SELAMAT DATANG DI NOTE UNTUK KAMU

SELAMAT DATANG DI NOTE UNTUK KAMU

Blogger ini muncul berdasarkan dari beberapa permintaan saudara-saudariku semua..

Alhamdulillah akhirnya tercapai juga dan selesai sudah blogger ini dibuat...

Namun kesempurnaan blogger ini belumlah maximal.

Semoga dihari..hari mendatang dapat disempurnakan blogger ini

Dan blogger ini tercipta dan ada... karena... diri saudara-saudariku semua..

Dan...tiada artinya blogger"NOTE UNTUK KAMU" ini.. jika saudara-saudariku tidak berada didalamnya....

Salam Ukhwah..........

Feb 12, 2013

YANG DISENANGI DAN DIBENCI ALLAH PADA HAMBANYA

Memperhatikan suasana kini, kita lihat bahwa sebagian umat Islam terzalimi, dan banyak di antara tetangga-tetangganya yang kurang memperhatikan.
Demikian pula sebagian lain terpecah-pecah, kurang terdorong untuk bersatu ataupun memantapkan sikap dalam menghadapi hal-hal di lingkungan mereka.
Ada pula sebagian lagi yang sering mengkritisi, mencaci, ataupun melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji. Dalam keadaan seperti ini, ada baiknya diingat kembali pesan Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
Sesungguhnya Allah menyukai tiga sikap yang kita lakukan dan membenci tiga sikap yang ada pada kita. Tiga sikap yang disukai Allah adalah:
Pertama::
Selalu bertauhid, beribadah hanya kepada-Nya, dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun.
Kedua:
Bersatu dalam ajaran-ajaran Allah, dan tidak terpecah belah dalam menghadapi situasi yang sulit.
Ketiga:
Selalu saling menasehati terhadap orang-orang di sekeliling kita, dan terutama kepada mereka yang menjadi ulil amri.

Tiga sikap yang dibenci Allah adalah:
Pertama:
Selalu menerbitkan isu-isu ataupun hal-hal yang tidak jelas sumbernya.
Kedua:
Mengemukakan banyak pertanyaan-pertanyaan yang tidak sesuai dengan kondisi yang dihadapi.
Ketiga:
Menghambur-hamburkan rezeki. (Hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim)

Pesan ini tampaknya sangat tepat dengan situasi yang kita hadapi saat ini.

Ketika Allah akan meniupkan roh ke dalam janin yang ada di dalam rahim, maka sebelumnya para roh itu telah diambil ikrarnya untuk bertauhid kepada Allah.

Firman Allah menyatakan:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu....?”
Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan) “,(Q.S. A’raaf: 172)

Hal ini dalam ajaran Islam disebut “niifaaqun rabbaniyyun” (perjanjian dengan Allah). Artinya, kita sudah melakukan perjanjian justru sebelum kita dilahirkan.

Namun..., Allah ingin pula mengajarkan pada kita, bahwa sebelum Allah mengambil kesaksian kepada para makhluk, Allah lebih dulu telah bersaksi pada diri-Nya sendiri, sebagaimana disebutkan di dalam Surah Ali Imraan ayat 18:
Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu).
Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. Ali Imraan: 18)


Kesaksian Allah ini juga diungkapkan kepada semua makhluk, dan makhluk pun bersedia untuk bersaksi. Namun, ketika makhluk lahir ke dunia, maka kesaksian yang telah diungkapkan itu sering kali banyak yang sudah tidak ingat, ataupun semuanya sudah tidak kita ingat.

Karena memang perjanjian ini dilakukan di alam yang berbeda (bukan alam dunia). Itulah sebabnya, ketika seorang anak lahir, dalam ajaran Islam dianjurkan untuk dibisikkan azan (bagi bayi laki-laki) ataupun iqamah (bagi bayi perempuan).

Hal ini ada dua manfaatnya:
Pertama:
Uuntuk mengingatkan kembali, bahwa roh yang ada pada si bayi itu sudah pernah mengungkapkan kesaksian terhadap ketauhidan Allah, walaupun hal itu belum berfungsi secara optimal.
Tetapi... bisikan itu merupakan suara pertama yang masuk ke dalam relung hati si bayi, dan ini akan membuat bekas yang takkan hilang selamanya.
Lebih-lebih apabila sejalan dengan perkembangan jiwa si anak, kemudian orang tua selalu membina dan mendidik dengan mengajarkan tauhid.
Maka guratan informasi pengajaran itu semakin meresap mendarah daging dalam diri si anak.

