ada pula yang hina; ada yang shaleh dan adapula yang buruk; ada yang menjadi penguasa dan ada pula yang menjadi rakyat; ada yang menjadi ulama adapula yang bodoh; ada yang menjadi sastrawan atau ahli syair, da’i dan penuntut ilmu. Mereka juga berkelompok-kelompok, ada yang menjadi ahli bid’ah dan adapula yang sunni; ada yang yahudi dan adapula yang nashara atau majusi; ada yang Arab dan adapula yang bukan Arab.
Allah Subhaanahu wata’aala, berfirman,
وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُونَ وَمِنَّا دُونَ ذَلِكَ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا

Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda. (QS. Al Jin : 11)
Yang dimaksud dengan “Ath Tharaaiq” adalah berkelompok. Yang dimaksud dengan “Qidadaa” yaitu berbeda-beda.

9. Jin mampu untuk mengganggu manusia dengan berbagai macam gangguan dimulai dengan memberikan waswas, menjauhkan dari jalan Allah Subhaanahu wata’aala, menganggap baik perbuatan jelek dan bisa menguasai badan manusia.

Sebagian mereka mampu menguasai manusia dengan memukul, membunuh, menahan, menculik dan merasuki serta yang lainnya.
Manusia juga mampu menyakiti jin baik secara umum maupun khusus.
Adapun menyakiti mereka secara umum dengan cara berlindung diri kepada Allah Subhaanahu wata’aala, dengan menjaga zikir-zikir yang disyariatkan serta istiqamah di atas manhaj Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Adapun menyakiti mereka secara khusus seperti apa yang dialami oleh sebagian mereka berupa pemukulan atau membunuh sebagian jin baik dengan cara yang hak maupun batil.


10. Jin dan manusia diberikan oleh Al oleh Allah Subhaanahu wata’aala, kehendak untuk memilih, kekuatan dan kemampuan untuk menerima kebenaran atau menolaknya.
Itu semua berada di bawah kehendak Allah Subhaanahu wata’aala, dan ketetapan-Nya dan setiap gerakan-gerakan mereka itu terjadi dengan izin-Nya.

11. Jin dan manusia yang shaleh di antara mereka ada yang terjatuh dalam perbuatan maksiat dan yang kafir di antara mereka tetap diharapkan untuk bertaubat kepada Allah Subhaanahu wata’aala.

10. Kaum mukminin dari kalangan jin dan manusia mendapatkan karamah[1] dari Allah Subhaanahu wata’aala. Allah Subhaanahu wata’aala, memuliakan di antara mereka bagi siapa yang dikehendaki-Nya baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan.
Ini merupakan hal-hal terpenting tentang persamaan antara jin dan manusia. Namun jika dijelaskan secara lebih rinci beserta cabang-cabangnya, maka jumlahnya akan lebih banyak lagi dan hanya kepada Allahlah kita meminta pertolongan.

Sumber Kitab Terjemah : “HUKUM BERINTERAKSI DENGAN JIN” Pustaka : Ats Tsabat.
[1] Karamah adalah suatu kejadian yang luar biasa yang diberikan kepada siapa yang dikehendaki Allah Subhaanahu wata’aala, dari kalangan hamba-Nya dengan tujuan untuk menampakkan kebenaran agamanya. Sebagian para ulama menyebut istilah mukjizat bagi para nabi sedangkan karamah untuk para wali Allah yang bertaqwa kepada-Nya

