Sedih
dan pilu adalah sebuah kondisi yang tidak dapat dihindari oleh setiap
manusia. Setiap manusia sepanjang hidupnya berulang-ulang merasakannya.
Sedih dan nestapa secara mutlak tidak tertolak dari sudut pandang
al-Qur’an, melainkan terkadang ideal dan pada sebagian urusan tidak
ideal dan tiadanya kesedihan merupakan salah satu sifat wali Allah.
Ayat-ayat al-Qur’an tidak menafikan inti kesedihan dan kepiluan
melainkan apa yang dinafikan atau dipuji pada ayat-ayat al-Qur’an adalah
sebab-sebab dan faktor-faktor kesedihan dan nestapa yang menjadikan
konsekuensi kesedihan dan kepiluan itu adalah terpuji atau tercela.
Jawaban Detil
Manusia
adalah sebuah entitas dan makhluk multi dimensional. Salah satu dimensi
eksistensialnya adalah dimensi afeksi dan perasaan. Dengan dimensi ini
manusia terkadang merasakan kegembiraan dan keceriaan. Terkadang
terkejut dan takut. Terkadang juga lantaran beberapa faktor, dirundung
kesedihan dan kepiluan.
Sedih
dan pilu merupakan sebuah kondisi yang terdapat pada seluruh manusia.
Setiap orang merasakan kesedihan dan kepiluan sepanjang hidupnya.
Sebagian orang dengan peristiwa sekecil apa pun atau kehilangan sesuatu
akan dirundung kesedihan dan kepedihan. Sebagian lainnya mampu menahan
kesedihan dan kepedihannya. Sebagian lainnya berada pada tataran untuk
memenuhi tujuan-tujuan transendental kemanusiaan.
Untuk
penjelasan lebih jauh harus dikatakan bahwa kesedihan dan kepiluan
secara mutlak tidak tertolak dan tertampik menurut al-Qur’an dan
riwayat-riwayat Ahlulbait As. Sebaliknya pada sebagian perkara sifatnya
ideal dan sebagian lainnya tidak ideal dan tiadanya kedua hal ini
merupakan salah satu sifat para wali Tuhan.
Ayat-ayat
al-Qur’an tidak menafikan inti kesedihan dan kepiluan karena kesedihan
dan kepiluan sebagaimana yang kami sebutkan di atas adalah satu kondisi
normal yang muncul pada diri manusia tanpa adanya ikhtiar. Apa yang
dinafikan al-Qur’an adalah sebagian sebab-sebab dan faktor-faktor
kesedihan dan kepiluan yang akan kami sebutkan sebagai berikut sebagai
contoh:
1. Dalam
kisah Rasulullah Saw telah dijelaskan bahwa beliau bersama Khalifah
Pertama hijrah meninggalkan Mekkah menuju Madinah. Keduanya memasuki goa
untuk lari dari kejaran orang-orang musyrik. Rasulullah Saw dengan
memperhatikan kekuatan dan kekuasaan Ilahi yang dimiliki untuk
menenangkan orang yang menyertainya bahwa Allah bersama kita dan
orang-orang musyrik tidak akan dapat menemukan kita. Rasulullah Saw
bersabda, “Jikalau kamu tidak menolongnya
(Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya ketika orang-orang
kafir mengeluarkannya (dari Mekkah) sedang dia salah seorang dari dua
orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu ia berkata kepada
temannya, “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta
kita.” Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada Muhammad dan
membantunya dengan bala tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah
menjadikan seruan orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah
itulah yang tinggi. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Al-Taubah [9]:40) Karena itu engkau harus memiliki keyakinan dan tawakal yang cukup kepada Allah Swt. Kesedihan dan duka cita muncul karena Allah Swt jauh darimu.
