Tidak sedikit orang
yang menetap- kan batas pengertian bid’ah tanpa menetapkan lebih dulu
batas pengertian sunnah.
Karena itu mereka terperosok kedalam pemikiran
sempit dan tidak dapat keluar meninggalkannya, dan akhirnya mereka
terbentur pada dalil-dalil yang berlawanan dengan pengertian mereka
sendiri tentang bid’ah.
Seandainya mereka menetapkan batas pengertian
sunnah lebih dulu tentu mereka akan memperoleh kesimpulan yang tidak
berlainan.
Umpamanya dalam hadits berikut ini tampak jelas bahwa
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. menekankan soal sunnah lebih dulu, baru kemudian
memperingatkan soal bid’ah.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dalam shohihnya dari Jabir ra. bahwa Rasululah shallallahu alaihi wasallam bila berkhutbah
tampak matanya kemerah-merahan dan dengan suara keras bersabda: ‘Amma
ba’du, sesungguhnya tutur kata yang terbaik ialah Kitabullah (Al-Qur’an)
dan petunjuk (huda) yang terbaik ialah petunjuk Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Sedangkan
persoalan yang terburuk ialah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap hal
yang diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat’.
(diketengahkan juga oleh Imam Bukhori hadits dari Ibnu Mas’ud ra).
Makna
hadits diatas ini diperjelas dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dari Jarir ra. bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. bersabda: ‘Barangsiapa yang
didalam Islam merintis jalan kebajikan ia memperoleh pahalanya dan
pahala orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun
juga.
Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kejahatan ia
memikul dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa
dikurangi sedikit pun juga’ (Shohih Muslim V11 hal.61…Shahih Muslim
hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah,
Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak
lagi).
Hadits ini menjelaskan makna Bid’ah hasanah dan Bid’ah dhalalah.
Nabi saw mengetahui bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun,
tapi ribuan tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman
─modernisasi, merajalela kemaksiatan dan lain sebagainya─ maka
dibolehkannya hal-hal yang baru yang diadakan ─selama berada dalam
kebaikan dan tidak keluar dari garis-garis yang telah ditentukan oleh
syariát Islam─ demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan.
Demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini, yang tetap akan bisa dipakai
hingga akhir zaman.
Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa hadits
ini adalah khusus untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat
mereka yang dangkal dalam pemahaman syariah, karena hadits diatas jelas
jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk sedekah saja, terbukti
dengan perbuatan bid’ah hasanah oleh para Sahabat dan Tabi’in.
Begitu
juga kaidah pokok yang telah disepakati bulat oleh para ulama
menetapkan; ‘Pengertian berdasarkan keumuman lafadh, bukan ber- dasarkan
kekhususan sebab’.
Dari hadits Jabir yang pertama diatas kita
mengetahui dengan jelas bahwa Kitabullah dan petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.,
berhadap-hadapan dengan bid’ah, yaitu sesuatu yang diada-adakan yang
menyalahi Kitabullah dan petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Dari hadits berikutnya
kita melihat bahwa jalan kebajikan (sunnah hasanah) berhadap-hadapan
dengan jalan kejahatan (sunnah sayyiah).
Jadi jelaslah, bahwa yang pokok
adalah Sunnah, sedangkan yang menyimpang dan berlawanan dengan sunnah
adalah Bid’ah .
Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam kitab
Mufradatul-Qur’an Bab Sunan hal.245 mengatakan: ‘Sunan adalah jamak dari
kata sunnah .Sunnah sesuatu berarti jalan sesuatu, sunnah Rasululah shallallahu alaihi wasallam berarti Jalan Rasulallah saw. yaitu jalan yang ditempuh dan
ditunjukkan oleh beliau.
Sunnatullah dapat diartikan Jalan hikmah-Nya
dan jalan mentaati-Nya. .
Contoh firman Allah swt. dalam surat Al-Fatah :
23 : ‘Sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu. Kalian tidak akan
menemukan perubahan pada Sunnatullah itu’ .
Penjelasannya ialah
bahwa cabang-cabang hukum syari’at sekalipun berlainan bentuknya, tetapi
tujuan dan maksudnya tidak berbeda dan tidak berubah, yaitu
membersihkan jiwa manusia dan mengantarkan kepada keridhoan Allah Subhanaahu Wa Ta'ala
Demikianlah Ar-Raghib Al-Ashfahani.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya
Iqtidha’us Shiratul Mustaqim hal.76 mengatakan: ‘Sunnah Jahiliyah adalah
adat kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat jahiliyyah.
Jadi kata
sunnah dalam hal itu berarti adat kebiasaan yaitu jalan atau cara yang
berulang-ulang dilakukan oleh orang banyak, baik mengenai soal-soal yang
dianggap sebagai peribadatan maupun yang tidak dianggap sebagai
peribadatan’.
Demikian juga dikatakan oleh Imam Al-Hafidh didalam
Al-Fath dalam tafsirnya mengenai makna kata Fithrah.
Ia mengatakan,
bahwa beberapa riwayat hadits menggunakan kata sunnah sebagai pengganti
kata fithrah, dan bermakna thariqah atau jalan. Imam Abu Hamid dan
Al-Mawardi juga mengartikan kata sunnah dengan thariqah (jalan).
Karena
itu kita harus dapat memahami sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam menghadapi
berbagai persoalan yang terjadi pada zamannya, yaitu persoalan-persoalan
yang tidak dilakukan, tidak diucapkan dan tidak diperintahkan oleh
beliau shallallahu alaihi wasallam., tetapi dipahami dan dilakukan oleh orang-orang yang
berijtihad menurut kesanggupan akal pikirannya dengan tetap berpedoman
pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Kita juga harus
mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu agar kita dapat
memahami jalan atau sunnah yang ditempuh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. dalam
membenarkan, menerima atau menolak sesuatu yang dilakukan orang.
Dengan
mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu kita dapat mempunyai
keyakinan yang benar dalam memahami sunnah beliau saw. mengenai
soal-soal baru yang terjadi sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Mana yang baik
dan sesuai dengan Sunnah beliau shallallahu alaihi wasallam, itulah yang kita namakan Sunnah,
dan mana yang buruk, tidak sesuai dan bertentangan dengan Sunnah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam., itulah
yang kita namakan Bid’ah.
Ini semua baru dapat kita ketahui setelah kita dapat membedakan lebih dahulu mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.
Mungkin
ada orang yang mengatakan bahwa sesuatu kejadian yang dibiarkan (tidak
dicela dan tidak dilarang) oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam termasuk kategori
sunnah. Itu memang benar, akan tetapi kejadian yang dibiarkan oleh
beliau itu merupakan petunjuk juga bagi kita untuk dapat mengetahui
bagaimana cara Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. membiarkan atau menerima kenyataan yang
terjadi.
Perlu juga diketahui bahwa banyak sekali kejadian yang
dibiarkan Rasulallah saw. tidak menjadi sunnah dan tidak ada seorangpun
yang mengatakan itu sunnah.
Sebab...... apa yang diperbuat dan dilakukan oleh
beliau saw. pasti lebih utama, lebih afdhal dan lebih mustahak diikuti.
Begitu juga suatu kejadian atau perbuatan yang didiamkan atau dibiarkan
oleh beliau saw. merupakan petunjuk bagi kita bahwa beliau saw. tidak
menolak sesuatu yang baik, jika yang baik itu tidak bertentangan dengan
tuntunan dan petunjuk beliau saw. serta tidak mendatangkan akibat buruk.......... !
Itulah
yang dimaksud oleh kesimpulan para ulama yang mengatakan, bahwa sesuatu
yang diminta oleh syara’ baik yang bersifat khusus maupun umum,
bukanlah bid’ah, kendati pun sesuatu itu tidak dilakukan dan tidak
diperintahkan secara khusus oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.........!
Mengenai persoalan itu
banyak sekali hadits shohih dan hasan yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sering membenarkan prakarsa baik (umpama amal perbuatan, dzikir,
do’a dan lain sebagainya) yang diamalkan oleh para sahabatnya.
Tidak
lain para sahabat mengambil prakarsa dan mengerjakannya berdasarkan
pemikiran dan keyakinannya sendiri, bahwa yang dilakukannya itu
merupakan kebajikan yang dianjurkan oleh agama Islam dan secara umum
diserukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. (lihat hadits yang lalu) begitu juga
mereka berpedoman pada firman Allah swt. dalam surat Al-Hajj:77:
‘Hendaklah kalian berbuat kebajikan, agar kalian memperoleh
keberuntungan’ .