SEJARAH MENCATAT YAHUDI SELALU MEMUSUHI ISLAM



Permusuhan Yahudi terhadap Islam sudah terkenal dan ada sejak dahulu kala. Dimulai sejak dakwah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan mungkin juga sebelumnya bahkan sebelum kelahiran beliau. Hal ini mereka lakukan karena khawatir dari pengaruh dakwah islam yang akan menghancurkan impian dan rencana mereka. Namun dewasa ini banyak usaha menciptakan opini bahwa permusuhan yahudi dan islam hanyalah sekedar perebutan tanah dan perbatasan Palestina dan wilayah sekitarnya, bukan permasalahan agama dan sejarah kelam permusuhan yang mengakar dalam diri mereka terhadap agama yang mulia ini.
Padahal pertarungan kita dengan Yahudi adalah pertarungan eksistensi, bukan persengkataan perbatasan. Musuh-musuh islam dan para pengikutnya yang bodoh terus berupaya membentuk opini bahwa hakekat pertarungan dengan Yahudi adalah sebatas pertarungan memperebutkan wilayah, persoalan pengungsi dan persoalan air. 
Dan bahwa persengketaan ini bisa berakhir dengan (diciptakannya suasana) hidup berdampingan secara damai, saling tukar pengungsi, perbaikan tingkat hidup masing-masing, penempatan wilayah tinggal mereka secara terpisah-pisah dan mendirikan sebuah Negara sekuler kecil yang lemah dibawah tekanan ujung-ujung tombak zionisme, yang kesemua itu (justeru) menjadi pagar-pagar pengaman bagi Negara zionis. 
Mereka semua tidak mengerti bahwa pertarungan kita dengan Yahudi adalah pertarungan lama semenjak berdirinya Negara islam diMadinah dibawah kepemimpinan utusan Allah bagi alam semesta yaitu Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam
Demikianlah permusuhan dan usaha mereka merusak Islam sejak berdirinya Negara islam bahkan sejak Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam hijrah ke Madinah sampai saat ini dan akan berlanjut terus. Walaupun tidak tertutup kemungkinan mereka punya usaha dan upaya memberantas islam sejak kelahiran beliau n . hal ini dapat dilihat dalam pernyataan pendeta Buhairoh terhadap Abu Thalib dalam perjalanan dagang bersama beliau diwaktu kecil. Allah Ta’ala telah jelas-jelas menerangkan permusuhan Yahudi dalam firmanNya:
Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. (Qs. 5:82)
Melihat demikian panjangnya sejarah dan banyaknya bentuk permusuhan Yahudi terhadap Islam dan Negara Islam, maka kami ringkas dalam 3 marhalah;
Marhalah pertama:
Upaya Yahudi dalam menghalangi dakwah Islam di masa awal perkembangan dakwah islam dan cara mereka dalam hal ini.
Diantara upaya Yahudi dalam menghalangi dakwah Islam di masa-masa awal perkembangannya adalah:
  1. Pemboikotan (embargo) Ekonomi: Kaum muslimin ketika awal perkembangan islam di Madinah sangat lemah perekonomiannya. Kaum muhajirin datang ke Madinah tidak membawa harta mereka dan kaum Anshor yang menolong mereka pun bukanlah pemegang perekonomian Madinah. Oleh karena itu Yahudi menggunakan kesempatan ini untuk menjauhkan kaum muslimin dari agama mereka dan melakukan embargo ekonomi. Para pemimpin Yahudi enggan membantu perekonomian kaum muslimin dan ini terjadi ketika Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengutus Abu Bakar menemui para pemimpin Yahudi untuk meminjam dari mereka harta yang digunakan untuk membantu urusan beliau dan berwasiat untuk tidak berkata kasar dan tidak menyakiti mereka bila mereka tidak memberinya. Ketika Abu Bakar masuk Bait Al Midras (tempat ibadah mereka) mendapati mereka sedang berkumpul dipimpin oleh Fanhaash –tokoh besar bani Qainuqa’- yang merupakan salah satu ulama besar mereka didampingi seorang pendeta yahudi bernama Asy-ya’. Setelah Abu Bakar menyampaikan apa yang dibawanya dan memberikan surat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam kepadanya. Maka ia membaca sampai habis dan berkata: Robb kalian butuh kami bantu! Tidak hanya sampai disini saja, bahkan merekapun enggan menunaikan kewajiban yang harus mereka bayar, seperti hutang, jual beli dan amanah kepada kaum muslimin. Berdalih bahwa hutang, jual beli dan amanah tersebut adanya sebelum islam dan masuknya mereka dalam islam menghapus itu semua. Oleh karena itu Allah berfirman:Di antara Ahli Kitab ada orang yang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaranmereka mengatakan:”Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui. (Qs. 3:75)
  2. Membangkitkan fitnah dan kebencian: Yahudi dalam upaya menghalangi dakwah islam menggunakan upaya menciptakan fitnah dan kebencian antar sesama kaum muslimin yang pernah ada di hati penduduk Madinah dari Aus dan Khodzraj pada masa jahiliyah. Sebagian orang yang baru masuk islam menerima ajakan Yahudi, namun dapat dipadamkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam . diantaranya adalah kisah yang dibawakan Ibnu Hisyam dalam Siroh Ibnu Hisyam (2/588) ringkas kisahnya: Seorang Yahudi bernama Syaas bin Qais mengutus seorang pemuda Yahudi untuk duduk dan bermajlis bareng dengan kaum Anshor, kemudian mengingatkan mereka tentang kejadian perang Bu’ats hingga terjadi pertengkaran dan mereka keluar membawa senjata-senjata masing-masing. Lalu hal ini sampai pada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. maka beliau shallallahu ’alaihi wa sallam segera berangkat bersama para sahabat muhajirin menemui mereka dan bersabda:يَا مَعْشَر المُسْلِمِيْنَ اللهَ اللهَ أَبِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ وَ أَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ بَعْدَ أَنْ هَدَاكُمُ اللهُ لِلإِسْلاَمِ وَ أَكْرَمَكُمْ بِهِ وَ قَطَعَ بِهِ أَمْرَ الْجَاهِلِيَّةِ وَاسْتَنْقَذَكُمْ بِهِ مِنَ الْكُفْرِ وَ أَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ “Wahai kaum muslimin alangkah keterlaluannya kalian, apakah (kalian mengangkat) dakwah jahiliyah padahal aku ada diantara kalian setelah Allah tunjuki kalian kepada Islam dan muliakan kalian, memutus perkara Jahiliyah dan menyelamatkan kalian dari kekufuran dengan Islam serta menyatukan hati-hati kalian.” Lalu mereka sadar ini adalah godaan syetan dan tipu daya musuh mereka, sehingga mereka mengangis dan saling rangkul antara Aus dan Khodzroj. Lalu mereka pergi bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dengan patuh dan taat yang penuh. Lalu Allah turunkan firmanNya: Katakanlah: ”Hai Ahli Kitab, mengapa kamu ingkari ayat-ayat Allah, padahal Allah Maha Menyaksikan apa yang kamu kerjakan. Katakanlah:”Hai Ahli Kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi bengkok, padahal kamu menyaksikan.” Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. (Qs. 3:99)
  3. Menyebarkan keraguan pada diri kaum muslimin: Orang Yahudi berusaha memasukkan keraguan di hati kaum muslimin yang masih lemah imannya dengan melontarkan syubhat-syubhat yang dapat menggoyahkan kepercayaan mereka terhadap islam. Hal ini dijelaskan Allah dalam firmanNya: Segolongan (lain) dari Ahli Kitab berkata (kepada sesamanya): “Perlihatkanlah (seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang mu’min) kembali (kepada kekafiran). (Qs. 3:72). Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini dengan pernyataan: Ini adalah tipu daya yang mereka inginkan untuk merancukan perkara agama islam kepada orang-orang yang lemah imannya. Mereka sepakat menampakkan keimanan di pagi hari (permulaan siang) dan sholat subuh bersama kaum muslimin. Lalu ketika diakhir siang hari (sore hari) mereka murtad dari agama Islam agar orang-orang bodoh menyatakan bahwa mereka keluat tidak lain karena adanya kekurangan dan aib dalam agama kaum muslimin.
  4. Memata-matai kaum Muslimin: Ibnu Hisyam menjelaskan adanya sejumlah orang Yahudi yang memeluk Islam untuk memata-matai kaum muslimin dan menukilkan berita Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan yang ingin beliau lakukan kepada orang Yahudi dan kaum musyrikin, diantaranya: Sa’ad bin Hanief, Zaid bin Al Lishthi, Nu’maan bin Aufa bin Amru dan Utsmaan bin Aufa serta Rafi’ bin Huraimila’. Untuk menghancurkan tipu daya ini Allah berfirman:Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaan orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata:”Kami beriman”; dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka):”Marilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati. (Qs. 3:118-119)
  5. Usaha memfitnah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam: Orang Yahudi tidak pernah henti berusaha memfitnah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, diantaranya adalah kisah yang disampaikan Ibnu Ishaaq bahwa beliau berkata: Ka’ab bin Asad, Ibnu Shaluba, Abdullah bin Shurie dan Syaas bin Qais saling berembuk dan menghasilkan keputusan berangkat menemui Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam untuk memfitnah agama beliau. Lalu mereka menemui Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan berkata: Wahai Muhammad engkau telah tahu kami adalah ulama dan tokoh terhormat serta pemimpin besar Yahudi, Apabila kami mengikutimu maka seluruh Yahudi akan ikut dan tidak akan menyelisihi kami. Sungguh antara kami dan sebagian kaum kami terjadi persengketaan. Apakah boleh kami berhukum kepadamu lalu engkau adili dengan memenangkan kami atas mereka? Maka Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam enggan menerimanya. Lalu turunlah firman Allah: Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kemu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati. hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (Qs. 5:49)
Semua usaha mereka ini gagal total dihadapan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan Allah membalas makar mereka ini dengan menimpakan kepada mereka kerendahan dan kehinaan.
Marhalah kedua:
Masa perang senjata antara Yahudi dan Muslimin di zaman Rasulullah shallallahu ’alaihi wa salla
m.
Orang Yahudi tidak cukup hanya membuat keonaran dan fitnah kepada kaum muslimin semata bahkan merekapun menampakkan diri bergabung dengan kaum musyrikin dengan menyatakan permusuhan yang terang-terangan terhadap islam dan kaum muslimin. Namun Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tetap menunggu sampai mereka melanggar dan membatalkan perjanjian yang pernah dibuat diMadinah. Ketika mereka melanggar perjanjian tersebut barulah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan tindakan militer untuk menghadapi mereka dan mengambil beberapa keputusan untuk memberikan pelajaran kepada mereka. Diantara keputusan penting tersebut adalah:
  1. Pengusiran Bani Qainuqa’
  2. Pengusiran bani Al Nadhir
  3. Perang Bani Quraidzoh
  4. Penaklukan kota Khaibar
Setelah terjadinya hal tersebut maka orang Yahudi terusir dari jazirah Arab.
Marhalah ketiga:
Tipu daya dan makar mereka terhadap islam setelah wafat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.
Orang Yahudi memandang tidak mungkin melawan Islam dan kaum muslimin selama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam masih hidup. Ketika Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam wafat, orang Yahudi melihat adanya kesempatan untuk membuat makar kembali terhadap Islam dan muslimin. Mereka mulai merencanakan dan menjalankan tipu daya mereka untuk memalingkan kaum muslimin dari agamanya. Namun tentunya mereka lakukan dengan lebih baik dan teliti dibanding sebelumnya. Sebagian target mereka telah terwujud dengan beberapa sebab diantaranya:
  1. Kaum muslimin kehilangan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.
  2. Orang Yahudi dapat mengambil pelajaran dan pengalaman dari usaha-usaha mereka terdahulu sehingga dapat menambah hebat makar dan tipu daya mereka.
  3. Masuknya sebagian orang Yahudi ke dalam Islam dengan tujuan memata-matai kaum muslimin dan merusak mereka dari dalam tubuh kaum muslimin.
Memang berbicara tentang tipu daya dan makar Yahudi kepada kaum Muslimin sejak wafat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam hingga kini membutuhkan pembahasan yang panjang sekali. Namun rasanya cukup memberikan 3 contoh kejadian besar dalam sejarah Islam untuk mengungkapkan permasalahan ini. Yaitu:
  1. Fitnah pembunuhan khalifah UtsmanIni adalah awal keberhasilan Yahudi dalam menyusup dan merusak Islam dan kaum muslimin. Tokoh yahudi yang bertanggung jawab terjadinya peristiwa ini adalah Abdullah bin Saba’ yang dikenal dengan Ibnu Sauda’. Kisahnya cukup masyhur dan ditulis dalam kitab-kitab sejarah Islam.
  2. Fitnah Maimun Al Qadaah dan perkembangan sekte Bathiniyah. Keberhasilan Abdullah bin Saba’ membuat fitnah di kalangan kaum Muslimin dan mengajarkan saba’isme membuat orang Yahudi semakin berani. Sehingga belum habis fitnah Sabaiyah mereka sudah memunculkan tipu daya baru yang dipimpin seorang Yahudi bernama Maimun bin Dieshaan Al Qadaah dengan membuat sekte Batiniyah di Kufah tahun 276 H. Imam Al Baghdadi menceritakan: Diatara orang yang membangun sekte Bathiniyah adalah Maimun bin Dieshaan yang dikenal dengan Al Qadaah seorang maula bagi Ja’far bin Muhammad Al Shodiq yang berasal dari daerah Al Ahwaaz dan Muhammad bin Al Husein yang dikenal dengan Dandaan. Mereka berkumpul bersama Maimun Al Qadah di penjara Iraaq lalu membangun sekte Bathiniyah.Tipu daya Yahudi ini terus berjalan dalam bentuk yang beraneka ragam sehingga sekte ini berkembang menjadi banyak sekali sektenya dalam kaum muslimin, sampai-sampai menghalalkan pernikahan sesama mahrom dan hilangnya kewajiban syariat pada seseorang.
  3. Penghancuran kekhilafahan Turki Utsmani ditangan gerakan Masoniyah dan akibat yang ditimbulkan berupa perpecahan kaum muslimin.Orang Yahudi mengetahui sumber kekuatan kaum muslimin adaalh bersatunya mereka dibawah satu kepemimpinan dalam naungan kekhilafahan Islamiyah. Oleh karena mereka segera berusaha keras meruntuhkan kekhilafahan yang ada sejak zaman Khulafa’ Rasyidin sampai berhasil menghapus dan meruntuhkan negara Turki Utsmaniyah. Orang Yahudi memulai konspirasinya dalam meruntuhkan Negara Turki Utsmaniyah pada masa sultan Murad kedua (tahun 834-855H) dan setelah beliau pada masa sultan Muhammad Al Faatih (tahun 855-886H) yang meningal diracun oleh Thobib beliau seorang Yahudi bernama Ya’qub Basya. Demikian juga berhasil membunuh Sultan Sulaiman Al Qanuni (tahun 926-974H) dan para cucunya yang diatur oleh seorang Yahudi bernama Nurbaanu. Konspirasi Yahudi ini terus berlangsung di masa kekhilafahan Utsmaniyah lebih dari 400 tahunan hingga runtuhnya di tangan Mushthofa Ataturk.
Orang Yahudi dalam menjalankan rencana tipu daya mereka menggunakan kekuatan berikut ini:
  1. Yahudi Al Dunamah. Diantara tokohnya adalah Madhaat Basya dan Mushthofa Kamal Ataturk yang memiliki peran besar dan penting dalam penghancuran kekhilafahan Utsmaniyah.
  2. Salibis Eropa yang sangat membenci islam dan kaum muslimin dengan melakukan perjanjian kerjasama dengan beberapa Negara eropa yaitu Bulgaria, Rumania, Namsa, Prancis, Rusia, Yunani dan Italia.
  3. Organisasi bawah tanah/rahasia, khususnya Masoniyah yang terus berusaha merealisasikan tujuan dan target Zionis.
Usaha-usaha Musthofa Kamal Basya Ataturk dalam menghancurkan kekhilafahan setelah berhasil menyingkirkan sultan Abdulhamid kedua adalah:
  1. Pada awal November 1922 M ia menghapus kesultanan dan membiarkan kekhilafahan
  2. Pada tanggal 18 November 1922M ia mencopot Wahieduddin Muhammad keenam dari kekhilafahan.
  3. Pada Agustus 1923 M ia mendirikan Hizb Al Sya’b Al Jumhuriah (Partai Rakyat Republik) dengan tokoh-tokoh pentingnya kebanyakan dari Yahudi Al Dunamah dan Masoniyah.
  4. Pada tanggal 20 oktober 1923 M Republik Turki diresmikan dan Al Jum’iyah Al Wathoniyah (Organisasi nasional) memilih Musthofa Kamal sebagai presiden Turki.
  5. Pada tanggal 2 Maret 1924 M Kekhilafahan dihapus total.
Demikianlah sempurna sudah keinginan orang-orang Yahudi untuk menjadikan kekhilafahan sebagai Negara sekuler yang dipimpin seorang Yahudi yang berkedok muslim.
Mudah-mudahan ringkas sejarah permusuhan Yahudi ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menjadi pelajaran bagi kaum muslimin.

Feb 14, 2013

ALLAH MENJADIKAN KEMATIAN SEBAGAI BENTUK TERSENDIRI



Kaedah dalam menghadapi masalah semacam ini adalah - - sebagaimana telah kita kemukakan juga di atas- - kita pasrah dan menerima apa adanya saja. 

Kita tidak perlu menanyakan bagaimana dan mengapa. 

Namun ada juga ada ulama –Rahimahullah- yang berusaha memberikan jawaban atas pertanyaan diatas.

Mereka mengatakan bahwa amal perbuatan tersebut itu dirubah menjadi suatu bentuk sehingga ia memiliki jism lalu ditaruh dalam timbangan sehingga dapat diketahui berat atau ringannya amal tersebut.

Mereka mengambil contoh dari hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : 

“Pada hari kiamat kematian itu dijadikan dalam bentuk kibas (domba), kemudian memanggil penghuni jannah, “Wahai penghuni jannah...!” 

Lalu merekapun muncul dan menjulurkan lehernya untuk melihat. 

