Hindun binti Utbah pernah datang menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam mengadukan kesulitannya karena suaminya tidak memberikan
nafkah yang cukup untuknya dan anak-anaknya.
Ia terpaksa mengambil
harta suaminya tanpa sepengetahuannya untuk mencukupi kebutuhan.
Maka
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya.
"Ambillah (dari harta suamimu) apa yang mencukupimu dan anak-anakmu dengan cara yang baik" [1]
KEWAJIBAN SUAMI MEMBERI NAFKAH KELUARGA
Kisah di atas mengilustrasikan kepada kita, bahwa suami memiliki
kewajiban yang telah Allah tetapkan dan begitu urgen, sekaligus
sebagai hak isteri yang wajib untuk dipenuhi.
Kemampuan memberi
nafkah ini juga yang menjadi salah satu alasan mengapa kaum lelaki
lebih utama dari kaum wanita. Namun mungkin banyak diantara kaum
muslimin yang tidak memahami masalah penting ini.
Terlebih pada masa
dewasa ini, di tengah maraknya upaya pengaburan norma-norma agama,
banyak faktor yang ikut mempengaruhi perubahan pola pikir kaum
Muslimin; kebodohan terhadap ajaran agama adalah salah satu sebab
utama, disamping sikap membeo kepada orang-orang di luar Islam.
DEFINISI NAFKAH MENURUT ULAMA
Para ulama memberikan satu batasan tentang makna nafkah.
Diantaranya
sebagaimana disebutkan dalam Mu’jamul Wasith, yaitu apa-apa yang
dikeluarkan oleh seorang suami untuk keluarganya berupa makanan,
pakaian, tempat tinggal, dan yang selainnya [2].
Nafkah ini juga
mencakup keperluan isteri sewaktu melahirkan, seperti pembiayaan bidan
atau dokter yang menolong persalinan, biaya obat serta rumah sakit.
Termasuk juga didalamnya adalah pemenuhan kebutuhan biologis isteri.
Hukum memberi nafkah keluarga ini wajib atas suami, berdasarkan
nash-nash Al Qur’an, Hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam serta
Ijma’ ulama.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi
nafkah dari apa yang telah Allah karuniakan kepadanya. Allah tidaklah
memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang
telah Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan
kelapangan setelah kesempitan". [Ath Thalaq : 7]
Juga firmanNya.
"Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik".[Al Baqarah : 233].
Jabir mengisahkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Bertaqwalah kalian dalam masalah wanita. Sesungguhnya
mereka ibarat tawanan di sisi kalian. Kalian ambil mereka dengan
amanah Allah dan kalian halalkan kemaluan mereka dengan kalimat
Allah. Mereka memiliki hak untuk mendapatkan rezki dan pakaian dari
kalian".[3]
Mayoritas ulama, diantaranya Ibnu Qudamah, berpendapat bahwa kewajiban
suami memberi nafkah juga berlaku bagi isterinya dari kalangan
wanita Kitabiah (Ahlul Kitab) jika ia memiliki isteri dari golongan
mereka, berdasarkan keumuman nash-nash yang mewajibkan suami memberi
nafkah isteri.[4]
KEUTAMAAN MEMBERI NAFKAH KEPADA KELUARGA
Tidaklah Allah Azza wa Jalla memerintahkan satu perkara, melainkan
perkara itu pasti dicintaiNya dan memiliki keutamaan di sisiNya serta
membawa kebaikan bagi para hamba. Termasuk masalah memenuhi nafkah
keluarga.
Melalui lisan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam, Allah Azza wa
Jalla telah menjelaskan tentang keutamaan memberi nafkah kepada
keluarga. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang
engkau infakkan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau
sedekahkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau nafkahkan
kepada keluargamu, pahala yang paling besar adalah dinar yang engkau
nafkahkan untuk keluargamu" [5].
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Apa yang engkau berikan untuk memberi makan dirimu
sendiri, maka itu adalah sedekah bagimu, dan apa yang engkau berikan
untuk memberi makan anakmu, maka itu adalah sedekah bagimu, dan apa
yang engkau berikan untuk memberi makan orang tuamu, maka itu adalah
sedekah bagimu.Dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan
isterimu, maka itu adalah sedekah bagimu, dan apa yang engkau berikan
untuk memberi makan pelayanmu, maka itu adalah sedekah bagimu".[6]
Al Hafizh Ibnul Hajar Al Asqalani berkata,”Memberi nafkah kepada
keluarga merupakan perkara yang wajib atas suami.