Walaupun para sahabat berbuat amalan atas dasar
prakarsa masing-masing, itu tidak berarti setiap orang dapat mengambil
prakarsa, karena agama Islam mempunyai kaidah-kaidah dan pedoman-pedoman
yang telah ditetapkan batas-batasnya.
Amal kebajikan yang prakarsanya
diambil oleh para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam berdasarkan ijtihad dapat dipandang
sejalan dengan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. jika amal kebajikan itu sesuai dan
tidak bertentangan dengan syari’at.
Jika menyalahi ketentuan syari’at
maka prakarsa itu tidak dapat dibenarkan dan harus ditolak !
Pada
dasarnya semua amal kebajikan yang sejalan dengan tuntutan syari’at,
tidak bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan
tidak mendatangkan madharat/akibat buruk, tidak dapat disebut Bid’ah
menurut pengertian istilah syara’.
Nama yang tepat adalah Sunnah
Hasanah, sebagaimana yang terdapat dalam hadits Rasulallah shallallahu alaihi wasallam yang
lalu.
Amal kebajikan seperti itu dapat disebut ‘Bid’ah’ hanya
menurut pengertian bahasa, karena apa saja yang baru ‘diadakan’ disebut
dengan nama Bid’ah.
Ada orang berpegang bahwa istilah bid’ah itu
hanya satu saja dengan berdalil sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam “Setiap bid’ah
adalah sesat…” (“Kullu bid’atin dholalah”), serta
tidak ada istilah bid’ah hasanah, wajib dan sebagainya. Setiap amal yang dikategorikan
sebagai bid’ah, maka hukumya haram, karena
bid’ah dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang haram dikerja- kan secara mutlak.
Sayangnya mereka ini tidak mau berpegang kepada hadits–hadits lain
(keterangan lebih mendetail baca halaman selanjutnya) yang membuktikan
sikap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. yang membenarkan dan meridhoi berbagai amal
kebajikan tertentu (yang baru ‘diadakan’ ) yang dilakukan oleh para
sahabatnya yang sebelum dan sesudahnya tidak ada perintah dari beliau shallallahu alaihi wasallam...!
Disamping itu banyak sekali amal kebajikan yang dikerjakan
setelah wafatnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam umpamanya oleh isteri Nabi shallallahu alaihi wasallam.
‘Aisyah
ra, Khalifah ‘Umar bin Khattab serta para sahabat lainnya yang mana
amalan-amalan ini tidak pernah adanya petunjuk dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan
mereka kategorikan atau ucapkan sendiri
sebagai amalan bid’ah (baca uraian selanjutnya), tetapi tidak ada satupun dari para sahabat yang mengatakan bahwa
sebutan bid’ah itu adalah otomatis haram, sesat dan
tidak ada kata bid’ah selain haram.
Untuk mencegah timbulnya kesalah-fahaman mengenai kata Bid’ah itulah
para Imam dan ulama Fiqih memisahkan makna Bid’ah menjadi beberapa
jenis, misalnya :
Menurut Imam Syafi’i tentang pemahaman bid’ah ada dua riwayat yang menjelaskannya.
Pertama, riwayat Abu Nu’aim;
اَلبِدْعَة
ُبِدْعَتَانِ , بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِْمَا
وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوم
‘Bid’ah
itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah yang
sesuai dengan sunnah, maka itulah bid’ah yang terpuji sedangkan yang
menyalahi sunnah, maka dialah bid’ah yang tercela’.
Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
.
اَلمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً
اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ
وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْر مَذْمُوْمَةٌ
‘Perkara-perkara
baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang menyalahi
Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah bid’ah dholalah/ sesat.
Kedua, adalah perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak
bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah
yang seperti ini tidaklah tercela’.
Didalam kitab tafsir Imam
Qurtubi juz. 2 halaman 86-87 mengatakan:
“ Imam Syafi’i berkata, bahwa
bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah
(tercela), maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang
tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan
ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih: ‘inilah sebaik-baik
bid’ah’ “.
Selanjutnya Al-Hafidh Muhammad bin Ahmad Al-Qurtubi
rahimahullah berkata: “Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafi’i), maka
kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi shallallahu alaihi wasallamyg
berbunyi: ‘seburuk buruk permasalahan adalah hal yg baru, dan semua
Bid’ah adalah dhalalah’ (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu
bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal-hal yang tidak sejalan
dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul shallallahu alaihi wasallam, atau perbuatan Sahabat
radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh
hadits lainnya: ‘Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam
islam, maka baginya pahala dan pahala orang yang mengikutinya dan tak
berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barang siapa membuat buat hal
baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosa dan dosa orang yg
mengikutinya’ (Shahih Muslim hadits no.1017–red) dan hadits ini
merupakan
inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubi juz 2 hal. 87)
Menurut kenyataan memang demikian, ada bid’ah yang baik dan terpuji dan ada pula bid’ah yang buruk dan tercela.
Banyak sekali para Imam dan ulama pakar yang sependapat dengan Imam
Syafi’i itu.
Bahkan banyak lagi yang menetapkan perincian lebih jelas
lagi seperti Imam Nawawi, Imam Ibnu ‘Abdussalam, Imam Al-Qurafi, Imam
Ibnul-‘Arabi, Imam Al-Hafidh Ibnu Hajar dan lain-lain.
Al-Muhaddits
Al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawi rahimahullah (Imam
Nawawi) “Penjelasan mengenai hadits: ‘Barangsiapa membuat buat hal baru
yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang
mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan
barangsiapa membuat-buat hal baru yang dosanya….’,
Hadits ini merupakan
anjuran untuk membuat kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk
membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian
dari sabda beliau shallallahu alaihi wasallam : ‘
semua
yang baru adalah Bid’ah, dan semua yang Bid’ah adalah sesat’, sungguh
yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan Bid’ah yang tercela ” . (Syarh An-nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)
Dan berkata pula Imam Nawawi “ bahwa
Ulama
membagi bid’ah menjadi lima bagian, yaitu bid’ah wajib, bid’ah mandub,
bid’ah mubah, bid’ah makruh dan bid’ah haram. Bid’ah wajib
contohnya adalah mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang
menentang kemungkaran, contoh bid’ah mandub (mendapat pahala bila
dilakukan dan tak mendapat dosa bila di tinggalkan) adalah membuat
buku-buku ilmu syariah, membangun majelis ta’lim dan pesantren.
Contoh
bid’ah mubah adalah bermacam-macam dari jenis makanan dan bid’ah makruh
dan haram sudah jelas di ketahui, demikianlah makna pengecualian dan
kekhususan dari makna yang umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jama’ah
tarawih bahwa ‘inilah sebaik-baik bid’ah’ ”. (Syarh Imam Nawawi ala
shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)
Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar
dalam kitabnya Fathul Baari 4/318 sebagai berikut: “Pada asalnya bid’ah
itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang
mendahului.
Menurut syara’ bid’ah itu dipergunakan untuk sesuatu yang
bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela.
Yang tepat bahwa
bid’ah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap baik
menurut syara’, maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk diantara
sesuatu yang dianggap jelek oleh syara’, maka dia menjadi jelek. Jika
tidak begitu, maka dia termasuk bagian yang mubah.
Dan terkadang bid’ah
itu terbagi kepada hukum-hukum yang lima”.
Pendapat beliau ini senada juga yang diungkapkan oleh ulama-ulama pakar berikut ini :
Jalaluddin
as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul Maqooshid fii ‘Amalil Maulid dan
juga dalam risalahnya Al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih; Az-Zarqooni
dalam Syarah al Muwattho’ ; Izzuddin bin Abdus Salam dalam Al-Qowaa’id ;
As-Syaukani dalam Nailul Author ; Ali al Qoori’ dalam Syarhul Misykaat;
Al-Qastholaani dalam Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori, dan masih
banyak lagi ulama lainnya yang senada dengan Ibnu Hajr ini yang tidak
saya kutip disini.
Ada golongan lagi yang menganggap semua bidáh
itu dholalah/sesat dan tidak mengakui adanya bidáh hasanah/mahmudah,
tetapi mereka sendiri ada yang membagi bidáh menjadi beberapa macam.
Ada
bidáh mukaffarah (bidáh kufur), bidáh muharramah (bidáh haram) dan
bidáh makruh (bidáh yang tidak disukai).
Mereka tidak menetapkan adanya
bidáh mubah, seolah-olah mubah itu tidak termasuk ketentuan hukum
syariát, atau seolah-olah bidáh diluar bidang ibadah tidak perlu
dibicarakan.
Bila semua bid’ah (masalah yang baru) adalah
dholalah/sesat atau haram, maka sebagian amalan-amalan para sahabat
serta para ulama yang belum pernah dilakukan atau diperintahkan
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam semuanya dholalah atau haram, misalnya :
a).
Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an, penulisannya serta pengumpulannya
(kodifikasinya) sebagai Mushhaf (Kitab) yang dilakukan oleh sahabat
Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit [ra] adalah haram.
Padahal tujuan mereka untuk menyelamatkan dan melestarikan keutuhan dan
keautentikan ayat-ayat Allah. Mereka khawatir kemungkinan ada ayat-ayat
Al-Qur’an yang hilang karena orang-orang yang menghafalnya meninggal.
b).
Perbuatan khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin
dalam shalat tarawih bermakmum pada seorang imam adalah haram.
Bahkan
ketika itu beliau sendiri berkata : ‘Bid’ah ini sungguh nikmat’. (
Shohih Bukhori hadits nr.1906)
c). Pemberian gelar atau titel
kesarjanaan seperti; doktor, drs dan sebagainya pada universitas Islam
adalah haram, yang pada zaman Rasulallah shallallahu alaihi wasallam cukup banyak para sahabat
yang pandai dalam belajar ilmu agama, tapi tak satupun dari mereka
memakai titel dibelakang namanya.
d). Mengumandangkan adzan dengan
pengeras suara, membangun rumah sakit, panti asuhan untuk anak yatim
piatu, membangun penjara untuk mengurung orang yang bersalah
berbulan-bulan atau bertahun-tahun baik itu kesalahan kecil maupun besar
dan sebagainya adalah haram.
Sebab dahulu orang yang bersalah diberi
hukumannya tidak harus dikurung dahulu.
e). Tambahan adzan sebelum
khotbah Jum’at yang dilaksanakan pada zamannya khalifah Usman ra.
Sampai sekarang bisa kita lihat dan dengar pada waktu sholat Jum’at baik
di Indonesia, di masjid Haram Mekkah dan Madinah dan negara-negara
Islam lainnya.
Hal ini dilakukan oleh khalifah Usman karena bertambah
banyaknya ummat Islam (HR,Bukhori hadits nr.873)
f). Menata
ayat-ayat Al-Qur’an dan memberi titik pada huruf-hurufnya, memberi nomer
pada ayat-ayatnya. Mengatur juz dan rubu’nya dan tempat-tempat dimana
dilakukan sujud tilawah, menjelaskan ayat Makkiyyah dan Madaniyyah pada
kof setiap surat dan sebagainya.
g). Begitu juga masalah menyusun
kekuatan yang diperintahkan Allah Subhanaahu Wa Ta'ala kepada ummat Muhammad shallallahu alaihi wasallam
Kita
tidak terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum
muslimin pada masa hidupnya Nabi shallallahu alaihi wasallam., lalu menolak atau melarang
penggunaan pesawat-pesawat tempur, tank-tank raksasa, peluru-peluru
kendali, roket-roket dan persenjataan modern lainnya.
Masih banyak
lagi contoh-contoh bid’ah/masalah yang baru, yang berkaitan dengan
peribadatan, seperti mengadakan bacaan syukuran waktu memperingati hari
kemerdekaan, halal bihalal, memperingati hari ulang tahun berdirinya
sebuah negara atau pabrik dan sebagainya (pada waktu memperingati semua
ini mereka sering mengadakan bacaan syukuran), yang mana semua ini belum
pernah dilakukan pada masa hidupnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. serta para
pendahulu kita dimasa lampau.
Juga didalam manasik haji banyak kita
lihat dalam hal peribadatan tidak sesuai dengan zamannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
atau para sahabat dan tabi’in umpamanya; pembangunan hotel-hotel
disekitar Mina dan tenda-tenda yang pakai full a/c sehingga orang tidak
akan kepanasan, nyenyak tidur, menaiki mobil yang tertutup (beratap)
untuk ke Arafat, Mina atau kelain tempat yang dituju untuk manasik Haji
tersebut dan lain sebagainya.
Sesungguhnya
bid’ah (masalah baru) tersebut walaupun tidak pernah dilakukan pada
masa Nabi saw. serta para pendahulu kita, selama masalah ini tidak
menyalahi syari’at Islam, bukan berarti haram untuk dilakukan.
Kalau
semua masalah baru tersebut dianggap bid’ah dholalah (sesat), maka akan
tertutup pintu ijtihad para ulama, terutama pada zaman sekarang
tehnologi yang sangat maju sekali, tapi alhamdulillah pikiran dan akidah
sebagian besar umat muslim tidak sedangkal itu.
Sebagaimana telah
tercantum sebelumnya bahwa para ulama diantaranya Imam Syafi’i, Al-Izz
bin Abdis Salam, Imam Nawawi dan Ibnu Atsir ra. serta para ulama lainnya
menerangkan: “Bid’ah/masalah baru yang diadakan ini bila tidak
menyalahi atau menyimpang dari garis-garis syari’at, semuanya mustahab
(dibolehkan) apalagi dalam hal kebaikan dan sejalan dengan dalil syar’i
adalah bagian dari agama”.
Semua amal kebaikan yang dilakukan para
sahabat, kaum salaf sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah diteliti para
ulama dan diuji dengan Kitabullah, Sunnah Rasululah shallallahu alaihi wasallam dan
kaidah-kaidah hukum syari’at.
Dan setelah diuji ternyata baik, maka
prakarsa tersebut dinilai baik dan dapat diterima.
Sebaliknya, bila
setelah diuji ternyata buruk, maka hal tersebut dinilai buruk dan
dipandang sebagai bid’ah tercela.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya
Iqtidha’us Shiratil-Mustaqim banyak menyebutkan bentuk-bentuk kebaikan
dan sunnah yang dilakukan oleh generasi-generasi yang hidup pada
abad-abad permulaan Hijriyyah dan zaman berikutnya.
Kebajikan-kebajikan
yang belum pernah dikenal pada masa hidupnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam itu
diakui kebaikannya oleh Ibnu Taimiyyah.
Beliau tidak melontarkan celaan
terhadap ulama-ulama terdahulu yang mensunnahkan kebajikan tersebut,
seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Abbas, Umar bin Khattab dan
lain-lainnya.
Diantara kebajikan yang disebutkan oleh beliau dalam
kitabnya itu ialah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal diantaranya :
Mensunnahkan orang berhenti sejenak disebuah tempat dekat gunung ‘Arafah
sebelum wukuf dipadang ‘Arafah bukannya didalam masjid tertentu sebelum
Mekkah , mengusap-usap mimbar Nabi shallallahu alaihi wasallam didalam masjid Nabawi di
Madinah, dan lain sebagainya.
Ibnu Taimiyyah membenarkan pendapat
kaum muslimin di Syam yang mensunnahkan shalat disebuah tempat dalam
masjid Al-aqsha (Palestina), tempat khalifah Umar dahulu pernah
menunaikan sholat.
Padahal sama sekali tidak ada nash mengenai sunnahnya
hal-hal tersebut diatas.
Semua- nya hanyalah pemikiran atau ijtihad
mereka sendiri dalam rangka usaha memperbanyak kebajikan, hal mana
kemudian diikuti oleh orang banyak dengan i’tikad jujur dan niat baik.
Meskipun begitu, dikalangan muslimin pada masa itu tidak ada yang
mengatakan: “Kalau hal-hal itu baik tentu sudah diamalkan oleh kaum
Muhajirin dan Anshar pada zaman sebelumnya”. (perkataan ini sering
diungkapkan oleh golongan pengingkar).
Masalah-masalah serupa itu banyak
disebut oleh Ibnu Taimiyyah dikitab Iqtidha ini, antara lain soal
tawassul (doá perantaran) yang dilakukan oleh isteri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
‘Aisyah ra. yaitu ketika ia membuka penutup makam Nabi shallallahu alaihi wasallam. lalu sholat
istisqa (sholat mohon hujan) ditempat itu, tidak beberapa lama turunlah
hujan di Madinah, padahal tidak ada nash sama sekali mengenai cara-cara
seperti itu.
Walaupun itu hal yang baru (bid’ah) tapi dipandang baik
oleh kaum muslimin, dan tidak ada sahabat yang mencela dan mengatakan
bid’ah dholalah/sesat.
Sebuah hadits yang diketengahkan oleh Imam
Bukhori dalam shohihnya jilid 1 halaman 304 dari Siti ‘Aisyah ra.,
bahwasanya ia selalu sholat Dhuha, padahal Aisyah ra. sendiri berkata
bahwa ia tidak pernah menyaksikan Rasulallah shallallahu alaihi wasallam sholat dhuha.