Kedua:
Untuk menanamkan ulang akidah tauhid yang pernah diikrarkannya.
Tetapi ini pun sering kali akan terlalaikan ketika si anak dengan perkembangannya mendapat pengaruh-pengaruh dari luar, baik itu dari temannya, pendidikannya, lingkungannya, sehingga banyak sekali hal-hal tersebut membuatnya lalai atau lupa pada janji ataupun bisikan pertama yang didengarnya.

Karena itulah... sejak kecil harus ditanamkan nilai-nilai tauhid dan keislaman kepada anak-anak kita.
Sering terjadi pula, bahwa ada pendidikan yang berupaya untuk melalaikan anak dari keyakinanya terhadap Allah.
Hal ini mungkin sering terjadi dengan berbagai macam versi dan cara.
Kondisi seperti ini akan lebih intens seiring dengan perkembangan anak.
Semakin dewasa, maka caranya pun semakin canggih untuk melalaikan tersebut.
Karena itulah, dalam sekian ratus ayat Alquran, yang paling ditekankan adalah ajaran-ajaran dan nilai tauhid. Demikian pula di dalam hadis.
Sehingga, pesan Rasulullah yang pertama untuk memberikan peringatan tentang perbuatan, tentang sikap yang disukai Allah yang pertama adalah supaya kita hanya beribadah kepada Allah, supaya bertauhid hanya kepadanya, bukan kepada yang lain.
Hal ini juga diingatkan dalam berbagai ayat yang mengisahkan, bahwa ibadah hanya kepada Allah.

Di dalam Alquran disebutkan:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (Q.S. Adz-Dzaariyaat: 56)

Sehingga hidup manusia itu pada dasarnya hanya untuk beribadah kepada Allah.
Ibadah yang dimaksud bukan hanya salat, puasa, tetapi di dalam semua sikap, perbuatan, dan aktivitas kita meski bernuansa ibadah. Sehingga tujuan tersebut kemudian dikuatkan

Dalam salah satu ayat-Nya, Allah mengisyaratkan:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (Q.S. An-Nisaa: 48)


Di sini menunjukkan, bahwa syirik merupakan sesuatu yang luar biasa besar dosanya.

Allah juga mengisyaratkan:
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (Q.S. Ali Imraan: 103)

Ayat ini sangat relevan dengan kondisi umat Islam kini.
Lebih-lebih kini mau menjelang Pemilu.
Umat Islam ini mayoritas, sehingga semua partai ingin mendapatkan suara dari umat Islam.
Karena itulah, banyak upaya-upaya untuk merekrut dan mendapatkan suara itu, walaupun mengakibatkan terpecah belahnya umat Islam.
Ayat ini mempunyai alasan mengapa diturunkan (asbabun nuzul).

Pada saat itu, umat Islam sudah berada pada periode Madinah. Mereka tinggal di Madinah dengan segala kekuatan, ketekunan, sehingga menjadi umat yang mulai muncul dan diperhitungkan.

Namun, di tengah-tengah mereka terdapat kelompok munafik yang ketika itu dipimpin oleh Abdullah bin Ubay bin Salul.
Penduduk asli Madinah adalah suku Aus dan Khazraj.
Pada awalnya, kedua suku ini selalu bertengkar memperebutkan siapa yang paling berhak menjadi pemimpin di Madinah. Mereka ternyata tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut, sehingga pada akhirnya mereka meminta Rasulullah untuk menjadi mediator (penengah).
Ini awal mulanya mengapa Rasulullah dianjurkan untuk hijrah ke Madinah, apalagi memang ada undangan dari penduduk Madinah untuk mendamaikan mereka.
Setelah mereka masuk Islam, ternyata mereka kemudian berada dalam kesatuan.
Namun di tengah-tengah persatuan yang telah terjalin itu selalu saja ditiupkan oleh orang-orang munafik agar kedua kelompok ini selalu bertengkar.
Sehingga suatu saat orang munafik memberikan informasi, bahwa ada salah seorang dari suku Khazraj yang dianiaya oleh seseorang dari suku Aus (Khazraj adalah suku yang lebih kecil, sedangkan Aus merupakan suku yang lebih besar).
Budaya Arab ketika itu mempunyai kebiasaan in group feeling (kekerabatan antar keluarga, biasa juga disebut sebagai ashabiyah) yang sangat kuat.
Sedangkan out group feeling adalah perasaan terhadap siapa saja yang berada di luar kelompoknya.
Kebiasaan mereka, kalau sudah menjadi satu suku (keturunan), maka apabila ada satu di antara mereka yang dianiaya orang lain, maka satu suku akan maju menuntut balas.
Sehingga Rasulullah ketika di Mekkah walaupun dimusuhi oleh banyak orang, tetapi semuanya tidak ada yang berani untuk menganiaya beliau, karena kalau beliau dianiaya, maka seluruh Bani Hasyim akan bangkit membela Rasulullah.
Di dalam Bani Hasyim ini ada juga yang tidak senang terhadap Rasulullah seperti Abdul Uzza atau yang dikenal dengan sebutan Abu Lahab yang tak lain merupakan paman Rasulullah (adik dari ayah Rasulullah). Lahab artinya adalah api yang menyala-nyala, maksudnya adalah orang yang suka membakar, memanas-manasi orang agar benci kepada Rasul. In group feeling inilah yang membuat Rasulullah tetap selamat ketika masih di Mekkah.
Ketika terjadi percekcokan antara Aus dan Khazraj, sehingga kedua suku itu sudah saling berhadap-hadapan untuk membela kehormatan sukunya masing-masing, maka kaum muhajjirin yang berada di luar keduanya kemudian melaporkan hal ini kepada Rasulullah.

