Kaedah dalam menghadapi masalah semacam ini adalah - - sebagaimana telah kita kemukakan juga di atas- - kita pasrah dan menerima apa adanya saja.
Kita tidak
perlu menanyakan bagaimana dan mengapa.
Namun ada juga ada ulama –Rahimahullah-
yang berusaha memberikan jawaban atas pertanyaan diatas.
Mereka mengatakan bahwa amal perbuatan tersebut itu dirubah menjadi suatu bentuk sehingga ia memiliki jism lalu ditaruh dalam timbangan sehingga dapat diketahui berat atau ringannya amal tersebut.
Mereka mengambil contoh dari hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Mereka mengatakan bahwa amal perbuatan tersebut itu dirubah menjadi suatu bentuk sehingga ia memiliki jism lalu ditaruh dalam timbangan sehingga dapat diketahui berat atau ringannya amal tersebut.
Mereka mengambil contoh dari hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Pada hari kiamat kematian itu dijadikan dalam bentuk kibas (domba),
kemudian memanggil penghuni jannah, “Wahai penghuni jannah...!”
Lalu merekapun
muncul dan menjulurkan lehernya untuk melihat.
Kemudian ia memanggil. ‘Wahai
penghuni naar.... !”
Lalu merekapun muncul dan menjulurkan lehernya untuk melihat.
“Apa yang terjadi.. ?”
Lalu kematian itu didatangkan dalam bentuk domba, lalu
ditanyakan, “Apakah kalian tahu ini...?”
Mereka menjawab “Ya”. Kematian itu
akhirnya disembelih antara jannah dan naar, lalu dikatakan, “Wahai penghuni jannahm
kekallah dan tiada kematian.
Dan wahai penghuni naar, kekallah dan tiada
kematian!”.
Kita semua tahu bahwa kematian merupakan sifat, akan tetapi Allah menjadikannya sebagai suatu bentuk yang berdiri sendiri. Demikian jugalah amal perbuatan itu menjadi suatu bentuk lalu ditimbang.
Kita semua tahu bahwa kematian merupakan sifat, akan tetapi Allah menjadikannya sebagai suatu bentuk yang berdiri sendiri. Demikian jugalah amal perbuatan itu menjadi suatu bentuk lalu ditimbang.
Wallahu ‘alam.
No comments:
Post a Comment