Pada
halaman 305 dibuku ini Imam Bukhori juga mengetengahkan sebuah riwayat
yang berasal dari Mujahid yang mengatakan : “Saya bersama Úrwah bin
Zubair masuk kedalam masjid Nabi shallallahu alaihi wasallam..
Tiba-tiba kami melihat ‘Abdullah
bin Zubair sedang duduk dekat kamar ‘Aisyah ra dan banyak orang lainnya
sedang sholat dhuha.
Ketika hal itu kami tanyakan kepada ‘Abudllah bin
Zubair (mengenai sholat dhuha ini) ia menjawab : “Bidáh”.
‘Aisyah
ra seorang isteri Nabi shallallahu alaihi wasallam yang terkenal cerdas, telah mengatakan
sendiri bahwa dia sholat dhuha sedangkan Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak mengamalkannya.
Begitu juga ‘Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mengatakan
sholat dhuha adalah bid’ah, tetapi tidak seorangpun yang mengatakan bahwa
bid’ah itu bid’ah dholalah yang pelakunya akan dimasukkan keneraka........!
Dengan
demikian masalah baru yang dinilai baik dan dapat diterima ini disebut
bid’ah hasanah.
Karena sesuatu yang diperbuat atau dikerjakan oleh
isteri Nabi atau para sahabat yang tersebut diatas bukan atas perintah
Allah dan Rasul-Nya itu bisa disebut bid’ah tapi sebagai bid’ah hasanah.
Semuanya ini dalam pandangan hukum syari’at bukan bid’ah melainkan
sunnah mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan istinbath
atau hasil ijtihad.
Dalam makalah As-Sayyid Muhammad bin Alawiy
Al-Maliki Al-Hasani rh yang berjudul Haulal Ihtifal bil Mauliddin
Nabawiyyisy Syarif tersebut disebutkan:
Yang dikatakan oleh orang
fanatik (extreem) bahwa apa-apa yang belum pernah dilakukan oleh kaum
salaf, tidaklah mempunyai dalil bahkan tiada dalil sama sekali bagi hal
itu.
Ini bisa dijawab bahwa tiap orang yang mendalami ilmu ushuluddin
mengetahui bahwa Asy-Syar’i (Rasulallah shallallahu alaihi wasallam) menyebutnya bid’ahtul
hadyi (bid’ah dalam menentukan petunjuk pada kebenaran Allah dan
Rasul-Nya) sunnah, dan menjanjikan pahala bagi pelakunya.
Firman
Allah Subhanaahu Wa Ta'ala ‘Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang
yang beruntung’. (Ali Imran (3) : 104).
Allah Subhanaahu Wa Ta'ala berfirman : ‘Hendaklah kalian berbuat kebaikan agar kalian memperoleh keuntungan”. (Al-Hajj:77)
Abu Mas’ud (Uqbah) bin Amru Al-Anshory ra berkata; bersabda Rasulallah saw.;
وَعَنْ
أبِي مَسْعُوْدِ (ر) عُقْبَةُ ِبنْ عَمْرُو الأ نْصَارِيُّ قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ الله .صَ. : مَنْ دَلَّ عَلىَ خَيْرٍ فَلَهُ مِثْـلُ أَجْرُ
فَاعِلُهُ
رواه مسلم)
Artinya: ‘Siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala sama dengan yang mengerjakannya’. ( HR.Muslim)
Dalam hadits riwayat Muslim Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. bersabda:
‘Barangsiapa menciptakan satu gagasan yang baik dalam Islam maka dia
memperoleh pahalanya dan juga pahala orang yang melaksanakannya dengan
tanpa dikurangi sedikitpun, dan barangsiapa menciptakan satu gagasan
yang jelek dalam Islam maka dia terkena dosanya dan juga dosa
orang-orang yang mengamalkan nya dengan tanpa dikurangi sedikitpun”.
Masih banyak lagi hadits yang serupa/semakna diatas riwayat Muslim dari
Abu Hurairah dan dari Ibnu Mas’ud ra.
Sebagian golongan memberi
takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah dalam hadits diatas
adalah; Apa-apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para
Khulafa’ur Roosyidin, bukan gagasan-gagasan baik yang tidak terjadi pada
masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallamdan Khulafa’ur Rosyidin.
Yang lain lagi memberikan
takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah hasanah dalam hadits
itu adalah; sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada
perkara-perkara keduniaan yang mendatangkan manfaat, sedangkan maksud
sunnah sayyiah/buruk adalah sesuatu yang diada-adakan oleh manusia
daripada perkara-perkara keduniaan yang mendatangkan bahaya dan
kemudharatan.
Dua macam pembatasan mereka diatas ini mengenai
makna hadits yang telah kami kemukakan itu merupakan satu bentuk
pembatasan hadits dengan tanpa dalil, karena secara jelas hadits
tersebut membenarkan adanya gagasan-gagasan kebaikan pada masa kapanpun
dengan tanpa ada pembatasan pada masa-masa tertentu.
Juga secara jelas
hadits itu menunjuk kepada semua perkara yang diadakan dengan tanpa ada
contoh yang mendahului baik dia itu dari perkara-perkara dunia ataupun
perkara-perkara agama...!!
Kami perlu tambahkan mengenai makna atau
keterangan hadits Rasululah shallallahu alaihi wasallam. berikut ini: “Hendaklah kalian
berpegang pada sunnahku dan sunnah para Khalifah Rasyidun
sepeninggalku”. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).
Yang dimaksud sunnah
dalam hadits itu adalah thariqah yakni jalan (baca keterangan
sebelumnya), cara atau kebijakan; dan yang dimaksud Khalifah Rasyidun
ialah para penerus kepemimpinan beliau yang lurus
Sebutan itu tidak
terbatas berlaku bagi empat Khalifah sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. saja,
tetapi dapat diartikan lebih luas, berdasarkan makna Hadits yang lain :
“Para ulama adalah ahli-waris para Nabi “.
Dengan demikian hadits itu
dapat berarti dan berlaku pula para ulama dikalangan kaum muslimin
berbagai zaman, mulai dari zaman kaum Salaf (dahulu), zaman kaum
Tabi’in,
Tabi’it-Tabi’in dan seterusnya; dari generasi ke generasi,
mereka adalah Ulul-amri yang disebut dalam Al-Qur’an surat An-Nisa : 63 :
“Sekiranya mereka menyerahkan (urusan itu) kepada Rasulaulah dan
Ulul-amri (orang-orang yang mengurus kemaslahatan ummat) dari mereka
sendiri, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahui dari mereka (ulul-amri)”.
Para alim-ulamabukan
kaum awam yang mengurus kemaslahatan ummat Islam, khususnya dalam
kehidupan beragama.
Sebab, mereka itulah yang mengetahui
ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum agama.
Ibnu Mas’ud ra. menegaskan :
“Allah telah memilih Muhammad saw. (sebagai Nabi dan Rasululah) dan
telah pula memilih sahabat-sahabatnya.
Karena itu apa yang dipandang
baik oleh kaum muslimin, baik pula dalam pandangan Allah ” .
Demikian
yang diberitakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnad-nya dan
dinilainya sebagai hadits Hasan (hadits baik).
Dengan pengertian
penakwilan kalimat sunnah dalam hadits diatas yang salah ini golongan
tertentu ini dengan mudah membawa keumuman hadits kullu bid’atin
dholalah (semua bid’ah adalah sesat) terhadap semua perkara baru, baik
yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at maupun yang
tidak.
Berarti mereka telah mencampur-aduk kata bid’ah itu antara
penggunaannya yang syar’i dan yang lughawi (secara bahasa) dan mereka
telah terjebak dengan ketidak pahaman bahwa keumuman yang terdapat pada
hadits hanyalah terhadap bid’ah yang syar’i yaitu setiap perkara baru
yang bertentangan dengan nash dan dasar syari’at.
Jadi bukan terhadap
bid’ah yang lughawi yaitu setiap perkara baru yang diadakan dengan tanpa
adanya contoh.
Bid’ah lughawi inilah yang terbagi dua yang
pertama adalah mardud yaitu perkara baru yang bertentangan dengan nash
dan dasar-dasar syari’at dan inilah yang disebut bid’ah dholalah,
sedangkan yang kedua adalah kepada yang maqbul yaitu perkara baru yang
tidak bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at dan inilah yang
dapat diterima walaupun terjadinya itu pada masa-masa dahulu/pertama
atau sesudahnya.
Barangsiapa yang memasukkan semua perkara baru
yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam para sahabat dan
mereka yang hidup pada abad-abad pertama itu kedalam bid’ah dholalah,
maka dia haruslah mendatangkan terlebih dahulu nash-nash yang khos
(khusus) untuk masalah yang baru itu maupun yang ‘am (umum), agar yang
demikian itu tidak bercampur-aduk dengan bid’ah yang maqbul berdasarkan
penggunaannya yang lughawi.