Kemudian ia memanggil. ‘Wahai penghuni naar.... !” 

Lalu merekapun muncul dan menjulurkan lehernya untuk melihat. “Apa yang terjadi.. ?”

Lalu kematian itu didatangkan dalam bentuk domba, lalu ditanyakan, “Apakah kalian tahu ini...?” 

Mereka menjawab “Ya”. Kematian itu akhirnya disembelih antara jannah dan naar, lalu dikatakan, “Wahai penghuni jannahm kekallah dan tiada kematian. 

Dan wahai penghuni naar, kekallah dan tiada kematian!”.

Kita semua tahu bahwa kematian merupakan sifat, akan tetapi Allah menjadikannya sebagai suatu bentuk yang berdiri sendiri. Demikian jugalah amal perbuatan itu menjadi suatu bentuk lalu ditimbang. 

Wallahu ‘alam.

SUNAH DAN BID'AH (Asah-Asih-Asuh)

Sunnah dan bid’ah adalah dua soal yang saling berhadap-hadapan dalam memahami ucapan-ucapan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. sebagai Shohibusy-Syara’ (yang berwenang menetapkan hukum syari’at). Sunnah dan bid’ah masing-masing tidak dapat ditentukan batas-batas pengertiannya, kecuali jika yang satu sudah ditentukan batas pengertiannya lebih dulu. 
Tidak sedikit orang yang menetap- kan batas pengertian bid’ah tanpa menetapkan lebih dulu batas pengertian sunnah.
Karena itu mereka terperosok kedalam pemikiran sempit dan tidak dapat keluar meninggalkannya, dan akhirnya mereka terbentur pada dalil-dalil yang berlawanan dengan pengertian mereka sendiri tentang bid’ah. 
Seandainya mereka menetapkan batas pengertian sunnah lebih dulu tentu mereka akan memperoleh kesimpulan yang tidak berlainan. 
Umpamanya dalam hadits berikut ini tampak jelas bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. menekankan soal sunnah lebih dulu, baru kemudian memperingatkan soal bid’ah.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shohihnya dari Jabir ra. bahwa Rasululah shallallahu alaihi wasallam bila berkhutbah tampak matanya kemerah-merahan dan dengan suara keras bersabda: ‘Amma ba’du, sesungguhnya tutur kata yang terbaik ialah Kitabullah (Al-Qur’an) dan petunjuk (huda) yang terbaik ialah petunjuk Muhammad shallallahu alaihi wasallam.

Sedangkan persoalan yang terburuk ialah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap hal yang diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat’. (diketengahkan juga oleh Imam Bukhori hadits dari Ibnu Mas’ud ra).

Makna hadits diatas ini diperjelas dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jarir ra. bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. bersabda: ‘Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kebajikan ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga.

Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kejahatan ia memikul dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga’ (Shohih Muslim V11 hal.61…Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi).

Hadits ini menjelaskan makna Bid’ah hasanah dan Bid’ah dhalalah.

Nabi saw mengetahui bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi ribuan tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman ─modernisasi, merajalela kemaksiatan dan lain sebagainya─ maka dibolehkannya hal-hal yang baru yang diadakan ─selama berada dalam kebaikan dan tidak keluar dari garis-garis yang telah ditentukan oleh syariát Islam─ demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan.

Demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini, yang tetap akan bisa dipakai hingga akhir zaman.

Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yang dangkal dalam pemahaman syariah, karena hadits diatas jelas jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk sedekah saja, terbukti dengan perbuatan bid’ah hasanah oleh para Sahabat dan Tabi’in.

Begitu juga kaidah pokok yang telah disepakati bulat oleh para ulama menetapkan; ‘Pengertian berdasarkan keumuman lafadh, bukan ber- dasarkan kekhususan sebab’.

Dari hadits Jabir yang pertama diatas kita mengetahui dengan jelas bahwa Kitabullah dan petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam., berhadap-hadapan dengan bid’ah, yaitu sesuatu yang diada-adakan yang menyalahi Kitabullah dan petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Dari hadits berikutnya kita melihat bahwa jalan kebajikan (sunnah hasanah) berhadap-hadapan dengan jalan kejahatan (sunnah sayyiah).

Jadi jelaslah, bahwa yang pokok adalah Sunnah, sedangkan yang menyimpang dan berlawanan dengan sunnah adalah Bid’ah .

Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam kitab Mufradatul-Qur’an Bab Sunan hal.245 mengatakan: ‘Sunan adalah jamak dari kata sunnah .Sunnah sesuatu berarti jalan sesuatu, sunnah Rasululah shallallahu alaihi wasallam berarti Jalan Rasulallah saw. yaitu jalan yang ditempuh dan ditunjukkan oleh beliau.

Sunnatullah dapat diartikan Jalan hikmah-Nya dan jalan mentaati-Nya. .

Contoh firman Allah swt. dalam surat Al-Fatah : 23 : ‘Sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu. Kalian tidak akan menemukan perubahan pada Sunnatullah itu’ .

Penjelasannya ialah bahwa cabang-cabang hukum syari’at sekalipun berlainan bentuknya, tetapi tujuan dan maksudnya tidak berbeda dan tidak berubah, yaitu membersihkan jiwa manusia dan mengantarkan kepada keridhoan Allah Subhanaahu Wa Ta'ala Demikianlah Ar-Raghib Al-Ashfahani.

Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratul Mustaqim hal.76 mengatakan: ‘Sunnah Jahiliyah adalah adat kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat jahiliyyah.

Jadi kata sunnah dalam hal itu berarti adat kebiasaan yaitu jalan atau cara yang berulang-ulang dilakukan oleh orang banyak, baik mengenai soal-soal yang dianggap sebagai peribadatan maupun yang tidak dianggap sebagai peribadatan’.

Demikian juga dikatakan oleh Imam Al-Hafidh didalam Al-Fath dalam tafsirnya mengenai makna kata Fithrah.

Ia mengatakan, bahwa beberapa riwayat hadits menggunakan kata sunnah sebagai pengganti kata fithrah, dan bermakna thariqah atau jalan. Imam Abu Hamid dan Al-Mawardi juga mengartikan kata sunnah dengan thariqah (jalan).

Karena itu kita harus dapat memahami sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam menghadapi berbagai persoalan yang terjadi pada zamannya, yaitu persoalan-persoalan yang tidak dilakukan, tidak diucapkan dan tidak diperintahkan oleh beliau shallallahu alaihi wasallam., tetapi dipahami dan dilakukan oleh orang-orang yang berijtihad menurut kesanggupan akal pikirannya dengan tetap berpedoman pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Kita juga harus mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu agar kita dapat memahami jalan atau sunnah yang ditempuh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. dalam membenarkan, menerima atau menolak sesuatu yang dilakukan orang.

Dengan mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu kita dapat mempunyai keyakinan yang benar dalam memahami sunnah beliau saw. mengenai soal-soal baru yang terjadi sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Mana yang baik dan sesuai dengan Sunnah beliau shallallahu alaihi wasallam, itulah yang kita namakan Sunnah, dan mana yang buruk, tidak sesuai dan bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam., itulah yang kita namakan Bid’ah.

Ini semua baru dapat kita ketahui setelah kita dapat membedakan lebih dahulu mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.

Mungkin ada orang yang mengatakan bahwa sesuatu kejadian yang dibiarkan (tidak dicela dan tidak dilarang) oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam termasuk kategori sunnah. Itu memang benar, akan tetapi kejadian yang dibiarkan oleh beliau itu merupakan petunjuk juga bagi kita untuk dapat mengetahui bagaimana cara Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. membiarkan atau menerima kenyataan yang terjadi.

Perlu juga diketahui bahwa banyak sekali kejadian yang dibiarkan Rasulallah saw. tidak menjadi sunnah dan tidak ada seorangpun yang mengatakan itu sunnah.

Sebab...... apa yang diperbuat dan dilakukan oleh beliau saw. pasti lebih utama, lebih afdhal dan lebih mustahak diikuti.

Begitu juga suatu kejadian atau perbuatan yang didiamkan atau dibiarkan oleh beliau saw. merupakan petunjuk bagi kita bahwa beliau saw. tidak menolak sesuatu yang baik, jika yang baik itu tidak bertentangan dengan tuntunan dan petunjuk beliau saw. serta tidak mendatangkan akibat buruk.......... !

Itulah yang dimaksud oleh kesimpulan para ulama yang mengatakan, bahwa sesuatu yang diminta oleh syara’ baik yang bersifat khusus maupun umum, bukanlah bid’ah, kendati pun sesuatu itu tidak dilakukan dan tidak diperintahkan secara khusus oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.........!

Mengenai persoalan itu banyak sekali hadits shohih dan hasan yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sering membenarkan prakarsa baik (umpama amal perbuatan, dzikir, do’a dan lain sebagainya) yang diamalkan oleh para sahabatnya.

Tidak lain para sahabat mengambil prakarsa dan mengerjakannya berdasarkan pemikiran dan keyakinannya sendiri, bahwa yang dilakukannya itu merupakan kebajikan yang dianjurkan oleh agama Islam dan secara umum diserukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. (lihat hadits yang lalu) begitu juga mereka berpedoman pada firman Allah swt. dalam surat Al-Hajj:77: ‘Hendaklah kalian berbuat kebajikan, agar kalian memperoleh keberuntungan’ .

Walaupun para sahabat berbuat amalan atas dasar prakarsa masing-masing, itu tidak berarti setiap orang dapat mengambil prakarsa, karena agama Islam mempunyai kaidah-kaidah dan pedoman-pedoman yang telah ditetapkan batas-batasnya.

Amal kebajikan yang prakarsanya diambil oleh para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam berdasarkan ijtihad dapat dipandang sejalan dengan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. jika amal kebajikan itu sesuai dan tidak bertentangan dengan syari’at.

Jika menyalahi ketentuan syari’at maka prakarsa itu tidak dapat dibenarkan dan harus ditolak !

Pada dasarnya semua amal kebajikan yang sejalan dengan tuntutan syari’at, tidak bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan tidak mendatangkan madharat/akibat buruk, tidak dapat disebut Bid’ah menurut pengertian istilah syara’.

Nama yang tepat adalah Sunnah Hasanah, sebagaimana yang terdapat dalam hadits Rasulallah shallallahu alaihi wasallam yang lalu.

Amal kebajikan seperti itu dapat disebut ‘Bid’ah’ hanya menurut pengertian bahasa, karena apa saja yang baru ‘diadakan’ disebut dengan nama Bid’ah.

Ada orang berpegang bahwa istilah bid’ah itu hanya satu saja dengan berdalil sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam “Setiap bid’ah adalah sesat…” (“Kullu bid’atin dholalah”), serta tidak ada istilah bid’ah hasanah, wajib dan sebagainya. Setiap amal yang dikategorikan sebagai bid’ah, maka hukumya haram, karena bid’ah dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang haram dikerja- kan secara mutlak.