Ketika itulah turun ayat tersebut di atas.
Tampaknya hal ini juga akan terjadi kepada kita kini.
Ketika Pemilu, sesama saudara saling bermusuhan.
Karena itulah, pesan Rasulullah ini sangat relevan untuk mengingatkan kita sejak dini, bahwa apapun pilihan kita, jangan sampai terpecah-belah, jangan sampai bermusuh-musuhan.

Bagaimanakah kalau terjadi perselisihan...?
Dalam kehidupannya, manusia secara naluri pasti merasa dirinyalah yang paling benar. Kalau ada salah satu yang merasa bersalah, pasti takkan terjadi pertengkaran.
Bertengkar itu sebenarnya wajar saja, karena kita memiliki penilaian yang berbeda, mempunyai pertimbangan yang tidak sama, punya alasan sendiri-sendiri.

Maka sesuai dengan firman Allah:
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. An-Nisaa: 59)

Kalau bertengkar, kembalikan kepada Allah (ajaran Alquran), kembalikan kepada Rasulullah (tauladan dari sunnah Rasulullah).
Sehingga, kita tetap dapat menjaga kesatuan sebagai umat Islam.
Hendaknya saling mengingatkan pada siapa saja, terutama pada orang-orang yang kita percayakan menjadi pemimpin.
Pemimpin itu manusia, kita sebagai rakyat juga manusia.
Kalau kita sebagai rakyat pernah berbuat salah, maka pemimpin pun sebagai manusia tentunya pernah berbuat salah.
Tetapi.... karena pemimpin sudah kita percayakan amanah, dan orang yang dipercayakan amanah itu pasti mempunyai kelebihan-kelebihan, maka ketika kita mengingatkannya pun ada etikanya.
Maksudnya, kita tidak bisa mengingatkan Pak Lurah seperti mengingatkan teman kita.
Karena Pak Lurah paling tidak merupakan orang terhormat di kampung kita.
Begitu juga kalau kita mengingatkan pemimpin yang berada pada tingkatan yang lebih tinggi lagi, tentunya ada etika dan tata caranya.
Sehingga dengan cara yang beretika tersebut, apa yang kita lakukan itu akan memberikan wawasan yang konstruktif.
Protes yang kita berikan semestinya diiringi dengan memberikan solusi yang terbaik terhadap permasalahan yang kita protes itu.
Sehingga apa yang kita lakukan itu akan berdampak positif.
Dalam hal ini, memang kita semestinya saling mengingatkan.

Pada Surah Al-’Ashr disebutkan:
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Q.S. Al-’Ashr: 3)

Jadi, kita saling mengingatkan dalam hal yang benar dan saling mengingatkan dalam hal-hal yang berorientasi kesabaran.
Kesabaran di dalam Alquran artinya beragam.
Sabar itu bukan hanya berarti jika ada musibah kita bersabar.
Dan sabar bukan juga berarti jika kita disakiti orang, kemudian kita bersabar, ataupun sabar itu bukanlah hanya diam saja.

Allah mengisyaratkan:

Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat.
Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (Q.S. Al-Baqarah: 45)

Apakah maksud dari sabar ini? Sabar yang dimaksud ini bukanlah dengan cara malamnya kita tahajjud, berdoa, kemudian paginya kita hanya menunggu dan diam saja.
Ayat ini mengingatkan, bahwa sabar adalah usaha.
Maka mintalah pertolongan kepada Allah dengan disertai usaha dan kerja keras sesuai dengan kemampuan kita.
Salah satu sikap yang disukai Allah yaitu selalu bertauhid kepadanya.
Kapankah berlakunya tauhid ini.......?