Karena tuduhan bid’ah dholalah pada suatu
amalan sama halnya dengan tuduhan mengharamkan amalan tersebut.
Kalau
kita baca hadits dan firman Ilahi dibuku ini, kita malah diharuskan
sebanyak mungkin menjalankan ma’ruf (kebaikan) yaitu semua perbuatan
yang mendekatkan kita kepada Allah Subhanaahu Wa Ta'ala dan menjauhi yang mungkar
(keburukan) yaitu semua perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya
agar kita memperoleh keuntungan (pahala dan kebahagian didunia maupun
diakhirat kelak).
Begitupun juga orang yang menunjukkan kepada kebaikan
tersebut akan diberi oleh Allah swt. pahala yang sama dengan orang yang
mengerjakannya.
Apakah kita hanya berpegang pada satu hadits yang kalimatnya:
semua bid’ah dholalah
dan kita buang ayat ilahi dan hadits-hadits yang lain yang menganjurkan
manusia selalu berbuat kepada kebaikan?
Sudah tentu Tidak.......!
Yang benar
ialah bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima
kebenarannya oleh jumhurul-ulama serta tidak hanya melihat tekstual
kalimatnya saja tapi memahami makna dan motif setiap ayat Ilahi dan
sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. sehingga ayat ilahi dan sunnah ini satu sama lain
tidak akan berlawanan maknanya.
Berbuat kebaikan itu sangat luas
sekali maknanya bukan hanya masalah peribadatan saja.
Termasuk juga
kebaikan adalah hubungan baik antara sesama manusia (toleransi) baik
antara sesama muslimin maupun antara muslim dan non-muslim (yang tidak
memerangi kita), antara manusia dengan hewan, antara manusia dan alam
semesta.
Sebagaimana para ulama pakar Islam klasik pendahulu kita sudah
menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak akan diampuni
kecuali oleh orang yang bersangkutan, sementara hak asasi Tuhan diurus
oleh diri-Nya sendiri.
Manusia manapun tidak pernah diperkenankan
membuat klaim-klaim yang dianggap mewakili hak Tuhan.
Dalam konsep
tauhid, Allah lebih dari mampu untuk melindungi hak-hak pribadi-Nya.
Karena itu, kita harus berhati-hati untuk tidak melanggar hak-hak asasi
manusia.
Dalam Islam, Tuhan sendiri pun tidak akan mengampuni
pelanggaran terhadap hak asasi orang lain, kecuali yang bersangkutan
telah memberi maaf.
Contoh-contoh bid’ah yang diamalkan para sahabat
Marilah
kita sekarang rujuk hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. mengenai amal
kebaikan yang dilakukan oleh para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam atas prakarsa mereka
sendiri, bukan perintah Allah Subhanaahu Wa Ta'ala atau Nabi shallallahu alaihi wasallam, dan bagaimana
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menanggapi masalah itu.
Insya Allah dengan adanya
beberapa hadits ini para sahabat-sahabatku cukup jelas bahwa semua hal-hal yang
baru (bid’ah) yang sebelum atau sesudahnya tidak pernah diamalkan,
diajarkan atau diperintahkan oleh Rasulallah shallallahu alaihi wasallam selama hal ini tidak
merubah dan keluar dari garis-garis yang ditentukan syari’at itu adalah
boleh diamalkan apalagi dalam bidang kebaikan itu malah dianjurkan oleh
agama dan mendapat pahala.
a. Hadits dari Abu Hurairah:
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. bertanya pada Bilal ra seusai sholat Shubuh : ‘Hai
Bilal, katakanlah padaku apa yang paling engkau harapkan dari amal yang
telah engkau perbuat, sebab aku mendengar suara terompahmu didalam
surga’.
Bilal menjawab : Bagiku amal yang paling kuharapkan ialah aku
selalu suci tiap waktu (yakni selalu dalam keadaan berwudhu) siang-malam
sebagaimana aku menunaikan shalat “. (HR Bukhori, Muslim dan Ahmad bin
Hanbal).
Dalam hadits lain yang diketengahkan oleh Tirmidzi dan
disebutnya sebagai hadits hasan dan shohih, oleh Al-Hakim dan Ad-Dzahabi
yang mengakui juga sebagai hadits shohih ialah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam meridhoi
prakarsa Bilal yang tidak pernah meninggalkan sholat dua rakaat setelah
adzan dan pada tiap saat wudhu’nya batal, dia segera mengambil air
wudhu dan sholat dua raka’at demi karena Allah Subhanaahu Wa Ta'ala. (lillah).
Al-Hafidh
Ibnu Hajar dalam kitab Al-Fath mengatakan: Dari hadits tersebut dapat
diperoleh pengertian, bahwa ijtihad menetapkan waktu ibadah
diperbolehkan.
Apa yang dikatakan oleh Bilal kepada Rasulullahshallallahu alaihi wasallam .adalah hasil istinbath (ijtihad)-nya sendiri dan ternyata dibenarkan
oleh beliau saw. (Fathul Bari jilid 111/276).
b. Hadits lain
berasal dari Khabbab dalam Shahih Bukhori mengenai perbuatan Khabbab
shalat dua rakaat sebagai pernyataan sabar (bela sungkawa) disaat
menghadapi orang muslim yang mati terbunuh. (Fathul Bari jilid 8/313).
Dua
hadits tersebut kita mengetahui jelas, bahwa Bilal dan Khabbab telah
menetapkan waktu-waktu ibadah atas dasar prakarsanya sendiri-sendiri.
Rasulullah saw. tidak memerintahkan hal itu dan tidak pula melakukannya,
beliau hanya secara umum menganjurkan supaya kaum muslimin banyak
beribadah. Sekalipun demikian beliau shallallahu alaihi wasallam tidak melarang, bahkan
membenarkan prakarsa dua orang sahabat itu.
c. Hadits riwayat Imam Bukhori dalam shohihnya II :284, hadits berasal dari Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqi yang menerangkan bahwa:
“Pada
suatu hari aku sesudah shalat dibelakang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Ketika berdiri
(I’tidal) sesudah ruku’ beliau shallallahu alaihi wasallam mengucapkan ‘sami’allahu liman
hamidah’.
Salah seorang yang ma’mum menyusul ucapan beliau itu dengan
berdo’a: ‘Rabbana lakal hamdu hamdan katsiiran thayyiban mubarakan
fiihi’ (Ya Tuhan kami, puji syukur sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya
atas limpahan keberkahan-Mu).
Setelah shalat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bertanya :
‘Siapa tadi yang berdo’a?’.
Orang yang bersangkutan menjawab: Aku, ya
Rasul- Allah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata : ‘Aku melihat lebih dari 30
malaikat ber-rebut ingin mencatat do’a itu lebih dulu’ “.
Ibnu
Hajar Al-Asqalani dalam Al-Fath II:287 mengatakan: ‘ Hadits tersebut
dijadikan dalil untuk membolehkan membaca suatu dzikir dalam sholat yang
tidak diberi contoh oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam (ghair ma’tsur) jika ternyata dzikir
tersebut tidak bertolak belakang atau bertentangan dengan dzikir yang
ma’tsur dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam..
Disamping itu,
hadits tersebut mengisyaratkan bolehnya mengeraskan suara bagi makmum
selama tidak mengganggu orang yang ada didekatnya…’.
Al-Hafidh
dalam Al-Fath mengatakan bahwa hadits tersebut menunjukkan juga
diperbolehkannya orang berdo’a atau berdzikir diwaktu shalat selain dari
yang sudah biasa, asalkan maknanya tidak berlawanan dengan kebiasaan
yang telah ditentukan (diwajibkan).
Juga hadits itu memperbolehkan orang
mengeraskan suara diwaktu shalat dalam batas tidak menimbulkan
keberisikan.
Lihat pula kitab Itqan Ash-Shan’ah Fi Tahqiq untuk
mengetahui makna al-bid’ah karangan Imam Muhaddis Abdullah bin Shiddiq
Al-Ghimary untuk
mengetahui makna al-bid’ah
d.
Hadits serupa diatas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin
Malik ra. “Seorang dengan terengah-engah (Hafazahu Al-Nafs) masuk
kedalam barisan (shaf).
Kemudian dia mengatakan (dalam sholatnya)
al-hamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi (segala puji
hanya bagi Allah dengan pujian yang banyak, bagus dan penuh berkah).
Setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selesai dari sholatnya, beliau bersabda :
‘Siapakah diantaramu yang mengatakan beberapa kata (kalimat) (tadi)’........?