Syari’at menyebutnya
sebagai sedekah, untuk menghindari anggapan bahwa para suami yang
telah menunaikan kewajiban mereka (memberi nafkah) tidak akan
mendapatkan balasan apa-apa.
Mereka mengetahui balasan apa yang akan
diberikan bagi orang yang bersedekah.
Oleh karena itu, syari’at
memperkenalkan kepada mereka, bahwa nafkah kepada keluarga juga
termasuk sedekah (yang berhak mendapat pahala, Pen).
Sehingga tidak
boleh memberikan sedekah kepada selain keluarga mereka, sebelum
mereka mencukupi nafkah (yang wajib) bagi keluarga mereka, sebagai
pendorong untuk lebih mengutamakan sedekah yang wajib mereka
keluarkan (yakni nafkah kepada keluarga, Pen) dari sedekah yang
sunnat.”[7]
Adalah satu hal yang sangat tidak logis, apabila ada suami yang
makan-makan bersama teman-temannya, mentraktir mereka karena ingin
terlihat hebat di mata mereka, sementara anak dan isterinya di rumah
mengencangkan perut menahan lapar.
Dimanakah sikap perwira dan
tanggung jawabnya sebagai suami...?
Satu hal yang juga tidak kalah penting untuk diingat, bahwa suami wajib
memberi nafkah dari rizki yang halal.
Jangan sekali-kali memberi
nafkah dari jalan yang haram, karena setiap daging yang tumbuh dari
barang yang haram berhak mendapat siksa api neraka.
Sang suami akan
dimintai pertanggungan jawaban tentang nafkah yang diberikan kepada
keluarganya.
KAPAN KEWAJIBAN MEMBERI NAFKAH BERAWAL?
Para ulama kalangan Hanafiah berpendapat, kewajiban memberi nafkah ini
mulai dibebankan ke pundak suami setelah berlangsungnya akad nikah
yang sah; meskipun sang isteri belum berpindah ke rumah suaminya.
Dasar pendapat mereka, diantara konsekuensi dari akad yang sah, ialah
sang isteri menjadi tawanan bagi suaminya. Dan apabila isteri menolak
berpindah ke rumah suaminya tanpa ada udzur syar’i setelah suaminya
memintanya, maka ia tidak berhak mendapat nafkah dikarenakan isteri
telah berbuat durhaka (nusyuz) kepada suaminya dengan menolak
permintaan suaminya tersebut.
Sedangkan ulama dari kalangan Syafi’iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah
berpendapat, kewajiban nafkah belum jatuh kepada suami hanya dengan
akad nikah semata-mata.
Kewajiban itu mulai berawal ketika sang
isteri telah menyerahkan dirinya kepada suaminya, atau ketika sang
suami telah mencampurinya, atau ketika sang suami menolak memboyong
isterinya ke rumahnya, padahal sang isteri telah meminta hal itu
darinya.[8]
JENIS-JENIS NAFKAH
Jenis nafkah yang wajib, yaitu segala sesuatu yang dibutuhkan oleh sang
isteri serta keluarganya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qudamah.
Termasuk kategori nafkah wajib ini -tanpa ada perselisihan ulama-
meliputi kebutuhan primer, seperti makanan, minuman, pakaian dan
tempat tinggal, perhiasan serta sarana-sarana dan peralatan yang
dibutuhkan isteri untuk memenuhi kebutuhan primernya, juga pemenuhan
kebutuhan biologisnya.
Semua itu wajib dipenuhi oleh suami.
Adapun kebutuhan selain itu, seperti biaya pengobatan dan pengadaan
pembantu rumah tangga, terdapat silang pendapat di kalangan ulama.
Mayoritas ahli fiqh berpendapat, biaya pengobatan isteri tidak wajib
bagi suami.
Demikian juga dengan pengadaan pembantu rumah tangga,
tidak wajib bagi suami, kecuali jika hal itu (memberikan pembantu
rumah tangga) sudah menjadi satu hal yang lumrah dalam keluarga sang
isteri, ataupun di kalangan keluarga-keluarga lain di kaumnya.