2. Dalam kisah Nabi Musa As terkait dengan kesedihan dan duka cita bunda Nabi Musa As, Allah Swt berfirman kepadanya, “Maka Kami mengembalikanmu kepada ibumu, agar senang hatinya dan tidak berduka cita.” (QS. Thaha [20]:40) Pada ayat lain, Allah Swt berfirman kepada bunda Nabi Musa, “Dan
Kami ilhamkan kepada ibu Musa, “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir
terhadapnya, maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu
khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami
akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari
para rasul.” (QS. Qashash [28]:7)
Kesedihan dan kekhawatiran ini kendati boleh jadi bersifat normal dan
natural. Namun, apabila disertai dengan tawakal dan keyakinan kepada
Allah Swt, maka kesedihan, duka cita dan kekhawatiran tidak ada
maknanya. Atas dasar itu, Allah Swt memperingatkan bunda Musa dari
kesedihan dan duka cita seperti ini.
3. Allah Swt menyatakan firman-Nya kepada orang-orang yang mendapat petunjuk (hidayah)[1] dan iman kepada Allah Swt dan hari akhirat serta mengerjakan amal kebaikan[2] atau termasuk bagian dari sahabat dan wali-wali Tuhan[3], atau tergolong orang yang berserah diri kepada Allah Swt, “Iya!
Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat
kebajikan, maka baginya pahala di sisi Tuhan-nya, dan tiada kekhawatiran
terhadap mereka serta tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah [2]:112)[4]
Karena orang-orang yang “memiliki derajat tertinggi iman di dunia dan
memandang dirinya sebagai hamba Tuhan sejati dan tidak meyakini
kepemilikan pada dirinya, tidak memiliki sesuatu dari dirinya sehingga
harus takut kehilangannya atau bersedih hati karenanya; karena takut
bersumber dari hal ini bahwa manusia merasakan kerugian dan kesedihan
memasuki relung hatinya bahwa manusia kehilangan sesuatu yang disenangi
atau berbenturan dengan sesuatu yang tidak senangi. Singkatnya, rasa
takut, kesedihan, duka cita dapat dibayangkan tatkala manusia memandang
dirinya memiliki sesuatu atau merasa berhak atas sesuatu sehingga ia
merasa takut dan bersedih hati.”[5]
Karena itu, kalau orang meyakini bahwa seluruh makhluk dan entitas alam
semesta dan wujudnya sendiri adalah kepunyaan Allah Swt, tentu saja ia
tidak akan memandang dirinya sebagai pemilik sesuatu sehingga harus
bersedih atau bersusah hati kehilangannya. Kondisi
sedemikian ini yang diilustrasikan Allah Swt sebagai wali-Nya dan
orang-orang yang mendapatkan petunjuk (hidayah) serta beramal saleh.
Karena itu, kesedihan dan duka cita dari orang-orang seperti ini mentah
dengan sendirinya, lantaran adanya penolakan faktor penyebab kesedihan
dan duka cita berupa keterikatan dan kebergantungan terhadap
urusan-urusan materi; artinya para wali Allah dan orang-orang beriman,
orang-orang saleh karena tidak memiliki tempat pengaduan selain-Nya,
maka dengan kehilangan urusan-urusan materi mereka tidak akan dirundung
kesedihan dan kesusahan.
Pada
hakikatnya, ayat-ayat ini memberikan kabar gembira kepada orang-orang
beriman dan wali-wali Allah bahwa dalam hal-hal remeh-temeh seperti ini
tiada alasan untuk bersedih dan bersusah hati.
Al-Qur’an
tidak mencela kesedihan dan duka cita yang dialami oleh orang-orang
beriman dan budiman. Misalnya al-Qur’an menyebutkan ucapan Ya’qub yang
terpisah dari putranya yang saleh, Yusuf, “Ya‘qub
menjawab, “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan
dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada
mengetahuinya.” (QS. Yusuf [12]:86) Atau menyatakan, “Dan
Ya‘qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata, “Aduhai
duka citaku terhadap Yusuf”, dan kedua matanya menjadi putih karena
kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya.”
(QS. Yusuf [12]:84) Kita tahu bahwa kesedihan lantaran berpisah dari
Yusuf bukan hanya disebabkan karena jauhnya seorang anak dari ayahnya
melainkan karena Ya’qub tahu bahwa Yusuf merupakan salah seorang nabi
besar Tuhan, orang saleh dan beriman. Perpisahan ini baginya sangat
menyusahkan hatinya dan pada hakikatnya berharap bertemu dengan salah
seorang wali dan nabi Allah Swt. Kesedihan dan kesusahan ini tidak
dicela oleh satu pun ayat dalam al-Qur’an terkait dengan Nabi Ya’qub
karena faktor munculnya kesedihan dan kesusahan sebagaimana yang
disebutkan di atas adalah salah satu faktor Ilahi.