Orang-orang diam.
Lalu beliau shallallahu alaihi wasallam bertanya lagi: ‘Siapakah diantaramu
yang mengatakannya ? Sesungguhnya dia tidak mengatakan sesuatu yang
percuma’.
Orang yang datang tadi berkata: ‘Aku datang sambil
terengah-engah (kelelahan) sehingga aku mengatakannya’.
Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Sungguh aku melihat dua belas malaikat memburunya dengan
cepat, siapakah diantara mereka (para malaikat) yang mengangkatkannya
(amalannya ke Hadhirat Allah) “. (Shohih Muslim 1:419 ).
e. Dalam
Kitabut-Tauhid Al-Bukhori mengetengahkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra.
yang mengatakan: “Pada suatu saat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menugaskan seorang
dengan beberapa temannya ke suatu daerah untuk menangkal serangan kaum
musyrikin.
Tiap sholat berjama’ah, selaku imam ia selalu membaca Surat
Al-Ikhlas di samping Surah lainnya sesudah Al-Fatihah.
Setelah mereka
pulang ke Madinah, seorang diantaranya memberitahukan persoalan itu
kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Beliau shallallahu alaihi wasallam menjawab : ‘Tanyakanlah kepadanya apa
yang dimaksud’.
Atas pertanyaan temannya itu orang yang bersangkutan
menjawab : ‘Karena Surat Al-Ikhlas itu menerangkan sifat ar-Rahman, dan
aku suka sekali membacanya’.
Ketika jawaban itu disampaikan kepada
Rasulallah saw. beliau berpesan : ‘Sampaikan kepadanya bahwa Allah
menyukai nya’ .
Apa yang dilakukan oleh orang tadi tidak pernah
dilakukan dan tidak pernah diperintahkan oleh Rasulallah shallallahu alaihi wasallam Itu hanya
merupakan prakarsa orang itu sendiri.
Sekalipun begitu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
tidak mempersalahkan dan tidak pula mencelanya, bahkan memuji dan
meridhoinya dengan ucapan “Allah menyukainya”.
f. Bukhori dalam
Kitabus Sholah hadits yang serupa diatas dari Anas bin Malik yang
menceriterakan bahwa: “Beberapa orang menunaikan shalat dimasjid Quba.
Orang yang mengimami shalat itu setelah membaca surah Al-Fatihah dan
satu surah yang lain selalu menambah lagi dengan surah Al-Ikhlas.
Dan
ini dilakukannya setiap rakaat. Setelah shalat para ma’mum menegurnya:
K
enapa anda setelah baca Fatihah dan surah lainnya selalu menambah
dengan surah Al-Ikhlas.........?
Anda kan bisa memilih surah yang lain dan
meninggalkan surah Al-Ikhlas atau membaca surah Al-Ikhlas tanpa membaca
surah yang lain...........! I
mam tersebut menjawab : Tidak !, aku tidak mau
meninggalkan surah Al-Ikhlas kalau kalian setuju, aku mau mengimami
kalian untuk seterusnya tapi kalau kalian tidak suka aku tidak mau
mengimami kalian.
Karena para ma’mum tidak melihat orang lain yang lebih
baik dan utama dari imam tadi mereka tidak mau diimami oleh orang lain.
Setiba di Madinah mereka menemui Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. dan menceriterakan hal
tersebut pada beliau.
Kepada imam tersebut Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bertanya:
‘Hai, fulan, apa sesungguhnya yang membuatmu tidak mau menuruti
permintaan teman-temanmu dan terus menerus membaca surat Al-Ikhlas pada
setiap rakaat’...?
Imam tersebut menjawab: ‘Ya Rasulullah, aku sangat
mencintai Surah itu’.
Beliau shallallahu alaihi wasallam berkata: ‘Kecintaanmu kepada Surah itu
akan memasukkan dirimu ke dalam surga’ “..
Mengenai makna hadits
ini Imam Al-Hafidh dalam kitabnya Al-Fath mengatakan antara lain; ‘Orang
itu berbuat melebihi kebiasaan yang telah ditentukan karena terdorong
oleh kecintaannya kepada surah tersebut. Namun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
menggembirakan orang itu dengan pernyataan bahwa ia akan masuk surga.
Hal ini menunjukkan bahwa beliau saw. meridhainya’.
Imam
Nashiruddin Ibnul Munir menjelaskan makna hadits tersebut dengan
menegaskan : ‘Niat atau tujuan dapat mengubah kedudukan hukum suatu
perbuatan’.
Selanjutnya ia menerangkan; ‘Seumpama orang itu menjawab
dengan alasan karena ia tidak hafal Surah yang lain, mungkin Rasulullah shallallahu alaihi wasallam akan menyuruhnya supaya belajar menghafal Surah-surah selain yang
selalu dibacanya berulang-ulang.
Akan tetapi karena ia mengemukakan
alasan karena sangat mencintai
Surah itu (yakni Al-Ikhlas), Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dapat membenarkannya, sebab alasan itu menunjukkan niat baik dan
tujuan yang sehat’.
Lebih jauh Imam Nashiruddin mengatakan ; ‘Hadits
tersebut juga menunjukkan, bahwa orang boleh membaca berulang-ulang
Surah atau ayat-ayat khusus dalam Al-Qur’an menurut kesukaannya.
Kesukaan demikian itu tidak dapat diartikan bahwa orang yang
bersangkutan tidak menyukai seluruh isi Al-Qur’an atau meninggalkannya’.
Menurut
kenyataan, baik para ulama zaman Salaf maupun pada zaman-zaman
berikutnya, tidak ada yang mengatakan perbuatan seperti itu merupakan
suatu bid’ah sesat, dan tidak ada juga yang mengatakan bahwa perbuat- an
itu merupakan sunnah yang tetap.
Sebab..... sunnah yang tetap dan wajib
dipertahankan serta dipelihara baik-baik ialah sunnah yang dilakukan dan
diperintahkan oleh Rasulallah shallallahu alaihi wasallam.
Sedangkan sunnah-sunnah yang tidak
pernah dijalankan atau diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. bila tidak
keluar dari ketentuan syari’at dan tetap berada didalam kerangka amal
kebajikan yang diminta oleh agama Islam itu boleh diamalkan apalagi
dalam persoalan berdzikir kepada Allah Subhanaahu Wa Ta'ala.
g. Al-Bukhori
mengetengahkan sebuah hadits tentang Fadha’il (keutamaan) Surah
Al-Ikhlas berasal dari Sa’id Al-Khudriy ra. yang mengatakan, bahwa ia
mendengar seorang mengulang-ulang bacaan Qul huwallahu ahad…. Keesokan
harinya ia ( Sa’id Al-Khudriy ra) memberitahukan hal itu kepada
Rasulallah saw., dalam keadaan orang yang dilaporkan itu masih terus
mengulang-ulang bacaannya.
Menanggapi laporan Sa’id itu Rasulallah shallallahu alaihi wasallam berkata : ‘Demi Allah yang nyawaku berada ditangan Nya, itu sama
dengan membaca sepertiga Qur’an’.
Imam Al-Hafidh mengatakan
didalam Al-Fathul-Bari; bahwa orang yang disebut dalam hadits itu ialah
Qatadah bin Nu’man.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ahmad bin Tharif
dari Abu Sa’id, yang mengatakan, bahwa sepanjang malam Qatadah bin
Nu’man terus-menerus membaca Qul huwallahu ahad, tidak lebih.
Mungkin
yang mendengar adalah saudaranya seibu (dari lain ayah), yaitu Abu Sa’id
yang tempat tinggalnya berdekatan sekali dengan Qatadah bin Nu’man.
Hadits yang sama diriwayatkan juga oleh Malik bin Anas, bahwa Abu Sa’id
mengatakan: ‘Tetanggaku selalu bersembahyang di malam hari dan
terus-menerus membaca Qul huwallahu ahad’.
h. Ashabus-Sunan, Imam
Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban dalam Shohih-nya meriwayatkan sebuah
hadits berasal dari ayah Abu Buraidah yang menceriterakan kesaksiannya
sendiri sebagai berikut: ‘Pada suatu hari aku bersama Rasulallah saw.
masuk kedalam masjid Nabawi (masjid Madinah).
Didalamnya terdapat
seorang sedang menunaikan sholat sambil berdo’a; Ya Allah, aku mohon
kepada-Mu dengan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau. Engkaulah
Al-Ahad, As-Shamad, Lam yalid wa lam yuulad wa lam yakullahu kufuwan
ahad’.