Sayangnya mereka ini tidak mau berpegang kepada hadits–hadits lain (keterangan lebih mendetail baca halaman selanjutnya) yang membuktikan sikap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. yang membenarkan dan meridhoi berbagai amal kebajikan tertentu (yang baru ‘diadakan’ ) yang dilakukan oleh para sahabatnya yang sebelum dan sesudahnya tidak ada perintah dari beliau shallallahu alaihi wasallam...!

Disamping itu banyak sekali amal kebajikan yang dikerjakan setelah wafatnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam umpamanya oleh isteri Nabi shallallahu alaihi wasallam.

‘Aisyah ra, Khalifah ‘Umar bin Khattab serta para sahabat lainnya yang mana amalan-amalan ini tidak pernah adanya petunjuk dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan mereka kategorikan atau ucapkan sendiri sebagai amalan bid’ah (baca uraian selanjutnya), tetapi tidak ada satupun dari para sahabat yang mengatakan bahwa sebutan bid’ah itu adalah otomatis haram, sesat dan tidak ada kata bid’ah selain haram.

Untuk mencegah timbulnya kesalah-fahaman mengenai kata Bid’ah itulah para Imam dan ulama Fiqih memisahkan makna Bid’ah menjadi beberapa jenis, misalnya :
Menurut Imam Syafi’i tentang pemahaman bid’ah ada dua riwayat yang menjelaskannya.
Pertama, riwayat Abu Nu’aim;

اَلبِدْعَة ُبِدْعَتَانِ , بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوم

‘Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bid’ah yang terpuji sedangkan yang menyalahi sunnah, maka dialah bid’ah yang tercela’.
Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :

. اَلمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ
وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْر مَذْمُوْمَةٌ

‘Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang menyalahi Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah bid’ah dholalah/ sesat. Kedua, adalah perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela’.

Didalam kitab tafsir Imam Qurtubi juz. 2 halaman 86-87 mengatakan:
“ Imam Syafi’i berkata, bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih: ‘inilah sebaik-baik bid’ah’ “.

Selanjutnya Al-Hafidh Muhammad bin Ahmad Al-Qurtubi rahimahullah berkata: “Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafi’i), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi shallallahu alaihi wasallamyg berbunyi: ‘seburuk buruk permasalahan adalah hal yg baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah’ (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal-hal yang tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul shallallahu alaihi wasallam, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya: ‘Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahala dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barang siapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosa dan dosa orang yg mengikutinya’ (Shahih Muslim hadits no.1017–red) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubi juz 2 hal. 87)

Menurut kenyataan memang demikian, ada bid’ah yang baik dan terpuji dan ada pula bid’ah yang buruk dan tercela.

Banyak sekali para Imam dan ulama pakar yang sependapat dengan Imam Syafi’i itu.

Bahkan banyak lagi yang menetapkan perincian lebih jelas lagi seperti Imam Nawawi, Imam Ibnu ‘Abdussalam, Imam Al-Qurafi, Imam Ibnul-‘Arabi, Imam Al-Hafidh Ibnu Hajar dan lain-lain.

Al-Muhaddits Al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawi rahimahullah (Imam Nawawi) “Penjelasan mengenai hadits: ‘Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang dosanya….’,

Hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau shallallahu alaihi wasallam : ‘semua yang baru adalah Bid’ah, dan semua yang Bid’ah adalah sesat’, sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan Bid’ah yang tercela ” . (Syarh An-nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)

Dan berkata pula Imam Nawawi “ bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi lima bagian, yaitu bid’ah wajib, bid’ah mandub, bid’ah mubah, bid’ah makruh dan bid’ah haram. Bid’ah wajib contohnya adalah mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang menentang kemungkaran, contoh bid’ah mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila di tinggalkan) adalah membuat buku-buku ilmu syariah, membangun majelis ta’lim dan pesantren.

Contoh bid’ah mubah adalah bermacam-macam dari jenis makanan dan bid’ah makruh dan haram sudah jelas di ketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jama’ah tarawih bahwa ‘inilah sebaik-baik bid’ah’ ”. (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)

Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari 4/318 sebagai berikut: “Pada asalnya bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului.

Menurut syara’ bid’ah itu dipergunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela.

Yang tepat bahwa bid’ah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap jelek oleh syara’, maka dia menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka dia termasuk bagian yang mubah.

Dan terkadang bid’ah itu terbagi kepada hukum-hukum yang lima”.

Pendapat beliau ini senada juga yang diungkapkan oleh ulama-ulama pakar berikut ini :
Jalaluddin as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul Maqooshid fii ‘Amalil Maulid dan juga dalam risalahnya Al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih; Az-Zarqooni dalam Syarah al Muwattho’ ; Izzuddin bin Abdus Salam dalam Al-Qowaa’id ; As-Syaukani dalam Nailul Author ; Ali al Qoori’ dalam Syarhul Misykaat; Al-Qastholaani dalam Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori, dan masih banyak lagi ulama lainnya yang senada dengan Ibnu Hajr ini yang tidak saya kutip disini.

Ada golongan lagi yang menganggap semua bidáh itu dholalah/sesat dan tidak mengakui adanya bidáh hasanah/mahmudah, tetapi mereka sendiri ada yang membagi bidáh menjadi beberapa macam.

Ada bidáh mukaffarah (bidáh kufur), bidáh muharramah (bidáh haram) dan bidáh makruh (bidáh yang tidak disukai).

Mereka tidak menetapkan adanya bidáh mubah, seolah-olah mubah itu tidak termasuk ketentuan hukum syariát, atau seolah-olah bidáh diluar bidang ibadah tidak perlu dibicarakan.

Bila semua bid’ah (masalah yang baru) adalah dholalah/sesat atau haram, maka sebagian amalan-amalan para sahabat serta para ulama yang belum pernah dilakukan atau diperintahkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam semuanya dholalah atau haram, misalnya :
a). Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an, penulisannya serta pengumpulannya (kodifikasinya) sebagai Mushhaf (Kitab) yang dilakukan oleh sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit [ra] adalah haram.

Padahal tujuan mereka untuk menyelamatkan dan melestarikan keutuhan dan keautentikan ayat-ayat Allah. Mereka khawatir kemungkinan ada ayat-ayat Al-Qur’an yang hilang karena orang-orang yang menghafalnya meninggal.

b). Perbuatan khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat tarawih bermakmum pada seorang imam adalah haram.

Bahkan ketika itu beliau sendiri berkata : ‘Bid’ah ini sungguh nikmat’. ( Shohih Bukhori hadits nr.1906)

c). Pemberian gelar atau titel kesarjanaan seperti; doktor, drs dan sebagainya pada universitas Islam adalah haram, yang pada zaman Rasulallah shallallahu alaihi wasallam cukup banyak para sahabat yang pandai dalam belajar ilmu agama, tapi tak satupun dari mereka memakai titel dibelakang namanya.

d). Mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, membangun rumah sakit, panti asuhan untuk anak yatim piatu, membangun penjara untuk mengurung orang yang bersalah berbulan-bulan atau bertahun-tahun baik itu kesalahan kecil maupun besar dan sebagainya adalah haram.

Sebab dahulu orang yang bersalah diberi hukumannya tidak harus dikurung dahulu.

e). Tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at yang dilaksanakan pada zamannya khalifah Usman ra.

Sampai sekarang bisa kita lihat dan dengar pada waktu sholat Jum’at baik di Indonesia, di masjid Haram Mekkah dan Madinah dan negara-negara Islam lainnya.

Hal ini dilakukan oleh khalifah Usman karena bertambah banyaknya ummat Islam (HR,Bukhori hadits nr.873)

f). Menata ayat-ayat Al-Qur’an dan memberi titik pada huruf-hurufnya, memberi nomer pada ayat-ayatnya. Mengatur juz dan rubu’nya dan tempat-tempat dimana dilakukan sujud tilawah, menjelaskan ayat Makkiyyah dan Madaniyyah pada kof setiap surat dan sebagainya.

g). Begitu juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah Subhanaahu Wa Ta'ala kepada ummat Muhammad shallallahu alaihi wasallam

Kita tidak terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya Nabi shallallahu alaihi wasallam., lalu menolak atau melarang penggunaan pesawat-pesawat tempur, tank-tank raksasa, peluru-peluru kendali, roket-roket dan persenjataan modern lainnya.

Masih banyak lagi contoh-contoh bid’ah/masalah yang baru, yang berkaitan dengan peribadatan, seperti mengadakan bacaan syukuran waktu memperingati hari kemerdekaan, halal bihalal, memperingati hari ulang tahun berdirinya sebuah negara atau pabrik dan sebagainya (pada waktu memperingati semua ini mereka sering mengadakan bacaan syukuran), yang mana semua ini belum pernah dilakukan pada masa hidupnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. serta para pendahulu kita dimasa lampau.

Juga didalam manasik haji banyak kita lihat dalam hal peribadatan tidak sesuai dengan zamannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. atau para sahabat dan tabi’in umpamanya; pembangunan hotel-hotel disekitar Mina dan tenda-tenda yang pakai full a/c sehingga orang tidak akan kepanasan, nyenyak tidur, menaiki mobil yang tertutup (beratap) untuk ke Arafat, Mina atau kelain tempat yang dituju untuk manasik Haji tersebut dan lain sebagainya.
Sesungguhnya bid’ah (masalah baru) tersebut walaupun tidak pernah dilakukan pada masa Nabi saw. serta para pendahulu kita, selama masalah ini tidak menyalahi syari’at Islam, bukan berarti haram untuk dilakukan.
Kalau semua masalah baru tersebut dianggap bid’ah dholalah (sesat), maka akan tertutup pintu ijtihad para ulama, terutama pada zaman sekarang tehnologi yang sangat maju sekali, tapi alhamdulillah pikiran dan akidah sebagian besar umat muslim tidak sedangkal itu.

Sebagaimana telah tercantum sebelumnya bahwa para ulama diantaranya Imam Syafi’i, Al-Izz bin Abdis Salam, Imam Nawawi dan Ibnu Atsir ra. serta para ulama lainnya menerangkan: “Bid’ah/masalah baru yang diadakan ini bila tidak menyalahi atau menyimpang dari garis-garis syari’at, semuanya mustahab (dibolehkan) apalagi dalam hal kebaikan dan sejalan dengan dalil syar’i adalah bagian dari agama”.

Semua amal kebaikan yang dilakukan para sahabat, kaum salaf sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah diteliti para ulama dan diuji dengan Kitabullah, Sunnah Rasululah shallallahu alaihi wasallam dan kaidah-kaidah hukum syari’at.

Dan setelah diuji ternyata baik, maka prakarsa tersebut dinilai baik dan dapat diterima.

Sebaliknya, bila setelah diuji ternyata buruk, maka hal tersebut dinilai buruk dan dipandang sebagai bid’ah tercela.

Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratil-Mustaqim banyak menyebutkan bentuk-bentuk kebaikan dan sunnah yang dilakukan oleh generasi-generasi yang hidup pada abad-abad permulaan Hijriyyah dan zaman berikutnya.

Kebajikan-kebajikan yang belum pernah dikenal pada masa hidupnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam itu diakui kebaikannya oleh Ibnu Taimiyyah.

Beliau tidak melontarkan celaan terhadap ulama-ulama terdahulu yang mensunnahkan kebajikan tersebut, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Abbas, Umar bin Khattab dan lain-lainnya.

Diantara kebajikan yang disebutkan oleh beliau dalam kitabnya itu ialah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal diantaranya :
Mensunnahkan orang berhenti sejenak disebuah tempat dekat gunung ‘Arafah sebelum wukuf dipadang ‘Arafah bukannya didalam masjid tertentu sebelum Mekkah , mengusap-usap mimbar Nabi shallallahu alaihi wasallam didalam masjid Nabawi di Madinah, dan lain sebagainya.

Ibnu Taimiyyah membenarkan pendapat kaum muslimin di Syam yang mensunnahkan shalat disebuah tempat dalam masjid Al-aqsha (Palestina), tempat khalifah Umar dahulu pernah menunaikan sholat.

Padahal sama sekali tidak ada nash mengenai sunnahnya hal-hal tersebut diatas.

Semua- nya hanyalah pemikiran atau ijtihad mereka sendiri dalam rangka usaha memperbanyak kebajikan, hal mana kemudian diikuti oleh orang banyak dengan i’tikad jujur dan niat baik.

Meskipun begitu, dikalangan muslimin pada masa itu tidak ada yang mengatakan: “Kalau hal-hal itu baik tentu sudah diamalkan oleh kaum Muhajirin dan Anshar pada zaman sebelumnya”. (perkataan ini sering diungkapkan oleh golongan pengingkar).

Masalah-masalah serupa itu banyak disebut oleh Ibnu Taimiyyah dikitab Iqtidha ini, antara lain soal tawassul (doá perantaran) yang dilakukan oleh isteri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ‘Aisyah ra. yaitu ketika ia membuka penutup makam Nabi shallallahu alaihi wasallam. lalu sholat istisqa (sholat mohon hujan) ditempat itu, tidak beberapa lama turunlah hujan di Madinah, padahal tidak ada nash sama sekali mengenai cara-cara seperti itu.

Walaupun itu hal yang baru (bid’ah) tapi dipandang baik oleh kaum muslimin, dan tidak ada sahabat yang mencela dan mengatakan bid’ah dholalah/sesat.

Sebuah hadits yang diketengahkan oleh Imam Bukhori dalam shohihnya jilid 1 halaman 304 dari Siti ‘Aisyah ra., bahwasanya ia selalu sholat Dhuha, padahal Aisyah ra. sendiri berkata bahwa ia tidak pernah menyaksikan Rasulallah shallallahu alaihi wasallam sholat dhuha.

Pada halaman 305 dibuku ini Imam Bukhori juga mengetengahkan sebuah riwayat yang berasal dari Mujahid yang mengatakan : “Saya bersama Úrwah bin Zubair masuk kedalam masjid Nabi shallallahu alaihi wasallam..

Tiba-tiba kami melihat ‘Abdullah bin Zubair sedang duduk dekat kamar ‘Aisyah ra dan banyak orang lainnya sedang sholat dhuha.

Ketika hal itu kami tanyakan kepada ‘Abudllah bin Zubair (mengenai sholat dhuha ini) ia menjawab : “Bidáh”.

‘Aisyah ra seorang isteri Nabi shallallahu alaihi wasallam yang terkenal cerdas, telah mengatakan sendiri bahwa dia sholat dhuha sedangkan Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak mengamalkannya.

Begitu juga ‘Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mengatakan sholat dhuha adalah bid’ah, tetapi tidak seorangpun yang mengatakan bahwa bid’ah itu bid’ah dholalah yang pelakunya akan dimasukkan keneraka........!

Dengan demikian masalah baru yang dinilai baik dan dapat diterima ini disebut bid’ah hasanah.

Karena sesuatu yang diperbuat atau dikerjakan oleh isteri Nabi atau para sahabat yang tersebut diatas bukan atas perintah Allah dan Rasul-Nya itu bisa disebut bid’ah tapi sebagai bid’ah hasanah.

Semuanya ini dalam pandangan hukum syari’at bukan bid’ah melainkan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad.

Dalam makalah As-Sayyid Muhammad bin Alawiy Al-Maliki Al-Hasani rh yang berjudul Haulal Ihtifal bil Mauliddin Nabawiyyisy Syarif tersebut disebutkan:

Yang dikatakan oleh orang fanatik (extreem) bahwa apa-apa yang belum pernah dilakukan oleh kaum salaf, tidaklah mempunyai dalil bahkan tiada dalil sama sekali bagi hal itu.

Ini bisa dijawab bahwa tiap orang yang mendalami ilmu ushuluddin mengetahui bahwa Asy-Syar’i (Rasulallah shallallahu alaihi wasallam) menyebutnya bid’ahtul hadyi (bid’ah dalam menentukan petunjuk pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya) sunnah, dan menjanjikan pahala bagi pelakunya.

Firman Allah Subhanaahu Wa Ta'ala ‘Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung’. (Ali Imran (3) : 104).

Allah Subhanaahu Wa Ta'ala berfirman : ‘Hendaklah kalian berbuat kebaikan agar kalian memperoleh keuntungan”. (Al-Hajj:77)

Abu Mas’ud (Uqbah) bin Amru Al-Anshory ra berkata; bersabda Rasulallah saw.;
وَعَنْ أبِي مَسْعُوْدِ (ر) عُقْبَةُ ِبنْ عَمْرُو الأ نْصَارِيُّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله .صَ. : مَنْ دَلَّ عَلىَ خَيْرٍ فَلَهُ مِثْـلُ أَجْرُ فَاعِلُهُ
رواه مسلم)
Artinya: ‘Siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala sama dengan yang mengerjakannya’. ( HR.Muslim)

Dalam hadits riwayat Muslim Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. bersabda:
‘Barangsiapa menciptakan satu gagasan yang baik dalam Islam maka dia memperoleh pahalanya dan juga pahala orang yang melaksanakannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun, dan barangsiapa menciptakan satu gagasan yang jelek dalam Islam maka dia terkena dosanya dan juga dosa orang-orang yang mengamalkan nya dengan tanpa dikurangi sedikitpun”.

Masih banyak lagi hadits yang serupa/semakna diatas riwayat Muslim dari Abu Hurairah dan dari Ibnu Mas’ud ra.

Sebagian golongan memberi takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah dalam hadits diatas adalah; Apa-apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para Khulafa’ur Roosyidin, bukan gagasan-gagasan baik yang tidak terjadi pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallamdan Khulafa’ur Rosyidin.

Yang lain lagi memberikan takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah hasanah dalam hadits itu adalah; sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang mendatangkan manfaat, sedangkan maksud sunnah sayyiah/buruk adalah sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang mendatangkan bahaya dan kemudharatan.

Dua macam pembatasan mereka diatas ini mengenai makna hadits yang telah kami kemukakan itu merupakan satu bentuk pembatasan hadits dengan tanpa dalil, karena secara jelas hadits tersebut membenarkan adanya gagasan-gagasan kebaikan pada masa kapanpun dengan tanpa ada pembatasan pada masa-masa tertentu.

Juga secara jelas hadits itu menunjuk kepada semua perkara yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului baik dia itu dari perkara-perkara dunia ataupun perkara-perkara agama...!!

Kami perlu tambahkan mengenai makna atau keterangan hadits Rasululah shallallahu alaihi wasallam. berikut ini: “Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah para Khalifah Rasyidun sepeninggalku”. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).

Yang dimaksud sunnah dalam hadits itu adalah thariqah yakni jalan (baca keterangan sebelumnya), cara atau kebijakan; dan yang dimaksud Khalifah Rasyidun ialah para penerus kepemimpinan beliau yang lurus

Sebutan itu tidak terbatas berlaku bagi empat Khalifah sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. saja, tetapi dapat diartikan lebih luas, berdasarkan makna Hadits yang lain : “Para ulama adalah ahli-waris para Nabi “.

Dengan demikian hadits itu dapat berarti dan berlaku pula para ulama dikalangan kaum muslimin berbagai zaman, mulai dari zaman kaum Salaf (dahulu), zaman kaum Tabi’in,

Tabi’it-Tabi’in dan seterusnya; dari generasi ke generasi, mereka adalah Ulul-amri yang disebut dalam Al-Qur’an surat An-Nisa : 63 : “Sekiranya mereka menyerahkan (urusan itu) kepada Rasulaulah dan Ulul-amri (orang-orang yang mengurus kemaslahatan ummat) dari mereka sendiri, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui dari mereka (ulul-amri)”.

Para alim-ulamabukan kaum awam yang mengurus kemaslahatan ummat Islam, khususnya dalam kehidupan beragama.

Sebab, mereka itulah yang mengetahui ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum agama.

Ibnu Mas’ud ra. menegaskan : “Allah telah memilih Muhammad saw. (sebagai Nabi dan Rasululah) dan telah pula memilih sahabat-sahabatnya.

Karena itu apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, baik pula dalam pandangan Allah ” .

Demikian yang diberitakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnad-nya dan dinilainya sebagai hadits Hasan (hadits baik).

Dengan pengertian penakwilan kalimat sunnah dalam hadits diatas yang salah ini golongan tertentu ini dengan mudah membawa keumuman hadits kullu bid’atin dholalah (semua bid’ah adalah sesat) terhadap semua perkara baru, baik yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at maupun yang tidak.

Berarti mereka telah mencampur-aduk kata bid’ah itu antara penggunaannya yang syar’i dan yang lughawi (secara bahasa) dan mereka telah terjebak dengan ketidak pahaman bahwa keumuman yang terdapat pada hadits hanyalah terhadap bid’ah yang syar’i yaitu setiap perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar syari’at.

Jadi bukan terhadap bid’ah yang lughawi yaitu setiap perkara baru yang diadakan dengan tanpa adanya contoh.

Bid’ah lughawi inilah yang terbagi dua yang pertama adalah mardud yaitu perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at dan inilah yang disebut bid’ah dholalah, sedangkan yang kedua adalah kepada yang maqbul yaitu perkara baru yang tidak bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at dan inilah yang dapat diterima walaupun terjadinya itu pada masa-masa dahulu/pertama atau sesudahnya.

Barangsiapa yang memasukkan semua perkara baru yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam para sahabat dan mereka yang hidup pada abad-abad pertama itu kedalam bid’ah dholalah, maka dia haruslah mendatangkan terlebih dahulu nash-nash yang khos (khusus) untuk masalah yang baru itu maupun yang ‘am (umum), agar yang demikian itu tidak bercampur-aduk dengan bid’ah yang maqbul berdasarkan penggunaannya yang lughawi.