Pada
ayat lainnya Allah Swt mengilustrasikan kondisi sebagian mujahid di
jalan Allah yang memiliki niat berjihad untuk mereguk cawan syahadah,
namun lantaran kurangnya alat tempur dan kendaraan perang mereka
terpaksa menarik mundur pasukannya. Sebagian orang ini kembali dari
medan peperangan dengan perasaan berkecamuk, sedih dan mata mereka penuh
dengan air mata serta hati yang sarat dengan kesedihan dan kesusahan.
Allah Swt berfirman, Dan
tiada (dosa pula) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu
supaya kamu memberi mereka kendaraan, kamu berkata, “Aku tidak
memperoleh kendaraan untuk membawamu.” Lalu mereka kembali, sedang mata
mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak
memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan (di jalan jihad). (QS. Al-Taubah [9]:92)
Kesedihan
dan kesusahan hati ini yang bersumber dari adanya perasaan ingin
berkorban dan berjuang di jalan Allah Swt bukan hanya tidak tercela
melainkan menunjukkan kejujuran dan kebenaran mereka. Kesedihan dan
kesusahan yang tercela adalah karena faktor pemicunya adalah
selain-Ilahi.
Kesimpulannya
adalah bahwa al-Qur’an tidak mencela secara mutlak kesedihan dan
kesusahan atau juga tidak secara mutlak menyokongnya, melainkan
bergantung pada hal-hal yang menyertai dan yang menjadi faktor pemicu
kemunculannya.
Kapan
saja kesedihan muncul karena perkara yang terpuji maka kesedihan itu
dengan sendirinya adalah terpuji karena menjadi penyebab terjalinnya
hubungan intens antara manusia dan sumbernya dan dengan pengenalannya
menjadikan manusia melangkah di jalan-Nya. Kesedihan semacam ini
membimbing manusia untuk berpikir positif dan bergerak secara dinamis
dan progresif. Imam Shadiq As, terkait dengan kesedihan seperti ini,
bersabda, “Kesedihan dan duka cita merupakan slogan para arif.”[6]
Kesedihan
dan kesusahan yang timbul karena mengingat pelbagai musibah Ahlulbait
As dan Imam Husain As termasuk jenis kesusahan dan kesedihan ini.
Terdapat banyak riwayat yang memuji dan memandang positif jenis
kesusahan dan kesedihan semacam ini.[7]
Karena kesedihan dan kesusahan ini muncul lantaran mengingat musibah
atas kehilangan salah seorang wali Allah dan kezaliman yang ditimpakan
kepadanya dan keluarganya.
Kesedihan ini pada hakikatnya untuk mengenang
kebebasan, iman, pengorbanan yang sangat penuh dengan nilai-nilai. Imam
Shadiq As bersabda, “Nafas seseorang yang bersedih dan bersusah hati
atas pelbagai musibah yang menimpa kami adalah tasbih dan kesedihannya
atas penderitaan kami adalah ibadah.”[8]
Karena kesedihan ini apabila diarahkan dengan baik akan menuai keberkahan yang banyak di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Dapat mengenalkan manusia tiran, bengis dan keji kepada mereka dan sebagai hasilnya menolak untuk mentirani dan ditirani.
2. Memelihara jalan, pesan dan tujuan-tujuan tinggi Ahlulbait As.
3. Kesedihan seperti ini merupakan pendahuluan untuk meniru akhlak (mutakhalliq)
Ahlulbait As. Lantaran kesedihan bertitik tolak dari makrifat dan
kecintaan, maka dengan sendirinya akan menimbulkan kecintaan dan
makrifat. Syahid Muthahhari terkait dengan hal ini berkata, “Apabila
mereka bertanya kepada kita bahwa mengapa Anda pada hari Asyura
senantiasa berkata Husain…Husain dan memukul kepala dan dada? Jawaban
apa yang hendak Anda berikan? Harus kita katakan kepada mereka bahwa,
“Kita ingin menuturkan sabda-sabda pemimpin kita. Setiap tahunnya kita
ingin memperbaharui kehidupan kita. Harus kita katakan Asyura adalah
hari pembaruan hidup (tajdid al-hayat) kita..