Mendengar do’a itu Rasulallah shallallahu alaihi wasallam bersabda; ‘Demi Allah yang
nyawaku berada di tangan-Nya, dia mohon kepada Allah dengan Asma-Nya
Yang Maha Besar, yang bila dimintai akan memberi dan bila orang berdo’a
kepada-Nya Dia akan menjawab’.
Tidak diragukan lagi, bahwa do’a
yang mendapat tanggapan sangat menggembirakan dari Rasulallah shallallahu alaihi wasallam itu
disusun atas dasar prakarsa orang yang berdo’a itu sendiri, bukan do’a
yang diajarkan atau diperintahkan oleh Rasulallah shallallahu alaihi wasallam. kepadanya.
Karena
susunan do’a itu sesuai dengan ketentuan syari’at dan bernafaskan
tauhid, maka beliau saw. menanggapinya dengan baik, membenarkan dan
meridhoinya.
i. Hadits dari Ibnu Umar katanya; “Ketika kami sedang
melakukan shalat bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam ada seorang lelaki dari yang hadir
yang mengucapkan ‘Allahu Akbaru Kabiiran Wal Hamdu Lillahi Katsiiran Wa
Subhaanallahi Bukratan Wa Ashiila’.
Setelah selesai sholatnya, maka
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bertanya; ‘Siapakah yang mengucapkan kalimat-kalimat
tadi....?
Jawab seseorang dari kaum; Wahai Rasulullah, akulah yang
mengucapkan kalimat-kalimat tadi.
Sabda beliau shallallahu alaihi wasallam; ‘Aku sangat kagum
dengan kalimat-kalimat tadi sesungguhnya langit telah dibuka
pintu-pintunya karenanya’.
Kata Ibnu Umar: Sejak aku mendengar ucapan
itu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam maka aku tidak pernah meninggalkan untuk mengucapkan
kalimat-kalimat tadi.” (HR. Muslim dan Tirmidzi). As-Shan’ani
‘Abdurrazzaq juga mengutipnya dalam Al-Mushannaf.
Demikianlah
bukti yang berkaitan dengan pembenaran dan keridhaan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
terhadap prakarsa-prakarsa baru yang berupa do’a-do’a dan bacaan surah
di dalam sholat, walaupun beliau saw. sendiri tidak pernah melakukannya
atau memerintahkannya.
Kemudian Ibnu Umar mengamalkan hal tersebut bukan
karena anjuran dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tapi karena mendengar jawaban
beliau shallallahu alaihi wasallam. mengenai bacaan itu.
Pada hadits-hadits tadi
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. juga tidak melarang orang untuk berdo’a dalam waktu
sholat dengan lafadz-lafadz do’a yang tidak pernah diajarkan atau
diperintahkan oleh beliau shallallahu alaihi wasallam. dan membaca surah Al-Ikhlas
berulang-ulang baik dalam waktu sholat maupun diluar sholat, malah
beliau memberi kabar gembira bagi orang yang mengamalkannya.
Mengapa
justru golongan pengingkar berani mengharamkan, membid’ahkan munkar
orang membaca tahlilan/yasinan berulang-ulang yang mana dimajlis itu
bukan hanya satu surat saja yang dibaca tetapi bermacam-macam surah dari
Al-Qur’an dan do’a-do’a yang baik...........?
Kalau mereka mengatakan sebagai
pengikut para Salaf, mengapa tidak mencontoh bagaimana cara Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Raja dan Guru terbesarnya para Salaf menanggapi amalan-amalan
bid’ah (baru) yang telah dikemukakan tadi...?
J. Hadits dari Abu
Sa’id al-Khudri tentang Ruqyah yakni sistem pengobatan dengan jalan
berdo’a kepada Allah swt. atau dengan jalan bertabarruk pada ayat-ayat
Al-Qur’an.
Sekelompok sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam. yang sempat singgah pada
pemukiman suku arab badui sewaktu mereka dalam perjalanan.
Karena sangat
lapar mereka minta pada orang-orang suku tersebut agar bersedia untuk
menjamu mereka. Tapi permintaan ini ditolak.
Pada saat itu kepala suku
arab badui itu disengat binatang berbisa sehingga tidak dapat jalan.
Karena tidak ada orang dari suku tersebut yang bisa mengobatinya,
akhirnya mereka mendekati sahabat Nabi seraya berkata:
Siapa diantara
kalian yang bisa mengobati kepala suku kami yang disengat binatang
berbisa,,?
Salah seorang sahabat sanggup menyembuhkannya tapi dengan
syarat suku badui mau memberikan makanan pada mereka.
Hal ini disetujui
oleh suku badui tersebut.
Maka sahabat Nabi itu segera mendatangi kepala
suku lalu membacakannya surah al-Fatihah, seketika itu juga dia sembuh
dan langsung bisa berjalan.
Maka segeralah diberikan pada para sahabat
beberapa ekor kambing sesuai dengan perjanjian.
Para sahabat belum
berani membagi kambing itu sebelum menghadap Rasulallah shallallahu alaihi wasallam..
Setiba
dihadapan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, mereka menceriterakan apa yang telah mereka
lakukan terhadap kepala suku itu. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bertanya ; ‘Bagaimana
engkau tahu bahwa surah al-Fatihah itu dapat menyembuhkan’?
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. membenarkan mereka dan ikut memakan sebagian dari daging kambing
tersebut “. (HR.Bukhori)
k. Abu Daud, At-Tirmudzi dan An-Nasa’i
mengetengahkan sebuah riwayat hadits berasal dari paman Kharijah bin
Shilt yang mengatakan; “Pada suatu hari ia melihat banyak orang
bergerombol dan ditengah-tengah mereka terdapat seorang gila dalam
keadaan terikat dengan rantai besi.
Kepada paman Kharijah itu mereka
berkata: ‘Anda tampaknya datang membawa kebajikan dari orang itu (yang
dimaksud Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.), tolonglah sembuhkan orang gila ini’.
Paman
Kharijah kemudian dengan suara lirih membaca surat Al-Fatihah, dan
ternyata orang gila itu menjadi sembuh”. (Hadits ini juga diketengahkan
oleh Al-Hafidh didalam Al-Fath)
Masih banyak hadits yang tak
tercantum disini, yang meriwayatkan amal perbuatan para sahabat atas
dasar prakarsa dan ijtihadnya sendiri yang tidak dijalani serta
dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam..
Semuanya itu diridhoi oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. dan beliau memberi kabar gembira pada mereka.
Amalan-amalan
tersebut juga tidak diperintah atau dianjurkan oleh Rasulallah shallallahu alaihi wasallam.
sebelum atau sesudahnya.
Karena semua itu bertujuan baik, tidak
melanggar syariát maka oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam. diridhoi dan mereka diberi kabar
gembira.
Perbuatan-perbuatan tersebut dalam pandangan syari’at dinamakan
sunnah mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan istinbath
atau hasil ijtihad.
Dengan demikian hadits-hadits diatas bisa dijadikan
dalil untuk setiap amal kebaik- an selama tidak keluar dari garis-garis
yang ditentukan syari’at Islam itu mustahab/baik hukumnya, apalagi
masalah tersebut bermanfaat bagi masyarakat muslim khususnya malah
dianjurkan oleh agama.
Kalau kita teliti hadits-hadits diatas
tersebut banyak yang berkaitan dengan masalah shalat yaitu suatu ibadah
pokok dan terpenting dalam Islam.
Sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. telah
bersabda :
صَلُُوْا كَمَا رَأيْتُمُوْنِي أصَلِي (رواه البخاري
‘Hendaklah kamu sholat sebagaimana kalian melihat aku sholat’. (HR Bukhori).
Sekalipun
demikian beliau saw. dapat membenarkan dan meridhoi tambahan tambahan
tertentu yang berupa do’a dan bacaan surah atas prakarsa mereka itu.
Karena beliau saw. memandang do’a dan bacaan surah tersebut diatas tidak
keluar dari batas-batas yang telah ditentukan oleh syari’at dan juga
bernafaskan tauhid.
Bila ijtihad dan amalan para sahabat itu melanggar
dan merubah hukum-hukum yang telah ditentukan oleh syari’at, pasti akan
ditegur dan dilarang oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Mungkin ada orang yang
bertanya-tanya lagi;
Bagaimanakah pendapat orang tentang penetapan
sesuatu yang disebut sunnah atau mustahab, yaitu penetapan yang
dilakukan oleh masyarakat muslimin pada abad pertama Hijriyah, padahal
apa yang dikatakan sunnah atau mustahab itu tidak pernah dikenal pada
zaman hidupnya Nabi shallallahu alaihi wasallam..........?
Memang benar, bahwa masyarakat yang
hidup pada zaman abad pertama Hijriyah dan generasi berikutnya, banyak
menetapkan hal-hal yang bersifat mustahab dan baik.