Karena tuduhan bid’ah dholalah pada suatu amalan sama halnya dengan tuduhan mengharamkan amalan tersebut.

Kalau kita baca hadits dan firman Ilahi dibuku ini, kita malah diharuskan sebanyak mungkin menjalankan ma’ruf (kebaikan) yaitu semua perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah Subhanaahu Wa Ta'ala dan menjauhi yang mungkar (keburukan) yaitu semua perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya agar kita memperoleh keuntungan (pahala dan kebahagian didunia maupun diakhirat kelak).

Begitupun juga orang yang menunjukkan kepada kebaikan tersebut akan diberi oleh Allah swt. pahala yang sama dengan orang yang mengerjakannya.

Apakah kita hanya berpegang pada satu hadits yang kalimatnya: semua bid’ah dholalah dan kita buang ayat ilahi dan hadits-hadits yang lain yang menganjurkan manusia selalu berbuat kepada kebaikan?

Sudah tentu Tidak.......!

Yang benar ialah bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima kebenarannya oleh jumhurul-ulama serta tidak hanya melihat tekstual kalimatnya saja tapi memahami makna dan motif setiap ayat Ilahi dan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. sehingga ayat ilahi dan sunnah ini satu sama lain tidak akan berlawanan maknanya.

Berbuat kebaikan itu sangat luas sekali maknanya bukan hanya masalah peribadatan saja.

Termasuk juga kebaikan adalah hubungan baik antara sesama manusia (toleransi) baik antara sesama muslimin maupun antara muslim dan non-muslim (yang tidak memerangi kita), antara manusia dengan hewan, antara manusia dan alam semesta.

Sebagaimana para ulama pakar Islam klasik pendahulu kita sudah menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak akan diampuni kecuali oleh orang yang bersangkutan, sementara hak asasi Tuhan diurus oleh diri-Nya sendiri.

Manusia manapun tidak pernah diperkenankan membuat klaim-klaim yang dianggap mewakili hak Tuhan.

Dalam konsep tauhid, Allah lebih dari mampu untuk melindungi hak-hak pribadi-Nya.

Karena itu, kita harus berhati-hati untuk tidak melanggar hak-hak asasi manusia.

Dalam Islam, Tuhan sendiri pun tidak akan mengampuni pelanggaran terhadap hak asasi orang lain, kecuali yang bersangkutan telah memberi maaf.

Contoh-contoh bid’ah yang diamalkan para sahabat
Marilah kita sekarang rujuk hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. mengenai amal kebaikan yang dilakukan oleh para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam atas prakarsa mereka sendiri, bukan perintah Allah Subhanaahu Wa Ta'ala atau Nabi shallallahu alaihi wasallam, dan bagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menanggapi masalah itu.

Insya Allah dengan adanya beberapa hadits ini para sahabat-sahabatku cukup jelas bahwa semua hal-hal yang baru (bid’ah) yang sebelum atau sesudahnya tidak pernah diamalkan, diajarkan atau diperintahkan oleh Rasulallah shallallahu alaihi wasallam selama hal ini tidak merubah dan keluar dari garis-garis yang ditentukan syari’at itu adalah boleh diamalkan apalagi dalam bidang kebaikan itu malah dianjurkan oleh agama dan mendapat pahala.

a. Hadits dari Abu Hurairah: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. bertanya pada Bilal ra seusai sholat Shubuh : ‘Hai Bilal, katakanlah padaku apa yang paling engkau harapkan dari amal yang telah engkau perbuat, sebab aku mendengar suara terompahmu didalam surga’.

Bilal menjawab : Bagiku amal yang paling kuharapkan ialah aku selalu suci tiap waktu (yakni selalu dalam keadaan berwudhu) siang-malam sebagaimana aku menunaikan shalat “. (HR Bukhori, Muslim dan Ahmad bin Hanbal).

Dalam hadits lain yang diketengahkan oleh Tirmidzi dan disebutnya sebagai hadits hasan dan shohih, oleh Al-Hakim dan Ad-Dzahabi yang mengakui juga sebagai hadits shohih ialah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam meridhoi prakarsa Bilal yang tidak pernah meninggalkan sholat dua rakaat setelah adzan dan pada tiap saat wudhu’nya batal, dia segera mengambil air wudhu dan sholat dua raka’at demi karena Allah Subhanaahu Wa Ta'ala. (lillah).

Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitab Al-Fath mengatakan: Dari hadits tersebut dapat diperoleh pengertian, bahwa ijtihad menetapkan waktu ibadah diperbolehkan.

Apa yang dikatakan oleh Bilal kepada Rasulullahshallallahu alaihi wasallam .adalah hasil istinbath (ijtihad)-nya sendiri dan ternyata dibenarkan oleh beliau saw. (Fathul Bari jilid 111/276).

b. Hadits lain berasal dari Khabbab dalam Shahih Bukhori mengenai perbuatan Khabbab shalat dua rakaat sebagai pernyataan sabar (bela sungkawa) disaat menghadapi orang muslim yang mati terbunuh. (Fathul Bari jilid 8/313).

Dua hadits tersebut kita mengetahui jelas, bahwa Bilal dan Khabbab telah menetapkan waktu-waktu ibadah atas dasar prakarsanya sendiri-sendiri.

Rasulullah saw. tidak memerintahkan hal itu dan tidak pula melakukannya, beliau hanya secara umum menganjurkan supaya kaum muslimin banyak beribadah. Sekalipun demikian beliau shallallahu alaihi wasallam tidak melarang, bahkan membenarkan prakarsa dua orang sahabat itu.

c. Hadits riwayat Imam Bukhori dalam shohihnya II :284, hadits berasal dari Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqi yang menerangkan bahwa:
“Pada suatu hari aku sesudah shalat dibelakang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Ketika berdiri (I’tidal) sesudah ruku’ beliau shallallahu alaihi wasallam mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’.

Salah seorang yang ma’mum menyusul ucapan beliau itu dengan berdo’a: ‘Rabbana lakal hamdu hamdan katsiiran thayyiban mubarakan fiihi’ (Ya Tuhan kami, puji syukur sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya atas limpahan keberkahan-Mu).

Setelah shalat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bertanya : ‘Siapa tadi yang berdo’a?’.

Orang yang bersangkutan menjawab: Aku, ya Rasul- Allah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata : ‘Aku melihat lebih dari 30 malaikat ber-rebut ingin mencatat do’a itu lebih dulu’ “.

Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Fath II:287 mengatakan: ‘ Hadits tersebut dijadikan dalil untuk membolehkan membaca suatu dzikir dalam sholat yang tidak diberi contoh oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam (ghair ma’tsur) jika ternyata dzikir tersebut tidak bertolak belakang atau bertentangan dengan dzikir yang ma’tsur dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam..

Disamping itu, hadits tersebut mengisyaratkan bolehnya mengeraskan suara bagi makmum selama tidak mengganggu orang yang ada didekatnya…’.

Al-Hafidh dalam Al-Fath mengatakan bahwa hadits tersebut menunjukkan juga diperbolehkannya orang berdo’a atau berdzikir diwaktu shalat selain dari yang sudah biasa, asalkan maknanya tidak berlawanan dengan kebiasaan yang telah ditentukan (diwajibkan).

Juga hadits itu memperbolehkan orang mengeraskan suara diwaktu shalat dalam batas tidak menimbulkan keberisikan.

Lihat pula kitab Itqan Ash-Shan’ah Fi Tahqiq untuk mengetahui makna al-bid’ah karangan Imam Muhaddis Abdullah bin Shiddiq Al-Ghimary untuk mengetahui makna al-bid’ah

d. Hadits serupa diatas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik ra. “Seorang dengan terengah-engah (Hafazahu Al-Nafs) masuk kedalam barisan (shaf).

Kemudian dia mengatakan (dalam sholatnya) al-hamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi (segala puji hanya bagi Allah dengan pujian yang banyak, bagus dan penuh berkah).

Setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selesai dari sholatnya, beliau bersabda : ‘Siapakah diantaramu yang mengatakan beberapa kata (kalimat) (tadi)’........? Orang-orang diam.

Lalu beliau shallallahu alaihi wasallam bertanya lagi: ‘Siapakah diantaramu yang mengatakannya ? Sesungguhnya dia tidak mengatakan sesuatu yang percuma’.

Orang yang datang tadi berkata: ‘Aku datang sambil terengah-engah (kelelahan) sehingga aku mengatakannya’.

Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  bersabda: ‘Sungguh aku melihat dua belas malaikat memburunya dengan cepat, siapakah diantara mereka (para malaikat) yang mengangkatkannya (amalannya ke Hadhirat Allah) “. (Shohih Muslim 1:419 ).

e. Dalam Kitabut-Tauhid Al-Bukhori mengetengahkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra. yang mengatakan: “Pada suatu saat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menugaskan seorang dengan beberapa temannya ke suatu daerah untuk menangkal serangan kaum musyrikin.

Tiap sholat berjama’ah, selaku imam ia selalu membaca Surat Al-Ikhlas di samping Surah lainnya sesudah Al-Fatihah.

Setelah mereka pulang ke Madinah, seorang diantaranya memberitahukan persoalan itu kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Beliau shallallahu alaihi wasallam menjawab : ‘Tanyakanlah kepadanya apa yang dimaksud’.

Atas pertanyaan temannya itu orang yang bersangkutan menjawab : ‘Karena Surat Al-Ikhlas itu menerangkan sifat ar-Rahman, dan aku suka sekali membacanya’.

Ketika jawaban itu disampaikan kepada Rasulallah saw. beliau berpesan : ‘Sampaikan kepadanya bahwa Allah menyukai nya’ .

Apa yang dilakukan oleh orang tadi tidak pernah dilakukan dan tidak pernah diperintahkan oleh Rasulallah shallallahu alaihi wasallam Itu hanya merupakan prakarsa orang itu sendiri.

Sekalipun begitu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak mempersalahkan dan tidak pula mencelanya, bahkan memuji dan meridhoinya dengan ucapan “Allah menyukainya”.

f. Bukhori dalam Kitabus Sholah hadits yang serupa diatas dari Anas bin Malik yang menceriterakan bahwa: “Beberapa orang menunaikan shalat dimasjid Quba.

 Orang yang mengimami shalat itu setelah membaca surah Al-Fatihah dan satu surah yang lain selalu menambah lagi dengan surah Al-Ikhlas.

Dan ini dilakukannya setiap rakaat. Setelah shalat para ma’mum menegurnya: K

enapa anda setelah baca Fatihah dan surah lainnya selalu menambah dengan surah Al-Ikhlas.........?