Kita ingin belajar lagi prinsip-prinsip Islam dari awal. Kita tidak ingin rasa amar makruf dan nahi mungkar (baca: sense of social control), rasa kesyahidan (sense of martyrdom), rasa ingin berkorban (sense of sacrifice) di jalan kebenaran terlupakan.
Kita tidak ingin spirit untuk berkorban di jalan Allah berlalu dari kami.”[9]
Benar...!
Membuat orang menangis, menciptakan kepiluan dan duka nestapa tidak
cukup.
Melainkan kita harus menghidupkan falsafah kebangkitan Asyura
dalam kepribadian umat dan komunitas Islam. Majelis duka, nestapa,
ratapan dan kesedihan tidak boleh dijadikan tujuan bagi pengikut
Ahlulbait As. Syahid Muthahhari menuturkan, “Namun amat disayangkan
sebagian orang tidak mengenal hal ini. Mereka menyangka bahwa tanpa
harus mengenalkan maktab Imam Husain kepada masyarakat, kita mengenalkan
falsafah kebangkitannya. Sudah memadai untuk menjadikan mereka
mengetahui kedudukan Imam Husain. Bahwa orang-orang datang, duduk dan
menangis telah cukup tanpa mengetahui untuk apa mereka datang, duduk dan
menangis telah memadai untuk menebus dosa-dosa!.”[10]
[1]. Jika
mereka benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal
saleh, maka mereka akan mendapatkan pahala di sisi Tuhan mereka; tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Al-Baqarah [2]:62)
[2]. Siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Al-Maidah [5]:69)
[3]. Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak memiliki kekhawatiran dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Yunus [10]:62)
[4]. Orang-orang yang menginfakkan hartanya pada malam dan siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhan-nya. Tiada kekhawatiran bagi mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati; Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan salat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhan-nya. Tiada kekhawatiran bagi mereka, dan tidak (juga) mereka bersedih hati. (QS. Al-Baqarah [2]:112, 262, 274 dan 277)
[5]. Muhammad Husain Thabathabai, terjamahan Tafsir al-Mizân, jil. 10, hal. 132, Intisyarat-e Islami, dengan sedikit perubahan dan ringkasan.
[6]. Terjemahan Mishbâh al-Syari'at (Disandarkan kepada Imam Shadiq As), hal. 564, Nasyr-e Payam-e Haq, Teheran.
[7]. Syaikh Abbas Qummi, Terjemahan Nafas al-Mahmûm, hal. 55, Intisyarat-e Jamkaran.
[8]. Ibid, hal. 25.
[9]. Murtadha Muthahhari, Hamâse Husaini, jil. 1, hal. 187, Intisyarat-e Shadra.
[10]. Ibid, hal. 83.
[2]. Siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Al-Maidah [5]:69)
[3]. Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak memiliki kekhawatiran dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Yunus [10]:62)
[4]. Orang-orang yang menginfakkan hartanya pada malam dan siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhan-nya. Tiada kekhawatiran bagi mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati; Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan salat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhan-nya. Tiada kekhawatiran bagi mereka, dan tidak (juga) mereka bersedih hati. (QS. Al-Baqarah [2]:112, 262, 274 dan 277)
[5]. Muhammad Husain Thabathabai, terjamahan Tafsir al-Mizân, jil. 10, hal. 132, Intisyarat-e Islami, dengan sedikit perubahan dan ringkasan.
[6]. Terjemahan Mishbâh al-Syari'at (Disandarkan kepada Imam Shadiq As), hal. 564, Nasyr-e Payam-e Haq, Teheran.
[7]. Syaikh Abbas Qummi, Terjemahan Nafas al-Mahmûm, hal. 55, Intisyarat-e Jamkaran.
[8]. Ibid, hal. 25.
[9]. Murtadha Muthahhari, Hamâse Husaini, jil. 1, hal. 187, Intisyarat-e Shadra.
[10]. Ibid, hal. 83.
No comments:
Post a Comment