Namun yang penting harus diperhatikan, pengadaan pembantu rumah
tangga ini juga tidak terlepas dari kesanggupan suami untuk
memenuhinya.
Jika tidak mampu memberikan pembantu rumah tangga untuk
isterinya, maka tidak wajib bagi suami untuk mengadakannya, karena
Allah tidak membebani seseorang di luar kesanggupannya.
Ada satu kisah menarik yang bisa dijadikan pelajaran bagi para isteri.
Fathimah binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
mengadu kepada ayahnya tentang luka-luka di tangannya yang
dikarenakan pekerjaannya berkhidmah kepada suami. Wanita mulia ini
mendengar, telah datang seorang budak kepada Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam.
Namun saat itu Fathimah tidak menjumpai Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Akhirnya Fathimah menceritakan hal
itu kepada ‘Aisyah. Ketika Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
datang, ‘Aisyah menceritakan pengaduan Fathimah kepada Beliau.
Ali berkata: Ketika Beliau datang mengunjungi kami, dan pada saat itu
kami bersiap-siap hendak tidur.
Kami pun bangun mendengar kedatangan
Beliau, namun Beliau berkata,"Tetaplah kalian berdua di tempat
kalian.” Beliau datang dan duduk diantara aku dan Fathimah, hingga
aku bisa merasakan dinginnya kedua telapak tangan Beliau di perutku.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Maukah kutunjukkan kepada kalian berdua sesuatu yang
lebih baik daripada yang kalian berdua minta? Jika kalian hendak
tidur, maka ucapkanlah tasbih tiga puluh tiga kali, tahmid tiga puluh
tiga dan takbir tiga puluh empat kali. Itu lebih baik bagi kalian
daripada seorang pelayan.[9]
Ali berkata,”Sejak saat itu aku tidak pernah meninggalkannya.” Dia
(Ali) ditanya,”Juga pada malam perang Shiffin?” Ali menjawab,”Juga
pada malam perang Shiffin.”
TEKNIS PEMBERIAN NAKAH KELUARGA DAN KADARNYA
Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar membawakan penjelasan ulama ketika menjelaskan teknis pemenuhan nafkah keluarga.
Hal yang telah diketahui oleh kaum muslimin, baik dulu maupun sekarang,
bahwa suami wajib memberi nafkah untuk dirinya dan keluarganya,
menyediakan segala hal yang dibutuhkan oleh isteri serta anak-anaknya.
Kebiasaan manusia pada umumnya tidak mengharuskan suami memberikan
nafkah setiap hari, baik harta (uang) ataupun makanan, pakaian dan
yang sejenisnya (artinya pemenuhan tersebut bersifat fleksibel,
sesuai dengan tuntutan kebutuhan keluarga, Pen).
Demikian juga
teknis pemenuhan ini, tidak disandarkan kepada kadar nafkah serta
(tidak pula) mewajibkan suami memberikan nafkah secara taradhin
(saling ridha), ataupun berdasarkan keputusan hakim; kecuali jika
terjadi perselisihan di antara suami-isteri yang disebabkan suami
tidak memberikan nafkah kepada keluarga karena kekikirannya, atau
karena kepergiannya atau pun karena ketidaksanggupannya memberi
nafkah.
Maka pada kondisi seperti ini, pemenuhan nafkah keluarga
disandarkan kepada hukum secara suka sama suka (taradhin) atau
berdasarkan keputusan hakim.”[10]
Dari penjelasan di atas, dapatlah diambil kesimpulan, pemenuhan nafkah
isteri ini dilaksanakan secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan
keluarganya.
Artinya, sang suami boleh memberikan sejumlah harta serta
hal-hal lain yang dibutuhkan keluarganya, secara per hari, per pekan
ataupun per bulan dengan kadar yang disanggupinya, sebagai nafkah
bagi keluarganya.
Tentang masalah kadar nafkah ini, sebenarnya terdapat silang pendapat
diantara para ulama.
Siapakah yang menjadi barometer untuk menentukan
kadar nafkah tersebut.....? keadaan isteri atau keadaan suami, ataukah
keadaan keduanya?
Ulama dari kalangan Hanabilah berpendapat, kadar nafkah diukur sesuai
dengan kondisi suami-isteri. Jika keduanya termasuk golongan yang
dimudahkan rizkinya oleh Allah (artinya sama-sama berasal dari keluarga
berada), maka wajib bagi suami memberi nafkah dengan kadar yang
sesuai dengan keadaan keluarga mereka berdua.
