Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan
kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup.
Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam
kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat,
dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya (QS Al-Baqarah
[2]: 217).
Aqidah merupakan perkara amat penting.
Status seseorang, menjadi mukmin atau
kafir, ditentukan oleh aqidah yang diyakininya.
Sementara status tersebut memberikan implikasi amat besar bagi pelakunya, di dunia maupun di akhirat.
Nasibnya amat kontras satu sama lain.
Jika orang mukmin bisa berharap atas amal kebaikan yang dikerjakannya selama di dunia, tidak demikian dengan orang kafir.
Semua amalnya dipastikan terhapus dan sia-sia.
Bagi orang yang beriman dan beramal shaleh disediakan surga yang penuh kenikmatan, sedangkan orang kafir dijadikan sebagai penghuni kekal di neraka.
Mereka Berusaha Memurtadkan
Sementara status tersebut memberikan implikasi amat besar bagi pelakunya, di dunia maupun di akhirat.
Nasibnya amat kontras satu sama lain.
Jika orang mukmin bisa berharap atas amal kebaikan yang dikerjakannya selama di dunia, tidak demikian dengan orang kafir.
Semua amalnya dipastikan terhapus dan sia-sia.
Bagi orang yang beriman dan beramal shaleh disediakan surga yang penuh kenikmatan, sedangkan orang kafir dijadikan sebagai penghuni kekal di neraka.
Mereka Berusaha Memurtadkan
Allah Subhanaahu Wa Ta'ala berfirman: wa lâ yazâlûna yuqâtilûnakum (mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu).
Ayat ini diawali dengan penjelasan mengenai kedudukan perang
di bulan haram.
Dijelaskan bahwa berperang di bulan tersebut memang tidak diperbolehkan (catatan: ketentuan ini akhirnya dinasakh dengan perintah memerangi kaum kafir secara mutlak).
Dijelaskan bahwa berperang di bulan tersebut memang tidak diperbolehkan (catatan: ketentuan ini akhirnya dinasakh dengan perintah memerangi kaum kafir secara mutlak).
Akan tetapi, menghalangi manusia dari
jalan Allah dan kafir kepada-Nya, mencegah manusia masuk ke Masjid al-Haram,
dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, dosanya jauh lebih besar.
Penjelasan
ini menjadi pukulan telak bagi kaum Musyrik yang sebelumnya melem-parkan opini
buruk tentang umat Islam.
Jika mereka mencela umat Islam karena menumpahkan
darah di bulan haram, maka apa yang mereka lakukan jauh lebih berat dosanya.
Sehingga merekalah yang sesungguhnya layak dicela.
Kemudian ayat ini memberitakan permusuhan abadi kaum terhadap kaum Muslim.
Kemudian ayat ini memberitakan permusuhan abadi kaum terhadap kaum Muslim.
Permusuhan itu sebagaimana dijelaskan dalam frase sebelumnya itu dilatari
oleh persoalan aqidah.
Mereka tidak menginginkan manusia memeluk agama-Nya.
Karena itu yang menjadi pangkal penyebabnya, mereka akan terus menerus
memerangi umat Islam hingga murtad dari agama-Nya.
Allah Subhanaahu Wa Ta'ala berfirman: hattâ
yaruddûkum 'an dînikum in [i]stathâ'û (sampai mereka [dapat] mengembalikan kamu
dari agamamu [kepada kekafiran], seandainya mereka sanggup).
Kata hattâ mengandung mafhûm ghâyah, batas akhir. Itu artinya, mereka baru berhenti memerangi umat Islam tatkala telah murtad dari agamanya.
Kata hattâ mengandung mafhûm ghâyah, batas akhir. Itu artinya, mereka baru berhenti memerangi umat Islam tatkala telah murtad dari agamanya.
Sedangan kata
in [i]stathâ'û memberikan pengertian bahwa mereka tidak akan mampu melakukannya
walaupun telah mengerahkan seluruh kemampuan mereka.
Sebagaimana dituturkan Abdur-rahman al-Sa'di, sifat demikian berlaku umum bagi setiap kaum kafir.
Dalam QS al-Anfal [8]: 36 disebutkan bahwa orang-orang kafir
menafkahkan harta mereka untuk menghalangi manusia dari jalan Allah. Kaum
Yahudi dan Nasrani diberitakan juga tidak akan ridha selama umat Islam belum
mengikuti agama mereka (QS al-Baqarah [2]: 120).
Oleh karena itu, apabila
mereka dituruti akan mengantarkan kepada kekufuran. Allah Subhanaahu Wa Ta'ala berfirman:
Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu
kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri
mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran (QS al-Baqarah [2]: 109).
Terhapus Amalnya
Setelah memberitakan kejahatan kaum musyrik yang berusaha keras melakukan pemurtadan, Allah Subhanaahu Wa Ta'ala juga mengingatkan kaum Muslim agar jangan sekali-kali mengikuti keinginan mereka.