Anda kan bisa memilih surah yang lain dan meninggalkan surah Al-Ikhlas atau membaca surah Al-Ikhlas tanpa membaca surah yang lain...........! I

mam tersebut menjawab : Tidak !, aku tidak mau meninggalkan surah Al-Ikhlas kalau kalian setuju, aku mau mengimami kalian untuk seterusnya tapi kalau kalian tidak suka aku tidak mau mengimami kalian.

Karena para ma’mum tidak melihat orang lain yang lebih baik dan utama dari imam tadi mereka tidak mau diimami oleh orang lain.

Setiba di Madinah mereka menemui Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. dan menceriterakan hal tersebut pada beliau.

Kepada imam tersebut Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bertanya: ‘Hai, fulan, apa sesungguhnya yang membuatmu tidak mau menuruti permintaan teman-temanmu dan terus menerus membaca surat Al-Ikhlas pada setiap rakaat’...?

Imam tersebut menjawab: ‘Ya Rasulullah, aku sangat mencintai Surah itu’.

Beliau shallallahu alaihi wasallam berkata: ‘Kecintaanmu kepada Surah itu akan memasukkan dirimu ke dalam surga’ “..

Mengenai makna hadits ini Imam Al-Hafidh dalam kitabnya Al-Fath mengatakan antara lain; ‘Orang itu berbuat melebihi kebiasaan yang telah ditentukan karena terdorong oleh kecintaannya kepada surah tersebut. Namun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. menggembirakan orang itu dengan pernyataan bahwa ia akan masuk surga. Hal ini menunjukkan bahwa beliau saw. meridhainya’.

Imam Nashiruddin Ibnul Munir menjelaskan makna hadits tersebut dengan menegaskan : ‘Niat atau tujuan dapat mengubah kedudukan hukum suatu perbuatan’.

Selanjutnya ia menerangkan; ‘Seumpama orang itu menjawab dengan alasan karena ia tidak hafal Surah yang lain, mungkin Rasulullah shallallahu alaihi wasallam akan menyuruhnya supaya belajar menghafal Surah-surah selain yang selalu dibacanya berulang-ulang.

Akan tetapi karena ia mengemukakan alasan karena sangat mencintai

Surah itu (yakni Al-Ikhlas), Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dapat membenarkannya, sebab alasan itu menunjukkan niat baik dan tujuan yang sehat’.

Lebih jauh Imam Nashiruddin mengatakan ; ‘Hadits tersebut juga menunjukkan, bahwa orang boleh membaca berulang-ulang Surah atau ayat-ayat khusus dalam Al-Qur’an menurut kesukaannya.

Kesukaan demikian itu tidak dapat diartikan bahwa orang yang bersangkutan tidak menyukai seluruh isi Al-Qur’an atau meninggalkannya’.

Menurut kenyataan, baik para ulama zaman Salaf maupun pada zaman-zaman berikutnya, tidak ada yang mengatakan perbuatan seperti itu merupakan suatu bid’ah sesat, dan tidak ada juga yang mengatakan bahwa perbuat- an itu merupakan sunnah yang tetap.

Sebab..... sunnah yang tetap dan wajib dipertahankan serta dipelihara baik-baik ialah sunnah yang dilakukan dan diperintahkan oleh Rasulallah shallallahu alaihi wasallam.

Sedangkan sunnah-sunnah yang tidak pernah dijalankan atau diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. bila tidak keluar dari ketentuan syari’at dan tetap berada didalam kerangka amal kebajikan yang diminta oleh agama Islam itu boleh diamalkan apalagi dalam persoalan berdzikir kepada Allah Subhanaahu Wa Ta'ala.

g. Al-Bukhori mengetengahkan sebuah hadits tentang Fadha’il (keutamaan) Surah Al-Ikhlas berasal dari Sa’id Al-Khudriy ra. yang mengatakan, bahwa ia mendengar seorang mengulang-ulang bacaan Qul huwallahu ahad…. Keesokan harinya ia ( Sa’id Al-Khudriy ra) memberitahukan hal itu kepada Rasulallah saw., dalam keadaan orang yang dilaporkan itu masih terus mengulang-ulang bacaannya.

Menanggapi laporan Sa’id itu Rasulallah shallallahu alaihi wasallam berkata : ‘Demi Allah yang nyawaku berada ditangan Nya, itu sama dengan membaca sepertiga Qur’an’.

Imam Al-Hafidh mengatakan didalam Al-Fathul-Bari; bahwa orang yang disebut dalam hadits itu ialah Qatadah bin Nu’man.

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ahmad bin Tharif dari Abu Sa’id, yang mengatakan, bahwa sepanjang malam Qatadah bin Nu’man terus-menerus membaca Qul huwallahu ahad, tidak lebih.

Mungkin yang mendengar adalah saudaranya seibu (dari lain ayah), yaitu Abu Sa’id yang tempat tinggalnya berdekatan sekali dengan Qatadah bin Nu’man.

Hadits yang sama diriwayatkan juga oleh Malik bin Anas, bahwa Abu Sa’id mengatakan: ‘Tetanggaku selalu bersembahyang di malam hari dan terus-menerus membaca Qul huwallahu ahad’.

h. Ashabus-Sunan, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban dalam Shohih-nya meriwayatkan sebuah hadits berasal dari ayah Abu Buraidah yang menceriterakan kesaksiannya sendiri sebagai berikut: ‘Pada suatu hari aku bersama Rasulallah saw. masuk kedalam masjid Nabawi (masjid Madinah).

Didalamnya terdapat seorang sedang menunaikan sholat sambil berdo’a; Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau. Engkaulah Al-Ahad, As-Shamad, Lam yalid wa lam yuulad wa lam yakullahu kufuwan ahad’.

Mendengar do’a itu Rasulallah shallallahu alaihi wasallam bersabda; ‘Demi Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya, dia mohon kepada Allah dengan Asma-Nya Yang Maha Besar, yang bila dimintai akan memberi dan bila orang berdo’a kepada-Nya Dia akan menjawab’.

Tidak diragukan lagi, bahwa do’a yang mendapat tanggapan sangat menggembirakan dari Rasulallah shallallahu alaihi wasallam itu disusun atas dasar prakarsa orang yang berdo’a itu sendiri, bukan do’a yang diajarkan atau diperintahkan oleh Rasulallah shallallahu alaihi wasallam. kepadanya.

Karena susunan do’a itu sesuai dengan ketentuan syari’at dan bernafaskan tauhid, maka beliau saw. menanggapinya dengan baik, membenarkan dan meridhoinya.

i. Hadits dari Ibnu Umar katanya; “Ketika kami sedang melakukan shalat bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam ada seorang lelaki dari yang hadir yang mengucapkan ‘Allahu Akbaru Kabiiran Wal Hamdu Lillahi Katsiiran Wa Subhaanallahi Bukratan Wa Ashiila’.

Setelah selesai sholatnya, maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bertanya; ‘Siapakah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi....?

Jawab seseorang dari kaum; Wahai Rasulullah, akulah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi.

Sabda beliau shallallahu alaihi wasallam; ‘Aku sangat kagum dengan kalimat-kalimat tadi sesungguhnya langit telah dibuka pintu-pintunya karenanya’.

Kata Ibnu Umar: Sejak aku mendengar ucapan itu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam maka aku tidak pernah meninggalkan untuk mengucapkan kalimat-kalimat tadi.” (HR. Muslim dan Tirmidzi). As-Shan’ani ‘Abdurrazzaq juga mengutipnya dalam Al-Mushannaf.

Demikianlah bukti yang berkaitan dengan pembenaran dan keridhaan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terhadap prakarsa-prakarsa baru yang berupa do’a-do’a dan bacaan surah di dalam sholat, walaupun beliau saw. sendiri tidak pernah melakukannya atau memerintahkannya.

Kemudian Ibnu Umar mengamalkan hal tersebut bukan karena anjuran dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tapi karena mendengar jawaban beliau shallallahu alaihi wasallam. mengenai bacaan itu.

Pada hadits-hadits tadi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. juga tidak melarang orang untuk berdo’a dalam waktu sholat dengan lafadz-lafadz do’a yang tidak pernah diajarkan atau diperintahkan oleh beliau shallallahu alaihi wasallam. dan membaca surah Al-Ikhlas berulang-ulang baik dalam waktu sholat maupun diluar sholat, malah beliau memberi kabar gembira bagi orang yang mengamalkannya.

Mengapa justru golongan pengingkar berani mengharamkan, membid’ahkan munkar orang membaca tahlilan/yasinan berulang-ulang yang mana dimajlis itu bukan hanya satu surat saja yang dibaca tetapi bermacam-macam surah dari Al-Qur’an dan do’a-do’a yang baik...........?

Kalau mereka mengatakan sebagai pengikut para Salaf, mengapa tidak mencontoh bagaimana cara Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Raja dan Guru terbesarnya para Salaf menanggapi amalan-amalan bid’ah (baru) yang telah dikemukakan tadi...?

J. Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri tentang Ruqyah yakni sistem pengobatan dengan jalan berdo’a kepada Allah swt. atau dengan jalan bertabarruk pada ayat-ayat Al-Qur’an.

Sekelompok sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam. yang sempat singgah pada pemukiman suku arab badui sewaktu mereka dalam perjalanan.

Karena sangat lapar mereka minta pada orang-orang suku tersebut agar bersedia untuk menjamu mereka. Tapi permintaan ini ditolak.

Pada saat itu kepala suku arab badui itu disengat binatang berbisa sehingga tidak dapat jalan.

Karena tidak ada orang dari suku tersebut yang bisa mengobatinya, akhirnya mereka mendekati sahabat Nabi seraya berkata:

Siapa diantara kalian yang bisa mengobati kepala suku kami yang disengat binatang berbisa,,?

Salah seorang sahabat sanggup menyembuhkannya tapi dengan syarat suku badui mau memberikan makanan pada mereka.

Hal ini disetujui oleh suku badui tersebut.

Maka sahabat Nabi itu segera mendatangi kepala suku lalu membacakannya surah al-Fatihah, seketika itu juga dia sembuh dan langsung bisa berjalan.

Maka segeralah diberikan pada para sahabat beberapa ekor kambing sesuai dengan perjanjian.

Para sahabat belum berani membagi kambing itu sebelum menghadap Rasulallah shallallahu alaihi wasallam..

Setiba dihadapan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, mereka menceriterakan apa yang telah mereka lakukan terhadap kepala suku itu. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bertanya ; ‘Bagaimana engkau tahu bahwa surah al-Fatihah itu dapat menyembuhkan’?

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. membenarkan mereka dan ikut memakan sebagian dari daging kambing tersebut “. (HR.Bukhori)

k. Abu Daud, At-Tirmudzi dan An-Nasa’i mengetengahkan sebuah riwayat hadits berasal dari paman Kharijah bin Shilt yang mengatakan; “Pada suatu hari ia melihat banyak orang bergerombol dan ditengah-tengah mereka terdapat seorang gila dalam keadaan terikat dengan rantai besi.