Mengenai hal ini, Allah mnegingatkan kita:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (Q.S. Ali Imraan: 102)

Mengapa demikian...?
Karena iblis dan setan akan selalu mengganggu kita kapanpun kita berada, bahkan hingga kita sakaratul maut.

Dalam Surah Al-A’raf diungkapkan:
Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta`at). (Q.S. Al-A’raaf: 17)

Maksudnya, setan akan mengganggu kita dari depan, belakang, kanan, dan kiri. Hal ini akan terjadi terus, sehingga kita menjelang sakaratul maut.

Tiga sikap yang dibenci oleh Allah:
Pertama:
Menyebarkan isu.
Biasanya isu ini didapat dari sumber-sumber yang tidak jelas dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Rasulullah menyatakan, bahwa Allah sangat tidak menyukai orang yang sering menginformasikan sesuatu yang tidak jelas.
Bahkan, orang yang sering memberi informasi yang tidak jelas ini bisa-bisa dikelompokkan sebagai orang yang fasik.

Sehingga dalam Surah Al-Hujurat diingatkan:
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Q.S. Al-Hujuraat: 6)

Orang fasik adalah orang mukmin yang selalu melakukan keburukan dan kemaksiatan, tidak melaksanakan ajaran-ajaran Allah ataupun melalaikannya.

Dalam Surah Al-Hasyr Allah mengingatkan:

Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. (Q.S. Al-Hasyr: 19)

Lupa kepada Allah itu adalah tidak melaksanakan ajaran-ajaran-Nya, melanggar larangan-larangan-Nya, melakukan kemaksiatan, maka di akhir hayatnya Allah mengatakan, bahwa inilah orang-orang fasik itu.
Hal ini dimulai dari kegemaran membicarakan sesuatu yang tidak jelas (isu).
Karena itulah, hal ini merupakan sesuatu yang harus dihindari.

Kedua:
Memperbanyak pertanyaan-pertanyaan yang tidak pada tempatnya.
Mengapa demikian....?
Karena kalau pertanyaan itu sesuai dengan keadaan, maka itu dianjurkan.
Bahkan Rasululah menyatakan, bahwa pertanyaan itu adalah kunci untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Sedangkan pertanyaan-pertanyaan yang dimaksud sebagai sikap yang dibenci oleh Allah adalah menanyakan sesuatu yang tidak-tidak.
Mengenai hal ini, Alquran mengungkapkan, bahwa suatu ketika Nabi Musa mendapat wahyu dari Allah untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi di kalangan Bani Israil.

Persoalan tersebut yaitu mengenai adanya pembunuhan yang tidak diketahui pelakunya.
Berdasarkan wahyu yang diterima oleh Nabi Musa, maka persoalan itu diselesaikan dengan cara memotong seekor sapi, kemudian dagingnya dipakai untuk memberikan jawaban, yaitu dengan cara memukulkan pada si mayat.

Jika hal ini diikuti, maka akan selesailah persoalan itu.
Tapi kemudian Nabi Musa ditanya oleh umatnya mengenai sapi yang akan dipotong itu: warnanya apa, umurnya berapa, keadaannya bagaimana, sehingga pertanyaan-pertanyaan itu hanya semakin mempersulit.

Dalam ayat lain dikatakan juga:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah mema`afkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (Q.S. Al-Maa’idah: 101)

Ketiga:
Menghambur-hamburkan rezeki (harta).
Harta boleh kita gunakan, tetapi harta tersebut harus digunakan dengan baik. Harta di dalam Alquran disebut “maal”, “fazlun”, “rizqun”, dan “khayrun”.

Jadi....., harta juga disebut sebagai “khayrun” (kebaikan).

Kebaikan yang dimaksud seperti yang termaktub di dalam Alquran:
(19) Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.
(20) Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah,
(21) dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, (Q.S. Al-Ma’aarij: 19-21)


Kikir yang dimaksud di sini adalah ketika mendapatkan kebaikan berupa harta.
Seharusnya, jika mendapatkan rezeki, maka sebagian rezeki tersebut diinfakkan kepada yang memerlukan. Tetapi dalam hal ini, ia malahan menjadi kikir.
Karena itulah, harta merupakan suatu yang baik, maka harus pula dipergunakan secara baik.
Disarikan dari Ceramah Ahad yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, M.A. pada tanggal 25 Januari 2009 di Masjid Agung Sunda Kelapa-Jakarta.

No comments:

Post a Comment