Jika keduanya berasal
dari keluarga miskin, maka kewajiban suami memberi nafkah sesuai
dengan keadaan mereka.
Namun, jika keduanya berasal dari keluarga
yang berbeda tingkat ekonominya, maka kewajiban suami adalah
memberikan nafkah sesuai dengan kadar keluarga kalangan menengah.[11]
Sedangkan para ulama kalangan Hanafiah, Malikiyah dan Syafi’iyyah
berpendapat, barometer yang dijadikan acuan untuk menentukan kadar
nafkah yang wajib diberikan suami adalah keadaan suami itu sendiri,
berdasarkan firman Allah Ta’ala.
"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi
nafkah dari apa yang telah Allah karuniakan kepadanya. Allah tidaklah
memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang
telah Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan
kelapangan setelah kesempitan". [Ath Thalaq : 7]
Pendapat ini diperkuat dengan penafsiran Imam Ibnu Katsir tentang makna lafazh (بِالْمَعْرُوفِ) pada ayat berikut.
"Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik". [Al Baqarah : 233]
Ibnu Katsir berkata,”Yakni sesuai dengan keadaan umum yang diterima
kalangan para isteri di negeri mereka, tanpa berlebih-lebihan ataupun
pelit, sesuai dengan kesanggupannya dalam keadaan mudah, susah
ataupun pertengahan.”
Dalil lain yang memperkuat pendapat mereka ialah firmanNya Azza wa Jalla.
"Dan hendaklah kamu berikan suatu pemberian kepada
mereka. Orang yang mampu sesuai dengan kemampuannya dan orang yang
miskin sesuai dengan kemampuannya pula, yaitu pemberian menurut yang
patut". [Al Baqarah:236].
FirmanNya Azza wa Jalla.
"Tidaklah Allah membebani seseorang melainkan sesuai dengan kadar kesanggupannya". [Al Baqarah : 286]
Ayat-ayat di atas telah menjadikan beban taklif (kewajiban) memberi nafkah sesuai dengan kadar kesanggupan suami.
NAFKAH ISTERI DALAM KONDISI YANG BERBEDA
Secara umum, isteri memiliki hak nafkah dari suaminya. Namun terkadang,
ada beberapa kondisi yang membuat sang isteri kehilangan haknya
tersebut.
Berikut ini adalah penjelasan sebagian kondisi tersebut.
1). Nafkah Bagi Isteri Yang Bekerja Di Luar Rumah.
Sebagian ulama fiqh kontemporer berpendapat, isteri yang bekerja (di
luar rumah) tetap berhak mendapat nafkah dari suaminya, jika ia
bekerja dengan izin dari suaminya.
Namun apabila ia bekerja tanpa
mendapat izin dari suaminya, maka ia tidak berhak mendapatkan
nafkah.
Tentang hal ini, ketika menjelasan alasan, mengapa isteri yang bekerja
di luar rumah tidak mendapat nafkah, Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar
berkata,”Pendapat yang benar adalah, wanita yang bekerja tidak berhak
mendapat nafkah.
Karena suami mampu mencegahnya dari bekerja dan
keluar dari rumah (dengan mencukupi nafkahnya), dan (menetapnya
isteri di rumah suami) merupakan hak suaminya.
Kewajiban suami
memberi nafkah kepada isteri disebabkan karena status isteri yang
menjadi tawanan suaminya dan ia wajib meluangkan waktunya untuk
suaminya.
Jika sang isteri bekerja (tanpa izin suaminya) dan
mendapatkan uang, maka sebab yang menjadikan suami wajib memberikan
nafkah kepadanya telah gugur.” [13]
2). Nafkah Isteri Yang Durhaka Kepada Suaminya (Nusyuz).
Jika sang isteri berbuat durhaka kepada suaminya, seperti menolak untuk
tidur bersama, keluar dari rumah suami tanpa seizinnya, atau
menolak bepergian bersama suaminya, maka sang isteri tidak berhak
mendapat nafkah serta tempat tinggal.
Demikian ini pendapat jumhur
Ahli Ilmu, seperti: Asy Sya’bi, Hammad, Malik, Al Auza’i, Syafi’i,
serta Abu Tsaur. Sedangkan Al Hakam berpendapat, isteri yang nusyuz
tetap berhak mendapat nafkah.