Kepada paman Kharijah itu mereka berkata: ‘Anda tampaknya datang membawa kebajikan dari orang itu (yang dimaksud Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.), tolonglah sembuhkan orang gila ini’.

Paman Kharijah kemudian dengan suara lirih membaca surat Al-Fatihah, dan ternyata orang gila itu menjadi sembuh”. (Hadits ini juga diketengahkan oleh Al-Hafidh didalam Al-Fath)

Masih banyak hadits yang tak tercantum disini, yang meriwayatkan amal perbuatan para sahabat atas dasar prakarsa dan ijtihadnya sendiri yang tidak dijalani serta dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam..

Semuanya itu diridhoi oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. dan beliau memberi kabar gembira pada mereka.

Amalan-amalan tersebut juga tidak diperintah atau dianjurkan oleh Rasulallah shallallahu alaihi wasallam. sebelum atau sesudahnya.

Karena semua itu bertujuan baik, tidak melanggar syariát maka oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam. diridhoi dan mereka diberi kabar gembira.

Perbuatan-perbuatan tersebut dalam pandangan syari’at dinamakan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad.

Dengan demikian hadits-hadits diatas bisa dijadikan dalil untuk setiap amal kebaik- an selama tidak keluar dari garis-garis yang ditentukan syari’at Islam itu mustahab/baik hukumnya, apalagi masalah tersebut bermanfaat bagi masyarakat muslim khususnya malah dianjurkan oleh agama.

Kalau kita teliti hadits-hadits diatas tersebut banyak yang berkaitan dengan masalah shalat yaitu suatu ibadah pokok dan terpenting dalam Islam.

Sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. telah bersabda :
صَلُُوْا كَمَا رَأيْتُمُوْنِي أصَلِي (رواه البخاري
‘Hendaklah kamu sholat sebagaimana kalian melihat aku sholat’. (HR Bukhori).
Sekalipun demikian beliau saw. dapat membenarkan dan meridhoi tambahan tambahan tertentu yang berupa do’a dan bacaan surah atas prakarsa mereka itu.

Karena beliau saw. memandang do’a dan bacaan surah tersebut diatas tidak keluar dari batas-batas yang telah ditentukan oleh syari’at dan juga bernafaskan tauhid.

Bila ijtihad dan amalan para sahabat itu melanggar dan merubah hukum-hukum yang telah ditentukan oleh syari’at, pasti akan ditegur dan dilarang oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Mungkin ada orang yang bertanya-tanya lagi;

Bagaimanakah pendapat orang tentang penetapan sesuatu yang disebut sunnah atau mustahab, yaitu penetapan yang dilakukan oleh masyarakat muslimin pada abad pertama Hijriyah, padahal apa yang dikatakan sunnah atau mustahab itu tidak pernah dikenal pada zaman hidupnya Nabi shallallahu alaihi wasallam..........?

Memang benar, bahwa masyarakat yang hidup pada zaman abad pertama Hijriyah dan generasi berikutnya, banyak menetapkan hal-hal yang bersifat mustahab dan baik.

Pada masa itu banyak sekali para ulama yang menurut kesanggupannya masing-masing dalam menguasai ilmu pengetahuan, giat melakukan ijtihad (studi mendalam untuk mengambil kesimpulan hukum) dan menetapkan suatu cara yang dipandang baik atau mustahab.

Untuk menerangkan hal ini baiklah kita ambil contoh yang paling mudah dipahami dan yang pada umumnya telah dimengerti oleh kaum muslimin, yaitu soal kodifikasi (pengitaban) ayat-ayat suci Al-Qur’an, sebagaimana yang telah kita kenal sekarang ini. Al-Quran waktu zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam. dan zaman khalifah Abubakar ra, masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para sahabat ra yang hanya sebagian dituliskan.

Namun dengan adanya pengitaban tersebut, sekarang kita masih mengenal Al-Quran secara utuh dan dengan adanya Bid’ah Hasanah ini pula kita masih mengenal hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka jadilah Islam ini kokoh dan Abadi.

Bila hal tersebut tidak terjadi, maka akan muncul beribu-ribu Versi Al-Quran di zaman sekarang, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya, yang masing-masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Al-Quran dan hancurlah Islam.

Para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam. sendiri pada masa-masa sepeninggal beliau shallallahu alaihi wasallam  berpendapat bahwa pengkodifikasian ayat-ayat suci Al-Qur’an adalah bid’ah sayyiah.

Mereka khawatir kalau-kalau pengkodifikasian itu akan mengakibatkan rusaknya kemurnian agama Allah  Subhanaahu Wa Ta'ala., Islam. ‘Umar bin Khattab ra. sendiri sampai merasa takut kalau-kalau dikemudian hari ayat-ayat Al-Qur’an akan lenyap karena wafatnya para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam yang hafal ayat-ayat Al-Qur’an.
====

By : Note Untuk Kamu

=====

Ia mengemukakan kekhawatirannya itu kepada Khalifah Abu Bakra ra. dan mengusulkan supaya Khalifah memerintahkan pengitaban ayat-ayat Al-Qur’an.

Tetapi ketika itu Khalifah Abu Bakar menolak usul ‘Umar dan berkata kepada ‘Umar;

Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.?

‘Umar bin Khattab ra. menjawab; Itu merupakan hal yang baik.

Namun........ tidak berapa lama kemudian Allah swt. membukakan pikiran Khalifah Abu Bakar ra seperti yang dibukakan lebih dulu pada pikiran ‘Umar bin Khattab ra, dan akhirnya bersepakatlah dua orang sahabat Nabi itu untuk mengitabkaan ayat-ayat Al-Qur’an.

Khalifah Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit dan diperintahkan supaya melaksanakan pengitabatan ayat-ayat Al-Qur’an itu. Zaid bin Tsabit ra. juga menjawab kepada Abu Bakar;

Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulallah shallallahu alaihi wasallam....?

Abu Bakar menjawab kepadanya; Itu pekerjaan yang baik.......!

Untuk lebih detail keterangannya sebagai berikut:
Ketika terjadi pembunuhan besar-besaran atas para Huffadh (yang hafal) Alqur’an dan Ahli Alqur’an dari sahabat Rasulallah saw. (Ahlul jamaamah) di zaman Khalifah Abubakar Asshiddiq ra,.

Berkata Abubakar Ashiddiq ra kepada Zaid bin Tsabit ra : “Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas ahlulyamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlulqur’an, lalu ia menyarankan agar aku (Abubakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis Alqur’an.

Aku berkata: Bagaimana aku berbuat suatu hal yang tidak diperbuat oleh Rasulullah..?, maka Umar berkata padaku; Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar, dan engkau (zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Alqur’an dan tulislah Alqur’an..!”.

Berkata Zaid: “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam....?”, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Alqur’an”. (Shahih Bukhari hadits no.4402 dan 6768).

Riwayat ini juga dikemukakan oleh Imam Bukhori dalam Shohih-nya jilid 4 halaman 243 mengenai pengitaban ayat-ayat suci Al-Qur’an. Penulisan Alqur’an selesai dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra hingga Alqur’an kini dikenal dengan nama Mushaf Utsmani, dan Ali bin Abi Thalib kw menghadiri dan menyetujui hal itu.

Jelaslah sudah, baik Abu Bakar, ‘Umar maupun Zaid bin Tsabit [ra] pada masa itu telah melakukan suatu cara yang tidak pernah dikenal pada waktu Rasulallah saw masih hidup.

Bahkan sebelum melakukan pengitaban Al-Qur’an itu Khalifah Abu Bakar dan Zaid bin Tsabit sendiri masing-masing telah menolak lebih dulu, tetapi akhirnya mereka dibukakan dadanya oleh Allah Subhanaahu Wa Ta'ala. sehingga dapat menyetujui dan menerima baik prakarsa ‘Umar bin Khattab ra.

Demikianlah contoh suatu amalan yang tidak pernah dikenal pada zaman hidupnya Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Secara umum bid’ah adalah sesat karena berada diluar perintah Allah  Subhanaahu Wa Ta'ala. dan Rasul-Nya. Akan tetapi banyak kenyataan membuktikan, bahwa Nabi  shallallahu alaihi wasallam. membenarkan dan meridhoi banyak persoalan yang telah kami kemukakan yang berada diluar perintah Allah dan perintah beliau shallallahu alaihi wasallam.

Hadits-hadits diatas itu mengisyaratkan adanya bid’ah hasanah, karena Rasulaulah shallallahu alaihi wasallam membenarkan serta meridhoi atas kata-kata tambahan dalam sholat dan semua bentuk kebajikan yang diamalkan para sahabat walaupun Nabi shallallahu alaihi wasallam. belum menetapkan atau memerintahkan amalan-amalan tersebut.

Begitu juga prakarsa para sahabat diatas setelah wafatnya beliau shallallahu alaihi wasallam

Darisini kita bisa ambil kesimpulan bahwa semua bentuk amalan-amalan, baik itu dijalankan atau tidak pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. atau zaman dahulu setelah zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam yang tidak melanggar syariát serta mempunyai tujuan dan niat mendekatkan diri untuk mendapatkan ridha Allah Subhanaahu Wa Ta'ala. dan untuk mengingatkan (dzikir) kita semua pada Allah serta Rasul-Nya itu adalah bagian dari agama dan dapat diterima.
Sebagaimana hadits Rasulallah saw.:
اِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْنـِّيَّاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى, فَمَنْ كَانَتْ
هجْرَتُهُ الَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلى اللهِ وَرَسُوْلِهِ
(رواه البخاري
‘Sesungguhnya segala perbuatan tergantung kepada niat, dan setiap manusia akan mendapat sekadar apa yang diniatkan, siapa yang hijrahnya (tujuannya) karena Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya itu adalah karena Allah dan Rasul-Nya (berhasil)’. (HR. Bukhori).

Sekiranya orang-orang yang gemar melontarkan tuduhan bid’ah dapat memahami hikmah apa yang ada pada sikap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. dalam meng- hadapi amal kebajikan yang dilakukan oleh para sahabatnya sebagaimana yang telah kami kemukakan dalil-dalil haditsnya tentu mereka mau dan akan menghargai orang lain yang tidak sependapat atau sepaham dengan mereka.

Tetapi sayangnya golongan pengingkar ini tetap sering mencela dan mensesatkan para ulama yang tidak sepaham dengannya.

Mereka ini malah mengatakan; ‘Bahwa para ulama dan Imam yang memilah-milahkan bid’ah menjadi beberapa jenis telah membuka pintu selebar-lebarnya bagi kaum Muslim untuk berbuat segala macam bid’ah.. !

Kemudian mereka ini tanpa pengertian yang benar mengatakan, bahwa semua bid’ah adalah dhalalah (sesat) dan sesat didalam neraka!”.
Saya berlindung pada Allah Subhanaahu Wa Ta'ala atas pemahaman mereka semacam ini.

Wallahu a’lam bishshawab