Hikmah Tertutupnya Tabir Alam Ghaib bagi Umat Manusia
Para pembaca, tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala memutuskan dan
menentukan suatu perkara kecuali (pasti) selalu ada hikmah di baliknya.
Demikian pula halnya dengan alam ghaib, yang tabirnya tertutup bagi
umat manusia.
Di antara hikmahnya adalah sebagai ujian bagi umat
manusia, apakah mereka termasuk orang yang beriman dengan perkara ghaib
yang Allah dan Rasul-Nya beritakan tersebut, ataukah justru
mengingkarinya....?!
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata:
“Bahwasanya alam
barzah (kubur) termasuk perkara ghaib yang tidak bisa dijangkau oleh
panca indera. Jika bisa dijangkau oleh panca indera, niscaya tidak ada
lagi fungsi keimanan terhadap perkara ghaib (yang Allah dan Rasul-Nya
beritakan, -pen.), dan tidak ada lagi perbedaan antara orang-orang yang
mengimaninya dengan yang mengingkarinya.” (Syarh Tsalatsatil Ushul,
hal. 109)
Di antara hikmahnya pula adalah untuk keseimbangan hidup umat manusia
antara suka dan duka, cemas dan harapan di dalam mengarungi kehidupan
dunia ini. Cobalah anda renungkan, bagaimanakah jika seandainya setiap
orang mengetahui semua yang akan terjadi? Tentu kehidupannya akan
sangat kacau dan tidak mendapatkan ketentraman.
Bagaimana tidak....?!
Ketika seseorang mengetahui dengan pasti bahwa akhir hidupnya adalah
menderita, baik karena ditimpa penyakit kronis, kecelakaan, dibunuh,
dan lain sebagainya.
Tentu hidupnya akan diselimuti dengan duka dan
kecemasan. Si sakit misalnya, ketika mengetahui dengan pasti bahwa dia
akan mati karena sakitnya itu (dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala)
dan tidak ada lagi harapan untuk hidup, tentunya keputus-asaanlah yang
selalu merundungnya.
Akan tetapi ketika dia tidak mengetahuinya dengan
pasti, maka harapan untuk menikmati hari esok masih terbentang di
hadapannya dan proses pengobatan pun akan selalu diupayakannya.
Ketika umat manusia mengetahui segala yang terjadi di alam ghaib,
bisa melihat malaikat dan jin (setan) dalam wujud aslinya, bisa
mengetahui orang-orang yang diadzab di kubur dan sejenisnya, niscaya
ketenangan hidup tidak akan didapatkannya.
Demikian pula ketika
masing-masing orang mengetahui dengan pasti apa yang tersimpan di hati
selainnya, maka kehidupan ini akan terasa sebagai belenggu yang
memberatkan.
Karena berbagai keburukan yang ada pada hati masing-masing
orang dapat dirasakannya.
Di lain kondisi, ketika seseorang mengetahui dengan pasti bahwa dia
selalu beruntung, niscaya hal itu bisa menjadikan dia sombong dan
bersikap semena-mena terhadap sesamanya.
Tidaklah Allah menutup tabir
rahasia alam ghaib kepada kita, kecuali karena kasih sayang dan
kebijaksanaan-Nya yang tiada tara. Sehingga sudah seharusnya bagi kita
untuk mensyukuri apa yang ditentukan-Nya tersebut.
Fenomena Umat tentang Alam Ghaib
Para pembaca, tentunya anda sering mendengar info seputar alam ghaib
dan berbagai peristiwanya.
Lebih-lebih belakangan ini, ketika ‘misteri
alam ghaib’ benar-benar dipromosikan dan dijadikan ajang komoditi
bisnis yang cukup menjanjikan.
Dengan sekian bumbu klenik dan racikan
mistiknya, maka tersajilah aneka menu yang kental dengan bau syirik dan
khurafat.
Tak luput…akhirnya televisi, surat kabar, dan media
cetak/elektronik lainnya pun menjadi publik mediator modernnya.
Sementara di lain pihak, ada orang-orang yang mengingkari perkara
ghaib.
Dasar pemikiran mereka bertumpu pada keilmuan (baca: akal) semata
tanpa mempedulikan norma-norma keimanan.
Nyaris, sikap mengedepankan
akal daripada dalil sam’i baik dari Al-Qur`an maupun hadits Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi simbol mereka. Tak pelak, akhirnya
terjerumus pula ke dalam jurang kesesatan dikarenakan pengingkaran
mereka terhadap perkara-perkara ghaib yang telah diberitakan Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya tersebut.
Mereka terbagi menjadi tiga
kelompok3:
1. Orang-orang yang mengingkari semua perkara ghaib, termasuk adanya
Allah Subhanahu wa Ta’ala Pencipta alam semesta ini. Mereka adalah kaum
atheis (komunis) dari kalangan Dahriyyah (yang menyatakan bahwa alam
semesta ini tercipta dengan sendirinya, -pen.).