Ibnu Al Mundzir berkata,”Aku tidak mengetahui seorang pun yang
menyelisihi pendapat jumhur ini, kecuali Al Hakam.
Sepertinya ia
berhujjah bahwa kedurhakaan seorang isteri tidak menggugurkan haknya
untuk mendapatkan mahar setelah adanya akad, maka demikian pula dalam
hal nafkah.”
Ibnu Abdil Barr mensyaratkan nusyuz yang menggugurkan hak isteri untuk
mendapat nafkah, yaitu bila tidak disertai kehamilan sang isteri. Ia
berkata,”Istri yang durhaka kepada suaminya setelah ia dicampuri,
gugurlah kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepadanya, kecuali
jika ia hamil.”
Tentang pernyataan ini, Dr Umar Sulaiman Al Asyqar berkata,”Dan ini
adalah pensyaratan yang shahih, karena nafkah yang diberikan kepada
isteri yang hamil tersebut adalah untuk anaknya.
Dan hal itu tidak
mungkin tersampaikan kepada anak, kecuali dengan memberi nafkah kepada
isterinya (ibu sang bayi)."[14]
3). Nafkah Bagi Isteri Yang Dicerai.
Berdasarkan kesepakatan para ulama, perlu diperhatikan beberapa catatan penting menyangkut nafkah isteri yang dicerai.[15]
Jika isteri dicerai sebelum terjadinya persetubuhan, maka sang isteri
tidak berhak mendapat nafkah, karena tidak ada masa iddah baginya,
bedasarkan firman Allah Azza wa Jalla.
"Hai orang-orang yang beriman apabila kamu menikahi
wanita-wanita beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu
yang kamu minta untuk menyempurnakannya". [Al Ahzab : 49].
Wajib atas suami memberikan nafkah kepada isteri yang dithalak raj’i [16].
Ibnu Abdil Barr berkata,”Tidak ada perselisihan diantara ulama, bahwa
wanita yang dithalak raj’i berhak mendapat nafkah dari suaminya,
baik mereka dalam keadaan hamil ataupun tidak; karena mereka masih
berstatus sebagai isteri yang berhak mendapat nafkah, tempat tinggal
serta harta warisan selama mereka dalam masa ‘iddah.”
Wanita hamil yang dithalak ba’in [17] ataupun yang suaminya meninggal,
wajib diberikan nafkah sampai ia melahirkan anaknya, berdasarkan
firman Allah Azza wa Jalla.
"Dan jika mereka (isteri-isteri yang dicerai itu)
sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka
melahirkan". [Ath Thalaq : 6].[18]
Jadi wanita yang dithalak ba’in dalam keadaan hamil, ia berhak
mendapatkan nafkah karena sebab kehamilannya tersebut, (bukan karena
‘iddahnya) sampai ia melahirkan.
Dan jika sang isteri menyusui anak suaminya tersebut setelah dicerai,
maka ia berhak mendapat upah, berlandaskan firman Allah Azza wa
Jalla.
"Maka jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu, maka
berikanlah mereka upahnya, dan musyawarahkanlah segala sesuatudengan
baik". [Ath Thalaq : 6]
Sebagaimana dikatakan oleh Imam Adh Dhahak,”Jika sang suami mencerai
isterinya, dan ia memiliki anak dari isterinya itu, kemudian isterinya
tersebut menyusui anaknya, maka sang isteri berhak mendapat nafkah
dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.”[19]
Adapun jika sang isteri tidak sedang hamil (ketika dithalak ba’in), maka ia tidak berhak mendapat nafkah dari suaminya.
Berdasarkan hadits dari Fatimah binti Qais, ketika ia diceraikan
suaminya. Kemudian ketika ia meminta nafkah, suaminya menolak
memberinya. Akhirnya ia meminta fatwa kepada Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam tentang hal ini. Maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda.