Terhapus Amalnya
Setelah memberitakan kejahatan kaum musyrik yang berusaha keras melakukan pemurtadan, Allah Subhanaahu Wa Ta'ala juga mengingatkan kaum Muslim agar jangan sekali-kali mengikuti keinginan mereka.
Ancaman terhadap pelaku murtad sangat berat.
Allah Subhanaahu Wa Ta'ala berfirman: Wa man yartadid minkum 'an dînihi fayamut wahuwa kâfir[un]
(barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran).
Seruan ayat ini ditujukan kepada kaum Muslim.
Sehingga, kata dînihi (agamanya)
di sini merujuk kepada Islam.
Artinya, mereka telah keluar dari Islam menjadi
kafir. Sebagai konsekuensinya, semua yang berkait dengan status kafir juga
melekat padanya. Termasuk dengan semua amal yang dikerjakan.
Allah Subhanaahu Wa Ta'ala berfirman: faulâika habithat a'mâluhum fî al-dunyâ wa al-âkhirah (maka mereka
itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat).
Menurut al-Syaukani, kata habitha berarti bathala (batal, sia-sia).
Sementara
a'mâluhum di sini merujuk kepada semua amal kebaikan yang telah dilakukan
selama masih menjadi Muslim.
Syarat diterimanya amal adalah Muslim (lihat QS
Ali Imran [3]: 85).
Maka ketika murtad, semua amal pelakunya menjadi tertolak.
Tak hanya itu, seluruh amal yang sudah dikerjakan semasa memeluk Islam pun
turut terhapus.
Makna terhapus amalnya di dunia, menurut al-Khazin dan al-Naisaburi, bahwa orang murtad itu dibunuh, dipisahkan dari pasangannya, tidak berhak atas waris dari kerabatnya yang Muslim, tidak berhak ditolong ketika meminta tolong, tidak boleh mendapatkan pujian, dan hartanya dijadi-kan sebagai fay' bagi kaum Muslim.
Sedangkan terhapus amalnya di akhirat berarti dia tidak memperoleh pahala sedikit pun atas amal kebaikan yang telah dikerjakan.
Selain ayat ini, ketentuan ini disebutkan dalam banyak ayat, seperti firman Allah Subhanaahu Wa Ta'ala : Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi (TQS al-Maidah [5]: 5).
Penegasan serupa juga disampaikan dalam beberapa ayat lainnya, seperti QS al-A'raf [7]: 147, Muhammad [47]: 2, al-Taubah [9]: 17 dan 69..
Kekal di Neraka
Di samping seluruh amalnya terhapus, pelaku murtad juga akan ditimpa dengan azab yang amat dahsyat, yakni neraka selama-lamanya.
Allah Subhanaahu Wa Ta'ala berfirman: Wa
ulâika ashhâb al-nâr hum fîhâ khâlidûn (dan mereka itulah penghuni neraka,
mereka kekal di dalamnya).
Selain ayat ini, banyak ayat yang memberitakannya,
seperti firman Allah Subhanaahu Wa Ta'ala :
Mereka itu, balasannya ialah: bahwasanya laknat Allah
ditimpakan kepada mereka, (demikian pula) laknat para malaikat dan manusia
seluruhnya, mereka kekal di dalamnya, tidak diringankan siksa dari mereka, dan
tidak (pula) mereka diberi tangguh (QS Ali Imran [3]: 87-88).
Frasa wahuha kâfir (dalam keadaan kafir) menghasilkan taqyîd (pembatasan).
Bahwa ketentuan itu berlaku tatkala pelakunya mati dalam keadaan kafir.
Apabila
mereka sempat bertaubat sebelum mati, maka tidak tercakup dalam ketentuan ayat
ini.
Sebagaimana disebutkan dalam QS Ali Imran [3]: 90, ancaman siksa yang amat
dahsyat bagi orang yang murtad itu dikecualikan bagi orang-orang yang bertobat
dan mengadakan perbaikan.
Jelaslah aqidah merupakan perkara yang amat penting. Iman merupakan kenikmatan paling besar yag harus dijaga, dipelihara, dan dipupuk.
Sebab, iman menjadi
bekal utama untuk mendapatkan kenikmatan yang jauh lebih besar, yang pernah
dirasakan selama di dunia, surga dan ridha-Nya.
Sebaliknya, lepasnya iman
menjadi sebab bagi lenyapnya semua kenikmatan.
Bahkan menyebabkan pelakunya
ditimpa dengan azab yang maha dahsyat dan tiada tepi. Na'ûdzu bil-Lâh min
dzâlika.
Bertolak dari paparan di atas, jangan sampai kita melepaskan aqidah dengan hanya untuk mendapatkan harta, jabatan, atau pasangan.
Semua itu tidak ada
artinya jika dibandingkan dengan kenikmatan surga yang tiada tara dan siksa
neraka yang maha dahsyat.
Wal-Laâh a'lam bi al-shawâb.