Demikian pula
orang-orang yang menapak jejak mereka dari kalangan atheis Sufi semacam
Ibnu Arabi At-Tha`i penulis kitab Fushusul Hikam dan cs-nya yang
mengklaim bahwa wujud ini hanya satu, dan hakekat wujud Allah adalah
semua yang ada di alam semesta ini (yakni menyatu dengan makhluk), yang
hakekat dari pemikiran tersebut adalah peniadaan Dzat Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
Kemudian mereka campakkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan apa yang beliau bawa, dengan suatu estimasi bahwa kewalian
lebih baik dari kenabian dan khatimul auliya` (penutup para wali) lebih
utama dari khatimul anbiya` (penutup para Nabi), bahkan dari semua
Nabi.
2. Ahlul wahmi wat takhyil, yaitu orang-orang yang menyatakan
bahwasanya para Nabi telah memberitakan tentang Allah Subhanahu wa
Ta’ala, hari kiamat, surga dan neraka, bahkan malaikat, dengan gambaran
yang tidak sesuai dengan kenyataannya.
Para Nabi tersebut menggambarkan
kepada manusia (tentang semua itu) dari khayalan mereka; bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala bertubuh besar, tubuh manusia akan dibangkitkan di
hari kiamat, manusia akan mendapat kenikmatan dan merasakan adzab,
padahal kenyataannya tidak demikian.
Kedustaan ini, mereka (para Nabi)
lakukan demi kamashlahatan umat, karena tidak ada cara yang lebih
mendatangkan mashlahat dalam mendakwahi mereka kecuali dengan cara
tersebut. Inilah pemikiran Ibnu Sina dan yang sejalan dengannya.
3. Ahlut tahrif wat ta`wil, yaitu orang-orang yang menyatakan
bahwasanya para Nabi tidaklah memaksudkan (baca: memberitakan) kecuali
sesuatu yang memang benar adanya, hanya saja kenyataan yang sebenarnya
dari semua itu adalah apa yang bisa dijangkau oleh akal.
Inilah
pemikiran ahli kalam dan selainnya dari kalangan Mu’tazilah,
Kullabiyyah, Salimiyyah, Karramiyyah, Syi’ah dll.
Dari sini, jelaslah bagi kita bahwa sikap mengedepankan akal atas
dalil sam’i baik dari Al-Qur`an maupun hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam permasalahan semacam ini tidak bisa dibenarkan, bahkan
sangat berbahaya. Asy-Syahrastani berkata: “Ketahuilah, bahwasanya
syubhat pertama yang menimpa makhluk adalah syubhat iblis
-la’natullah-.
Pemicunya adalah mengedepankan akal daripada nash, dan
mengekor hawa nafsu untuk menentang perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala
serta kesombongannya terhadap bahan yang Allah ciptakan darinya (yakni
api) atas bahan yang Allah ciptakan darinya Adam ‘alaihissalam (tanah
liat).” (Al-Milal wan Nihal, hal. 14)
Bahkan perumpaan akal yang ‘didewakan’ itu; “Laksana fatamorgana di
tanah yang datar, yang disangka air oleh orang yang dahaga, tetapi bila
didatangi ‘air itu’, dia tidak mendapatinya sedikit pun Dan didapatinya
(ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya
perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat
perhitungan-Nya. Atau laksana kegelapan yang gulita di lautan yang
dalam, yang diliputi oleh ombak, dan di atasnya ombak (pula), di atasnya
(lagi) awan; gelap gulita yang tindih bertindih. Apabila dia
mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa
yang tiada diberi petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala tiadalah dia
mempunyai cahaya sedikit pun.” (An-Nur: 39 dan 40)
Hal ini sebagaimana pengakuan Abu Abdillah Ar-Razi, salah seorang tokoh mereka (Mu’tazilah):
Kesudahan mengedepankan akal adalah belenggu.4
Dan kebanyakan upaya (hasil pemikiran) para intelek itu adalah kesesatan
Ruh-ruh kami terasa amat liar di dalam tubuh-tubuh kami
Dan hasil dari kehidupan dunia kami adalah gangguan dan siksaan (batin)
Tidaklah didapat dari penelitian yang kami lakukan sepanjang masa
Melainkan kumpulan statemen-statemen (yang tak menentu)
Aku (Ar-Razi) telah memperhatikan dengan seksama berbagai seluk-beluk
ilmu kalam dan metodologi filsafat, maka kulihat semua itu tidaklah
dapat menyembuhkan orang yang sakit dan tidak pula memuaskan orang yang
dahaga, dan (ternyata) metode yang paling tepat adalah metode
Al-Qur`an.” (Lihat Dar`u Ta’arudhil Aqli Wan Naqli, karya Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah 1/160)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Engkau akan mendapati
kebanyakan para intelek di bidang ilmu kalam, filsafat dan bahkan
tasawuf, yang tidak mengindahkan apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, sebagai orang-orang yang bingung. Sebagaimana yang
dikatakan Asy Syahrastani:
“Sungguh aku telah keliling ke ma’had-ma’had (filsafat) tersebut
Dan seluruh pandanganku tertuju kepada mercusuar-mercusuarnya
Namun, tak kulihat padanya kecuali orang yang bingung sambil bertopang dagu
Dan orang yang menyesal sambil menggemertakkan giginya.”
(Dar`u Ta’arudhil Aqli Wan Naqli, 1/159)
Bersambung Bagian #3