"Tidak ada lagi kewajiban atas suamimu untuk memberimu nafkah dan tempat tinggal". [20]
JIKA SUAMI TIDAK MAMPU MEMBERI NAFKAH
Imam As Sarkhasi berkata,”Setiap wanita telah ditetapkan untuknya
bagian dari nafkah atas suaminya. Baik suaminya masih muda, tua
ataupun suaminya miskin dan tidak mampu untuk memberi nafkah, maka
(ketika itu) ia (isteri) diperintahkan untuk menghutangi suaminya,
(yakni nafkah yang belum ia terima menjadi hutang suaminya yang harus
ia tunaikan kepada isterinya. Kemudian hendaklah ia kembali kepada
suaminya, dan hakim tidak boleh menahannya, jika ia mengetahui
ketidakmampuannya untuk memberi nafkah kepada isterinya.”
Sedangkan ulama kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah
berpendapat, isteri diberi pilihan untuk tetap bersama suami dalam
kemiskinannya itu atau bercerai dari suaminya, dan suami tidak dibebani
kewajiban untuk memberi nafkah selama ia tidak mampu.
Mengenai nafkah yang terhutang, apakah tetap menjadi hutang tanggungan suaminya selama ia berada dalam masa sulitnya?
Dalam masalah ini terdapat perselisihan di kalangan ulama. Ulama
kalangan madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat, bahwa nafkah
tersebut tetap menjadi hutang tanggungan suami.
Sedangkan ulama madzhab
Malikiyah berpendapat, gugurnya kewajiban memberi nafkah tersebut
disebabkan ketidakmampuan suami.[21]
HUKUM SUAMI YANG MEMINTA KEMBALI NAFKAH YANG TELAH IA BERIKAN
Apabila seorang suami telah memberikan nafkah kepada isterinya,
kemudian ia menceraikan isterinya tersebut atau ia meninggal, maka
seorang suami tidak boleh meminta kembali nafkah yang telah
diberikannya.
Imam An Nawawi menjelaskan,”Jika sang isteri telah mendapat nafkah,
kemudian isteri tersebut meninggal pada pertengahan hari, maka tidak
boleh (bagi suami) untuk meminta kembali nafkah yang telah
diberikannya tersebut.
Akan tetapi harta isterinya tersebut
dibagi-bagikan kepada ahli waris yang berhak menerima.
Dan jika
isteri meninggal, atau ia dithalaq ba’in oleh suaminya pada
pertengahan hari, sedangkan dia pada awal hari tersebut (sebelum ia
meninggal atau dithalaq) belum mendapatkan nafkah dari suaminya,
maka nafkah tersebut menjadi hutang suami yang wajib ia
tunaikan.”[22]
ANCAMAN BAGI SUAMI YANG BAKHIL
Tentang suami yang bakhil ini, telah datang banyak nash yang memuat
ancaman baginya. Diantaranya ialah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam berikut.
"Cukuplah sebagai dosa bagi suami yang menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya."[23]
Juga sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Tidaklah para hamba berada dalam waktu pagi, melainkan ada dua
malaikat yang turun. Salah satu dari mereka berdoa,”Ya, Allah.
Berikanlah kepada orang yang menafkahkan hartanya balasan yang lebih
baik,” sedangkan malaikat yang lain berdoa,”Ya, Allah. Berikanlah
kebinasaan kepada orang yang menahan hartanya (tidak mau
menafkahkannya).”[24]
Bakhil dan kikir adalah sifat tercela yang dilarang Allah Azza wa
Jalla. Allah Azza wa Jalla telah memberikan ancaman berupa
kebinasaan dan dosa bagi suami yang tidak mau memenuhi nafkah
keluarganya, padahal ia mampu untuk memberinya.
Hal ini bisa kita
fahami, karena memberi nafkah keluarga adalah perintah syari’at yang
wajib ditunaikan suami. Apabila seorang suami bakhil dan tidak mau
memenuhi nafkah anak serta isterinya, berarti ia telah bermaksiat
kepada Allah dengan meninggalkan kewajiban yang Allah bebankan
kepadanya, sehingga ia berhak mendapat ancaman siksa dari Allah.
Wal’iyadzu billah.
Demikianlah sebagian ulasan berkenaan kewajiban suami, yang menjadi
pilar diantara pilar-pilar rumah tangga.
Semoga Allah Azza wa Jalla
senantiasa membimbing kaum muslimin seluruhnya, sehingga mampu
menjalankan setiap kewajiban secara konsekwen sesuai tuntunan syari’at,
untuk mewujudkan cita-cita rumah tangga sakinah, mawaddah wa rahmah.
Amin, Allahumma, Amin.