Pada masa itu banyak
sekali para ulama yang menurut kesanggupannya masing-masing dalam
menguasai ilmu pengetahuan, giat melakukan ijtihad (studi mendalam untuk
mengambil kesimpulan hukum) dan menetapkan suatu cara yang dipandang
baik atau mustahab.
Untuk menerangkan hal ini baiklah kita ambil
contoh yang paling mudah dipahami dan yang pada umumnya telah dimengerti
oleh kaum muslimin, yaitu soal kodifikasi (pengitaban) ayat-ayat suci
Al-Qur’an, sebagaimana yang telah kita kenal sekarang ini. Al-Quran
waktu zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam. dan zaman khalifah Abubakar ra, masih bertebaran
di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para sahabat ra yang hanya
sebagian dituliskan.
Namun dengan adanya pengitaban tersebut, sekarang
kita masih mengenal Al-Quran secara utuh dan dengan adanya Bid’ah
Hasanah ini pula kita masih mengenal hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka
jadilah Islam ini kokoh dan Abadi.
Bila hal tersebut tidak terjadi, maka
akan muncul beribu-ribu Versi Al-Quran di zaman sekarang, karena semua
orang akan mengumpulkan dan membukukannya, yang masing-masing dengan
riwayatnya sendiri, maka hancurlah Al-Quran dan hancurlah Islam.
Para
sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam. sendiri pada masa-masa sepeninggal beliau shallallahu alaihi wasallam
berpendapat bahwa pengkodifikasian ayat-ayat suci Al-Qur’an adalah
bid’ah sayyiah.
Mereka khawatir kalau-kalau pengkodifikasian itu akan
mengakibatkan rusaknya kemurnian agama Allah Subhanaahu Wa Ta'ala., Islam. ‘Umar bin
Khattab ra. sendiri sampai merasa takut kalau-kalau dikemudian hari
ayat-ayat Al-Qur’an akan lenyap karena wafatnya para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam
yang hafal ayat-ayat Al-Qur’an.
====
By : Note Untuk Kamu
=====
Ia mengemukakan kekhawatirannya
itu kepada Khalifah Abu Bakra ra. dan mengusulkan supaya Khalifah
memerintahkan pengitaban ayat-ayat Al-Qur’an.
Tetapi ketika itu Khalifah
Abu Bakar menolak usul ‘Umar dan berkata kepada ‘Umar;
Bagaimana
mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.?
‘Umar bin Khattab ra. menjawab; Itu merupakan hal yang baik.
Namun........
tidak berapa lama kemudian Allah swt. membukakan pikiran Khalifah Abu
Bakar ra seperti yang dibukakan lebih dulu pada pikiran ‘Umar bin
Khattab ra, dan akhirnya bersepakatlah dua orang sahabat Nabi itu untuk
mengitabkaan ayat-ayat Al-Qur’an.
Khalifah Abu Bakar memanggil Zaid bin
Tsabit dan diperintahkan supaya melaksanakan pengitabatan ayat-ayat
Al-Qur’an itu. Zaid bin Tsabit ra. juga menjawab kepada Abu Bakar;
Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh
Rasulallah shallallahu alaihi wasallam....?
Abu Bakar menjawab kepadanya; Itu pekerjaan yang baik.......!
Untuk
lebih detail keterangannya sebagai berikut:
Ketika terjadi pembunuhan
besar-besaran atas para Huffadh (yang hafal) Alqur’an dan Ahli Alqur’an
dari sahabat Rasulallah saw. (Ahlul jamaamah) di zaman Khalifah Abubakar
Asshiddiq ra,.
Berkata Abubakar Ashiddiq ra kepada Zaid bin Tsabit ra :
“Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas
ahlulyamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para
Ahlulqur’an, lalu ia menyarankan agar aku (Abubakar Asshiddiq ra)
mengumpulkan dan menulis Alqur’an.
Aku berkata: Bagaimana aku berbuat
suatu hal yang tidak diperbuat oleh Rasulullah..?, maka Umar berkata
padaku; Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan
ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju
dan kini aku sependapat dengan Umar, dan engkau (zeyd) adalah pemuda,
cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah
mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Alqur’an dan
tulislah Alqur’an..!”.
Berkata Zaid: “Demi Allah sungguh bagiku
diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung gunung tidak
seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian
berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam....?”, maka
Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun
meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini
aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan
Alqur’an”. (Shahih Bukhari hadits no.4402 dan 6768).
Riwayat ini juga
dikemukakan oleh Imam Bukhori dalam Shohih-nya jilid 4 halaman 243
mengenai pengitaban ayat-ayat suci Al-Qur’an. Penulisan Alqur’an selesai
dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra hingga Alqur’an kini dikenal dengan
nama Mushaf Utsmani, dan Ali bin Abi Thalib kw menghadiri dan
menyetujui hal itu.
Jelaslah sudah, baik Abu Bakar, ‘Umar maupun
Zaid bin Tsabit [ra] pada masa itu telah melakukan suatu cara yang tidak
pernah dikenal pada waktu Rasulallah saw masih hidup.
Bahkan sebelum
melakukan pengitaban Al-Qur’an itu Khalifah Abu Bakar dan Zaid bin
Tsabit sendiri masing-masing telah menolak lebih dulu, tetapi akhirnya
mereka dibukakan dadanya oleh Allah Subhanaahu Wa Ta'ala. sehingga dapat menyetujui dan
menerima baik prakarsa ‘Umar bin Khattab ra.
Demikianlah contoh suatu
amalan yang tidak pernah dikenal pada zaman hidupnya Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Secara
umum bid’ah adalah sesat karena berada diluar perintah Allah Subhanaahu Wa Ta'ala. dan
Rasul-Nya. Akan tetapi banyak kenyataan membuktikan, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam.
membenarkan dan meridhoi banyak persoalan yang telah kami kemukakan yang
berada diluar perintah Allah dan perintah beliau shallallahu alaihi wasallam.
Hadits-hadits
diatas itu mengisyaratkan adanya bid’ah hasanah, karena Rasulaulah shallallahu alaihi wasallam
membenarkan serta meridhoi atas kata-kata tambahan dalam sholat dan
semua bentuk kebajikan yang diamalkan para sahabat walaupun Nabi shallallahu alaihi wasallam.
belum menetapkan atau memerintahkan amalan-amalan tersebut.
Begitu juga
prakarsa para sahabat diatas setelah wafatnya beliau shallallahu alaihi wasallam
Darisini
kita bisa ambil kesimpulan bahwa semua bentuk amalan-amalan, baik itu
dijalankan atau tidak pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. atau zaman dahulu
setelah zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam yang tidak melanggar syariát serta mempunyai
tujuan dan niat mendekatkan diri untuk mendapatkan ridha Allah Subhanaahu Wa Ta'ala. dan
untuk mengingatkan (dzikir) kita semua pada Allah serta Rasul-Nya itu
adalah bagian dari agama dan dapat diterima.
Sebagaimana hadits Rasulallah saw.:
اِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْنـِّيَّاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى, فَمَنْ كَانَتْ
هجْرَتُهُ الَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلى اللهِ وَرَسُوْلِهِ
(رواه البخاري
‘Sesungguhnya
segala perbuatan tergantung kepada niat, dan setiap manusia akan
mendapat sekadar apa yang diniatkan, siapa yang hijrahnya (tujuannya)
karena Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya itu adalah karena Allah dan
Rasul-Nya (berhasil)’. (HR. Bukhori).
Sekiranya orang-orang yang
gemar melontarkan tuduhan bid’ah dapat memahami hikmah apa yang ada pada
sikap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. dalam meng- hadapi amal kebajikan yang dilakukan
oleh para sahabatnya sebagaimana yang telah kami kemukakan dalil-dalil
haditsnya tentu mereka mau dan akan menghargai orang lain yang tidak
sependapat atau sepaham dengan mereka.
Tetapi sayangnya golongan
pengingkar ini tetap sering mencela dan mensesatkan para ulama yang
tidak sepaham dengannya.
Mereka ini malah mengatakan; ‘Bahwa para ulama
dan Imam yang memilah-milahkan bid’ah menjadi beberapa jenis telah
membuka pintu selebar-lebarnya bagi kaum Muslim untuk berbuat segala
macam bid’ah.. !
Kemudian mereka ini tanpa pengertian yang benar
mengatakan, bahwa semua bid’ah adalah dhalalah (sesat) dan sesat didalam
neraka!”.
Saya berlindung pada Allah Subhanaahu Wa Ta'ala atas pemahaman mereka semacam
ini.
Wallahu a’lam bishshawab